Balada Jumatan di Papua Santri Gus Baha, Kurang Jemaah Disuruh Dzuhur Tetap Tidak Mau

Menurut Gus Baha, santrinya yang di Papua pernah menghubunginya untuk bertanya, apakah boleh melaksanakan sholat Jumat hanya dengan tiga orang saja.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Nov 2024, 11:30 WIB
Diterbitkan 02 Nov 2024, 11:30 WIB
Gus Baha (SS: YT. Dakwah Islam.id)
Gus Baha (SS: YT. Dakwah Islam.id)

Liputan6.com, Jakarta - Santri dan murid kinasih KH Maimoen Zubair, KH Ahmad Bahauddin Nursalim, yang akrab dipanggil Gus Baha, kembali menceritakan pengalaman dakwahnya dengan gaya khasnya yang sederhana dan mengena.

Dalam sebuah kesempatan, ia mengisahkan betapa uniknya situasi Jumatan di Papua, sebuah wilayah yang penuh tantangan dalam hal pelaksanaan ibadah Jumat. Gus Baha menyoroti pengalaman ini sebagai contoh konkret perjuangan dakwah di tempat-tempat yang jauh dari fasilitas keagamaan.

Gus Baha menceritakan bahwa ia memiliki banyak santri di Papua, dan setiap kali mendengar kisah mereka, selalu ada hal-hal yang unik dan tidak biasa.

“Saya punya santri banyak di Papua. Itu kalau cerita unik-unik,” ucapnya. Ia menjelaskan bahwa situasi untuk melaksanakan sholat Jumat di Papua sering kali terkendala karena keterbatasan jumlah jamaah.

Dalam sebuah video yang diunggah di kanal YouTube @Pengaosangusbaha, Gus Baha mengisahkan pengalaman santrinya yang terkadang hanya bisa berkumpul tiga orang untuk sholat Jumat.

Menurutnya, situasi ini sering terjadi di daerah-daerah yang penduduk Muslimnya terbatas dan tersebar jauh satu sama lain. Hal ini membuat para santri kesulitan untuk memenuhi syarat minimal jumlah jamaah.

Menurut Gus Baha, santrinya pernah menghubunginya untuk bertanya, apakah boleh melaksanakan sholat Jumat hanya dengan tiga orang saja.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Ini yang Terjadi di Papua, dan Solusinya

Fakta Menarik Fakfak Papua Barat yang Dijuluki Kota Pala
Masjid Tua Patimburak Papua Barat. (Dok. simas.kemenag.go.id)

“Gak ada orang sudah jam setengah 12, datangnya cuma 3 orang,” ucapnya. Ketika kondisi seperti ini terjadi, santri-santrinya kebingungan dan bertanya pada Gus Baha tentang bagaimana mereka harus menyikapi situasi ini.

Gus Baha menjelaskan bahwa dalam fiqih Syafi’i, sholat Jumat memang mensyaratkan minimal 40 orang jamaah. Oleh karena itu, ia menyarankan agar para santrinya melaksanakan sholat dzuhur saja sebagai pengganti. Namun, santri-santrinya tetap ingin melaksanakan sholat Jumat meskipun jamaahnya hanya sedikit.

“Hari Jumat kok sholat dzuhur. Hari Jumat ya Jumatan,” tambah Gus Baha, menirukan kegigihan para santri.

Melihat tekad para santrinya, Gus Baha akhirnya mencari rujukan dari fiqih lain. Setelah menelusuri berbagai sumber, ia menemukan bahwa dalam mazhab Maliki, sholat Jumat bisa dilakukan dengan jumlah jamaah minimal enam orang, dan ada juga pendapat yang menyatakan cukup dengan 12 orang. Pendapat ini memberi ruang bagi masyarakat yang kesulitan mengumpulkan 40 orang untuk tetap bisa melaksanakan sholat Jumat.

Namun, bagi Gus Baha, sholat Jumat dengan tiga orang jamaah belum cukup untuk memenuhi syarat sebagai kelompok jamaah yang layak. “Kalau tiga orang kan belum keceluk, belum disebut kelompok,” ucapnya.

Pendapat ini menekankan pentingnya menjaga aspek-aspek syariat yang sudah diatur dalam fiqih.

 

Perjuangan Dakwah Beda Tempat Beda Rasa

Shalot Jumat Pertama Ramadhan Di Masjid Istiqlal
Sholat Jumat. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Gus Baha menilai bahwa situasi seperti ini sangat penting untuk dipahami oleh umat Muslim, terutama dalam rangka memahami kondisi umat di berbagai wilayah.

“Ini penting saya utarakan supaya kita berjuang bukan karena seperti di tempat yang ramai seperti di Jogja misalnya,” katanya. Ia ingin masyarakat memahami bahwa dakwah di wilayah-wilayah terpencil tidaklah mudah, apalagi di tempat yang populasi Muslimnya sedikit.

Di tengah ceritanya, Gus Baha juga menyampaikan rasa syukurnya bagi umat Islam yang hidup di tempat-tempat dengan fasilitas keagamaan yang memadai, seperti Jogja.

Ia menyebutkan bahwa di tempat-tempat seperti Jogja, masjid besar dan lembaga pendidikan Islam sudah tersedia dengan baik. Namun, bagi Gus Baha, dakwah bukan hanya soal fasilitas, tetapi tentang bagaimana menyebarkan ajaran Islam ke daerah-daerah yang jauh dan belum terjangkau.

Menurut Gus Baha, dakwah itu bukan sekadar meramaikan masjid di kota besar, tetapi lebih pada bagaimana bisa mengubah orang yang tadinya tidak tahu menjadi tahu.

“Yang namanya dakwah itu menjadikan orang gak tahu menjadi tahu,” jelasnya. Dalam pandangannya, dakwah sejati adalah ketika seseorang mampu menyampaikan ajaran Islam ke pelosok, termasuk di desa-desa tertinggal.

Kisah santrinya di Papua memberikan gambaran konkret bahwa dakwah bisa memiliki berbagai bentuk tantangan. Gus Baha menekankan pentingnya kesabaran dan keteguhan dalam berjuang di jalan dakwah, terutama di tempat-tempat yang minim fasilitas seperti Papua.

“Termasuk kepada desa-desa tertinggal seperti kejadian di Papua tadi,” ungkapnya.

Kisah ini juga menjadi pengingat bagi umat Islam di Indonesia untuk menghargai fasilitas yang dimiliki dan turut mendoakan saudara-saudara Muslim di daerah yang lebih terpencil.

Melalui cerita ini, Gus Baha ingin menanamkan pemahaman tentang pentingnya dakwah dengan kesadaran penuh akan situasi umat Islam di berbagai wilayah. Baginya, dakwah bukanlah semata tentang jumlah atau kemegahan fasilitas, melainkan tentang ketulusan dan kesungguhan dalam menjalankan ajaran agama.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya