Liputan6.com, Cilacap - Label halal ialah label yang diterbitkan institusi yang berwenang, dalam hal ini Kementerian Agama. Pentingnya label halal ini terutama bagi masyarakat muslim yang menjadikan jaminan dan panduan kehalalan suatu produk tertentu.
Label halal ini biasanya ditempelkan pada kemasan makanan atau minuman yang mudah terlihat sehingga masyarakat merasa tenang dan nyaman.
Advertisement
Persoalannya ialah kemasan minuman atau makanan yang dijual itu tidak semuanya terdapat label halalnya dan jumlah makanan tanpa label halal ini jumlahnya juga lumayan banyak.
Advertisement
Baca Juga
Jika hal demikian pertanyaannya ialah bagaimana hukum mengkonsumsi makanan yang tidak ada label halalnya?
Simak Video Pilihan Ini:
Hukumnya
Menukil NU Online, dalam syariat Islam kehalalan suatu makanan penentu utamanya bukan Label Halal, melainkan ketetapan dari Allah (syari') berdasarkan dalil syariat. Label halal ini sifatnya hanya administratif dan penguat saja.
Sehingga makanan yang asalnya halal tanpa adanya Label Halal pun hukumnya tetap halal dikonsumsi. Dalam pandangan Madzhab Syafi'i hukum asalnya segala sesuatu adalah diperbolehkan hingga terdapat dalil yang menyatakan keharamannya. Imam As-Suyuthi dalam al-Asybah wan Nadhair Jilid I (Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1403: 60) mengatakan:
ُالْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ
Artinya, “Hukum asal segala sesuatu adalah boleh hingga terdapat dalil yang menunjukkan keharamannya.” Menurut beliau, kaidah tersebut ditopang oleh beberapa hadits, di antaranya dua hadits yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani sebagai berikut:
مَا أَحَلَّ اللَّهُ فَهُوَ حَلَالٌ وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ، فَاقْبَلُوا مِنْ اللَّهِ عَافِيَتَهُ فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا
Artinya, “Apa yang Allah halalkan maka ia halal (hukumnya) dan apa yang Allah haramkan maka ia haram (hukumnya) dan apa yang Allah diamkan maka ia dimaafkan, maka terimalah maaf-Nya karena Allah tidak pernah melupakan sesuatu apapun.” (HR. Al-Bazzar dan Thabrani).
إنَّ اللَّهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَنَهَى عَنْ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَحَدَّ حُدُودًا فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ، فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا. وَفِي لَفْظٍ وَسَكَتَ عَنْ كَثِيرٍ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ فَلَا تَتَكَلَّفُوهَا رَحْمَةً لَكُمْ فَاقْبَلُوهَا
Artinya, “Sesungguhnya Allah sudah mewajibkan perkara yang wajib maka janganlah kalian menyia-nyiakannya, dan Allah sudah membatasi sesuatu maka janganlah kalian melampauinya, dan Allah mendiamkan sesuatu bukan karena lupa karenanya janganlah kalian sibuk mencari-cari (hukumnya).” Dalam redaksi lain dijelaskan, "Dan Allah mendiamkan sesuatu bukan karena lupa, maka janganlah kalian membebani diri kalian dengan perkara tersebut. Itu adalah bentuk rahmat untuk kalian, maka terimalah (rahmat itu).” (HR. Thabrani).
Penjelasan di atas menegaskan bahwa hukum halal dan haram segala sesuatu sudah ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak memiliki dalil yang jelas terkait kehalalan dan keharamanannya, maka hukumnya diperbolehkan.
Advertisement
Kaidah Ini Berlaku Umum
Kaidah ini berlaku umum baik berkaitan dengan perbuatan, benda, hewan, makanan, minuman, tumbuhan dan selainnya. Berkaitan dengan hal ini Syekh Abdul Wahab Khalaf menjelaskan:
وإذا سئل المجتهد عن حكم حيوان أو جماد أو نبات أو أي طعام أو أي شراب أو عمل من الأعمال ولم يجد دليلا شرعيا على حكمه، حكم بإباحته، لأن الإباحة هي الأصل ولم يقم دليل على تغيره وإنما كان الأصل في الأشياء الإباحة، لأن الله قال في كتابه الكريم: ﴿هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا﴾ [البقرة: ٢٩]، وصرّح في عدة آيات بأنه سخر للناس ما في السموات وما في الأرض، ولا يكون ما في الأرض مخلوقا للناس ومسخرًا لهم إلا إذا كان مباحا لهم، لأنه لو كان محظورا عليهم ما كان لهم
Artinya:, "Apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum suatu hewan, benda mati, tumbuhan, makanan, minuman, atau suatu pekerjaan, lalu ia tidak menemukan dalil syar'i yang menetapkan hukumnya, maka ia menetapkan bahwa hukumnya adalah mubah (boleh). Sebab, asal hukum segala sesuatu adalah mubah, kecuali ada dalil yang menunjukkan perubahan hukum tersebut." "Adapun asal hukum segala sesuatu adalah mubah, karena Allah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia: 'Dialah yang menciptakan untuk kalian apa yang ada di bumi semuanya' (QS. Al-Baqarah: 29). Allah juga menegaskan dalam beberapa ayat bahwa Dia telah menundukkan untuk manusia apa yang ada di langit dan di bumi. Segala sesuatu yang ada di bumi tidak mungkin diciptakan untuk manusia dan ditundukkan bagi mereka kecuali jika itu mubah bagi mereka. Sebab, jika sesuatu itu diharamkan atas mereka, maka tidak mungkin itu disebut sebagai diciptakan dan ditundukkan untuk mereka." (Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, [Kairo, Maktabah ad-Da'wah Syababul Azhar: t.t] halaman 91-92).
Syekh Bakri Syatha menjelaskan bahwa segala sesuatu yang hukum asalnya telah ditetapkan kehalalan, keharaman, kesucian atau kenajisannya maka hukumnya tidak akan pernah berubah kecuali dilandasi dengan keyakinan bahwa sesuatu tersebut mengalami perubahan. Beliau menyebut dalam I'anatuth Thalibin Jilid I (Beirut, Darul Fikr, t.t.: 125):
إذا ثبت أصل في الحل أو الحرمة أو الطهارة أو النجاسة فلا يزال إلا باليقين، فلو كان معه إناء من الماء أو الخل أو لبن المأكول أو دهنه فشك في تنجسه، أو من العصير فشك في تخمره، لم يحرم التناول
Artinya, "Apabila asal hukum telah ditetapkan dalam kehalalan atau keharaman, atau kesucian atau kenajisannya, maka hukum itu tidak akan berubah kecuali dengan keyakinan. Oleh karena itu, jika seseorang memiliki wadah berisi air, cuka, susu dari hewan yang halal dimakan, atau minyaknya, lalu ia ragu apakah wadah itu terkena najis atau tidak, atau wadah yang berisi air perasan anggur dan ragu apakah sudah berubah menjadi khamar atau belum, maka tidak haram untuk mengonsumsinya."
Dari paparan penjelasan di atas menjadi jelas bahwa makanan yang secara hukum asalnya halal dan tidak diketahui secara pasti dan meyakinkan terdapat bahan yang haram atau najis dalam proses pengolahannya maka hukumnya halal dikonsumsi meskipun tanpa label halal. Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat dan dapat dipahami dengan baik. Wallahu a'lam
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul