Liputan6.com, JakartaLiputan6.com, Mojokerto 33 perawan di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur bejalan kaki sejauh tiga kilometer menuju situs petirtaan Jolotundo, masing-masing menggenggam erat kendi berisi air suci. Mereka juga diriingi oleh arak-arakan gunungan hasil bumi dan jajanan pasar yang digotong secara bergantian oleh ribuan warga setempat.
Siang itu, Kamis (28/9/2017), para warga menggelar ritual ruwat yang sudah turun temurun, yaitu ritual ruwat sumber mata air Jolotundo. Ritual ini, dilakukan dengan cara menyatukan 33 jenis air suci yang diambil dari empat penjuru mata angin di sekitar gunung Penanggungan.
Advertisement
“Setiap tahun di bulan Suro, ini dilakukan ritual Kebumi Sumber Suci Petirtaan Jolotundo,” tutur sesepuh Desa Seloliman Djari.
Ia menjelaskan, ritual ini harus tetap dilakukan agar sumber mata air situs peninggalan Kerajaan Majapahit, serta sumber mata air di kecamatan Trawas tidak mengering. Pasalnya, warga sekitar pernah dilanda kekeringan pada tahun 2008 silam, tak terkecuali di sumber air Jolotundo.
“Pernah kejadian tahun 2008, seluruh sumber air mengering karena saat itu warga tidak melakukan ritual ruwat ini,” katanya.
Dalam prosesi ruwat tersebut, sesepuh Desa Seloliman terlebih dulu melakukan pengunduhan 33 jenis air suci yang tersebar di empat penjuru mata angin yang mengelilingi gunung Penaggungan. Pengunduhan air suci tersebut dilakukan saat malam satu Suro lalu, yang ditampung dalam wadah berupa kendi yang sudah didoakan.
Ritual Ruwat di Mata Air Jolotundo Trawas
Seluruh air suci lantas dikumpulkan dan dibacakan doa di depan situs. Setelah selesai, semuanya langsung disatukan atau dicampur menjadi satu dengan air Jolotundo dalam gentong khusus.
“Ritual ini harus terus dilakukan setiap bulan Suro agar bisa tetap memberi manfaat kepada masyarakat,” ucap Djari.
Ritual ditutup dengan rebutan hasil bumi dan jajanan pasar yang sebelumnya telah diarak. Ratusan wisatawan yang memadati area petirtaan pun rela berdesakan untuk ikut berebut.
Sementara itu, Camat Trawas M Iwan Abdillah menuturkan, sumber air di petirtaan Jolotundo sempat dikaji oleh sejumlah ilmuwan. Penelitian itu menunjukkan, bahwa air tersebut menjadi sumber mata air terjernih nomor dua di dunia setelah air Zam-zam di Arab Saudi. Sehingga, perawatan dan pelestarian harus tetap dilakukan oleh masyarakat agar tidak mengalami kekeringan.
“Kita tetap harus melestarikan budaya dan tradisi nenek moyang. Sebab, sumber air merupakan hal pokok yang ada dikehidupan kita,” katanya.
Iwan berharap, ritual yang dilakukan tersebut juga dijadikan jati diri warga lokal. “Semoga ini menjadi langkah konkrit, untuk melestarikan tradisi dan menjaga sumber airnya," ujar Iwan.