Sejarah Jembatan Semanggi, Buah Pemikiran Filosofis Sukarno

Selain berfungsi mengurai macet di persimpangan dua jalan besar Ibu Kota, Jembatan Semanggi juga punya makna filosofis yang dalam.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 28 Jul 2017, 15:30 WIB
Diterbitkan 28 Jul 2017, 15:30 WIB
Simpang Susun Semanggi
Suasana proyek pembangunan simpang susun semanggi, Jakarta, Selasa (21/3). proyek dibagi 4 bentang jalan layang, yakni Bentang Plaza Semanggi, Bentang Polda Metro Jaya, Bentang Hotel Sultan dan Bentang Wisma Mulia atau BRI. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Jembatan Semanggi yang berada di persimpangan antara Jalan Sudirman dan Jalan Gatot Subroto ternyata memiliki sejarah yang panjang. Sesuai namanya, jembatan yang dibangun atas inisiasi Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia ini, memiliki bentuk yang unik karena mirip daun semanggi.

Dibantu Soetami, arsitek kebanggaan Indonesia yang saat itu menjabat Menteri Pekerjaan Umum, proyek jembatan semanggi dimulai pada 1961. Pada saat itu, penolakan yang terjadi masyarakat cukup kencang. Apalagi mengingat keuangan negara pada saat itu sedang “krisis”. Namun, hal itu tidak mengendurkan keinginan Sukarno membangun jembatan Semanggi.

Pemilihan nama “Jembatan Semanggi” sendiri bukan tanpa pertimbangan. Menurut yang tertulis dalam buku 212 Asal-Usul Djakarta Tempoe Doeloe karya Zaenuddin HM, kawasan dibangunnya jembatan tersebut mulanya adalah rawa-rawa yang dipenuhi pohon semanggi.



Semanggi yang dalam bahasa latin disebut Salviniales merupakan tumbuhan kelompok paku air dari jenis Marsileaceae. Tumbuhan ini biasanya hidup di area rawa dan persawahan. Bagi masyarakat Surabaya, daun semanggi menjadi bahan utama kuliner tradisional pecel semanggi yang penjualnya dahulu banyak ditemukan di kompleks perumahan warga.



Daun semanggi di dalam pemikiran Sukarno memiliki nilai filosofis yang dalam. Susunan daun semanggi dianggap merupakan simbol persatuan bangsa. Empat bagian daun menyerupai suku-suku yang ada di Indonesia, kemudian disatukan menjadi satu kesatuan daun yang utuh. Pada buku tersebut juga diungkapkan, daun semanggi bagaikan “suh”, yaitu pengikat sapu lidi. Batang lidi yang disatukan oleh “suh” akan menjadi kokoh.

Kini 56 tahun setelah proyek tersebut dimulai, jembatan Semanggi bukan hanya mampu mengurai macet di persimpangan antara dua jalan besar Ibu Kota, tetapi juga menjadi sebuah situs dan kebanggaan yang orisinal lahir dari pemikiran anak bangsa.

Simak juga video menarik berikut ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya