Hukum Puasa untuk Diet, Sahkah? Ini Penjelasannya

Niat merupakan hal yang penting dalam melakukan sesuatu termasuk ibadah seperti puasa. Niat puasa harus sesuai dengan standar fiqih. Namun, jika disertai dengan motivasi lain di luar ibadah semisal niat puasa untuk diet, apakah diperbolehkan dalam syariat?

oleh Putry Damayanty diperbarui 23 Jul 2024, 12:30 WIB
Diterbitkan 23 Jul 2024, 12:30 WIB
Gambar Ilustrasi Diet Keto
Sumber: Freepik

Liputan6.com, Jakarta - Puasa merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan bahkan diwajibkan seperti puasa pada bulan Ramadan. Allah memuliakan umat Islam dengan syariat puasa.

Hikmah pensyariatan puasa tidak hanya berkaitan dengan akhirat, namun juga manfaat yang bisa dirasakan selama kita hidup di dunia.

Di akhirat kelak, puasa akan menjadi tameng dari api neraka, terlebih puasa Ramadan, pahalanya juga akan digandakan menjadi berlipat-lipat.

Sedangkan, di antara manfaat yang dapat dirasakan bagi orang yang rutin berpuasa adalah kesehatan tubuh yang semakin terjaga dan terhindar dari segala penyakit. 

Karena efek positif puasa terhadap kesehatan ini, sehingga tidak jarang seseorang menyertakan niat melakukan diet dalam puasanya dengan tujuan untuk mengatur pola makan dan biasanya atas petunjuk dokter.

Lantas, bagaimanakah hukumnya jika berniat puasa karena motivasi diet? Berikut ulasan selengkapnya mengutip dari laman NU Online.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan ini:


Tidak Sah Puasa Tanpa Niat

[Bintang] Ini Bacaan Niat Puasa Asyura
Ini Bacaan Niat Puasa Asyura. (Foto: lifehacker.com.au)

Puasa merupakan ibadah yang membutuhkan niat. Tidak sah berpuasa tanpa niat. Hal ini berdasarkan hadits Nabi:

إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Keabsahan beberapa amal bergantung kepada niat-niatnya” (HR al-Bukhari).

Adapun batas minimal yang mencukupi dalam niat puasa adalah dengan menyebutkan qashdul fi‘li dan ta’yin. Maksud dari qashdul fi’li adalah menyengaja melakukan puasa, misalnya “aku niat berpuasa”. Ta’yin artinya menentukan jenis puasanya, sekira bisa dibedakan dengan jenis puasa yang lain, semisal puasa Ramadhan, puasa qadha Ramadhan, puasa kafarat, dan lain sebagainya.

Kewajiban menentukan jenis puasa berlandaskan hadits Nabi:

وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى 

“Dan bagi tiap-tiap orang hanya mendapat pahala sesuai yang ia niatkan” (HR al-Bukhari). Al-Imam al-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’:

قال الشافعي والأصحاب لا يصح صوم رمضان ولا قضاء ولا كفارة ولا نذر ولا فدية حج ولا غير ذلك من الصيام الواحب إلا بتعيين النية لقوله صلى الله عليه وسلم " وإنما لكل امرئ ما نوى" فهذا ظاهر في اشتراط التعيين لأن أصل النية فهم اشتراطه من أول الحديث " إنما الأعمال بالنيات

"“Imam Syafi’i dan para muridnya berkata; tidak sah puasa Ramadhan, qadha, kafarat, nadzar, fidyah haji, dan puasa wajib lainnya kecuali dengan menentukan niat, karena hadits Nabi: Dan bagi tiap-tiap orang hanya mendapat pahala sesuai yang ia niatkan. Hadits ini jelas dalam menyaratkan penentuan niat, karena dasar pensyaratan niat telah dipaham dari permulaan hadis; Keabsahan beberapa amal bergantung kepada niat-niatnya” (al-Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz 6, hal. 294).


Ketentuan Niat Puasa Wajib dan Sunnah

Keistimewaan Amalan di Tahun Baru Islam
Ilustrasi Berbuka Puasa Credit: shutterstock.com

Penentuan jenis puasa (ta’yin) disyaratkan dalam puasa wajib. Sedangkan puasa sunnah sah dilakukan dengan niat yang mutlak, semisal “aku niat berpuasa” tanpa menentukan jenis puasanya.

Menurut Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’, pengecualian berlaku untuk jenis puasa sunnah rawatib, yaitu puasa yang rutin dilakukan yang memiliki waktu khusus seperti puasa Asyura, puasa Arafah, puasa enam hari Syawal dan lain sebagainya, maka wajib menentukan jenis puasa-puasa tersebut dalam pelaksanaan niatnya. Semisal “aku niat puasa Syawal”, “Aku niat puasa Asyura” dan lain sebagainya.

Al-Imam al-Nawawi menegaskan: 

“Adapun puasa sunnah, sah dengan niat mutlaknya berpuasa seperti di dalam kasus niat shalat. Hal ini sebagaimana dimutlakan oleh para muridnya Imam al-Syafi’i. Namun seyogianya disyaratkan menentukan niat di dalam puasa rutin seperti puasa Arafah, Asyura, hari-hari purnama, enam hari Syawal dan semisalnya, sebagaimana disyaratkan hal tersebut dalam shalat sunnah rawatib” (al-Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz 6, hal. 295).

Adapun puasa Ramadhan, contoh minimal niatnya adalah “aku niat berpuasa Ramadhan”, dan contoh niatnya yang paling sempurna adalah “aku niat berpuasa di esok hari karena menjalankan kewajiban Ramadhan tahun ini karena Allah”.

Standar minimal niat puasa sebagaimana penjelasan di atas wajib dilakukan untuk jenis puasa apa pun, artinya tidak sah berpuasa tanpa tata cara niat sebagaimana penjelasan tersebut, misalnya orang berpuasa Ramadhan niatnya “aku niat berpuasa karena diet”, yang demikian ini tidak sah, sebab tidak menyebutkan redaksi Ramadhan dalam pelaksanaan niat.


Hukum Niat Puasa karena Diet

Manfaat Puasa Senin Kamis untuk Kesehatan
Ilustrasi Berdoa Credit: shutterstock.com

Lalu bagaimana jika sudah niat puasa sesuai standar fiqih, namun disertai motivasi lain di luar ibadah, semisal diet. Dalam hal ini diperinci menjadi dua kasus.

Pertama, niat diet disertakan saat pelaksanaan niat puasa, semisal “aku niat berpuasa Ramadhan dan diet”. Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan puasanya. Menurut pendapat yang kuat, puasa Ramadhannya tetap sah. Kasus yang demikian jarang sekali terlaku, bahkan hampir tidak ada.

Kedua, ada motivasi melakukan diet di luar pelaksanaan niat puasa. Kasus yang kedua ini banyak terjadi. Artinya, seseorang tetap niat puasa seperti aturan fiqih, namun ia memilki motivasi lain di luar puasa, yakni melakukan diet. Dalam hal ini, puasanya tetap dihukumi sah, sebab puasa telah dilakukan dengan niat sesuai standar fiqih.

Sedangkan untuk pahala, ulama berbeda pendapat. Menurut al-Imam al-Zarkasyi dan Izzuddin bin Abdissalam, tidak mendapat pahala puasa secara mutlak. Menurut Syekh Ibnu Hajar, mendapat pahala secara mutlak, baik tujuan ibadah lebih dominan, berimbang atau bahkan dikalahkan oleh tujuan diet.

Menurut Imam al-Ghazali diperinci, jika tujuan diet lebih dominan, maka pahala puasa tidak didapat, jika lebih dominan tujuan puasa, maka mendapat pahala. Jika keduanya berimbang, maka saling berguguran. Menurut sebagian ulama, bila dua tujuan berimbang, tetap mendapat pahala.

Walhasil, berpuasa dengan motivasi melakukan diet hukumnya tetap sah sepanjang niat puasa tetap dilakukan sesuai aturan fiqih. Adapun pahala puasa, ulama ikhtilaf sebagaimana penjelasan di atas. Dengan demikian, hendaknya motivasi utama dalam menjalani ibadah puasa adalah berpuasa atas dasar mengikuti perintah agama, agar pahala berpuasa lebih terjamin dan kualitas puasa menjadi semakin berkualitas di sisi-Nya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya