Menguak Sisi Gelap Perempuan Pekerja Rumahan di Indonesia

Perempuan pekerja rumahan di Indonesia sering menjadi andalan pengusaha untuk mendapatkan laba. Namun, hasil yang didapat tak sebanding dengan fasilitas kerja yang diperlukan.

oleh Henry Hens diperbarui 14 Des 2018, 18:30 WIB
Diterbitkan 14 Des 2018, 18:30 WIB
Pekerja Rumahan
Acara bincang-bincang di Festival Perempuan Pekerja Rumahan. (foto: istimewa/Henry)

Liputan6.com, Jakarta – Jutaan pekerja rumahan di Indonesia yang sebagian besar perempuan, selama ini ternyata belum terlindungi oleh undang-undang ketenagakerjaan. Hal itu membuat mereka kesulitan mendapatkan hak-hak sebagai pekerja seperti upah layak, jaminan sosial, dan perlindungan kecelakaan kerja.

Padahal, mayoritas pekerja rumahan adalah perempuan miskin dengan tingkat pendidikan rendah yang mengakibatkan mereka semakin rentan dieksploitasi. Itu merupakan sisi gelap para pekerja rumahan di negeri ini. 

Fakta itu diungkapkan oleh Pihak Trade Union Rights Centre (TURC) bersama program MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan) di Festival Perempuan Pekerja Rumahan (FPPR).  Acara ini berlangsung pada 14 – 15 Desember 2018 di Gedung Kerta Niaga, Kawasan Kota Tua, Jakarta.

Untuk mendorong kerja layak bagi pekerja rumahan, diperlukan perlindungan hukum bagi pekerja rumahan agar mereka dapat mengakses hak-hak ketenagakerjaan dan diakui sebagai pekerja.

"Regulasi khusus yang mengatur mengenai pekerja rumahan mutlak dibutuhkan untuk memberikan pengakuan akan status dan perlindungan sebagai pekerja. Ini juga menunjukkan negara hadir memberikan perlindungan kepada warga negaranya dengan jenis pekerjaan apapun tanpa diskriminasi," kata Andriko Otang, Direktur Eksekutif TURC pada Liputan6.com dalam acara bincang-bincang di Gedung Kerta Niaga, Kawasan Kota Tua, Jakarta, Jumat (14/12/2018).

Acara tersebut juga dihadiri Juanda Pangaribuan, ahli hukum ketenagakerjaan; Umar Kasim, Kepala Bagian Penelaahan Hukum dan Konvensi, Biro Hukum Kementerian Ketenagakerjaan RI dan Ani Marissa, seorang pekerja rumahan dari Solo.

Posisi Lemah Pekerja Rumahan

Pekerja Rumahan
Acara bincang-bincang di Festival Perempuan Pekerja Rumahan. (Liputan6.com/Henry)

Umar mengatakan usulan rancangan peraturan menteri tentang pekerja rumahan sudah disampaikan kepada Kementerian. "Selanjutnya kami akan mengkaji dan menuangkannya dalam pasal-pasal yang lebih konkret agar tidak ada multitafsir," ujarnya.

Sementara, Andrika Otang menyebutkan jumlah pekerja rumahan memang masih lebih sedikit dibandingkan pekerja pabrik. Namun, perkembangannya sangat pesat dan semakin bertambah dari tahun ke tahun. Di sisi lain, posisi mereka sangat lemah karena menghadapi berbagai risiko yang bisa merugikan mereka.

"Misalnya saja tentang barang-barang dari pabrik yang ada di rumah mereka, bisa saja membahayakan kesehatan penghuni rumah. Belum lagi kalau hasil kerja mereka dianggap tidak sesuai standar, mereka bisa dituntut ganti rugi oleh pihak pemberi pekerjaan dan masih banyak lagi masalah lainnya yang bisa terjadi," tutur Andrika.

Ia pun berharap segera dikeluarkan peraturan dari pemerintah sehingga para pekerja rumahan ini bisa lebih terlindungi dan tidak mendapatkan perlakuan semena-mena dari pemberi pekerjaan. 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya