Liputan6.com, Jakarta - Guru Sekolah Dasar di Wuhan, Tiongkok, bernama Xiao Ya sesekali masih sesak setelah berminggu-minggu dibolehkan pulang dari rumah sakit, di mana ia menghabiskan waktu selama sebulan dirawat sebagai pasien positif corona COVID-19.
Melansir South China Morning Post, Rabu, 1 April 2020, lantaran memasak, bahkan sajian sederhana sekalipun masih susah, perempuan 40 tahun ini sementara bergantung pada makanan takeaway selama menyelesaikan masa isolasi. Di tengah segala keterbatasan, Xiao menganggap dirinya masih beruntung.
Tak hanya karena ia lepas dari maut, namun nasib serupa juga terjadi pada orangtuanya yang tengah menjalani isolasi di hotel setelah perawatan di rumah sakit. Xiao mengatakan sudah tak sabar bertemu mereka.
Advertisement
Maklum, keluarga Xiao sudah berpisah selama berminggu-minggu karena mereka menjalani perawatan di fasilitas berbeda di Wuhan. "Saya di Fangcang makeshift hospital yang dialihfungsikan jadi pusat ekshibisi," ucapnya.
Baca Juga
Selama menjalani perawatan, Xiao menuturkan, sesama pasien biasanya saling mengobrol. "Dari perbincangan itu saya sadar bahwa saya sangat beruntung. Saya dan orangtua saya berhasil sembuh. Itu adalah hal terpenting," imbuhnya.
Berpikir positf selalu jadi cara Xiao dan pasien lain mejaga semangat satu sama lain. Sebagai catatan, ayah Xiao yang berusia 70 tahun telah batuk selama 10 hari dan ibunya berusia 68 tahun kehilangan nafsu makan selama seminggu pada akhir Januari 2020.
Di waktu bersamaan, Xiao juga kehilangan nafsu makan dan mulai demam ringan. Ia pun memeriksa suhu tubuh orangtuanya dan menemukan mereka juga demam ringan. CAT scan kemudian menunjukkan terdapat infeksi serius di paru-paru kedua orangtuanya.
Xiao tak langsung terpikir mengambil perawatan serupa. Saat itu, fokusnya hanya membawa kedua orangtuanya ke rumah sakit. Karena kedua orangtuanya terlalu lemah untuk bepergian jauh, Xiao pergi sendiri ke beberapa rumah sakit terdekat untuk mendapat slot tes corona COVID-19.
Kondisi ini membuatnya harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain hingga larut malam. Ia ingat melengkapi banyak form aplikasi, apapun yang membuat mereka bisa mendapat perawatan.
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Dari Kaos sampai Perlahan Kondusif
Waktu itu awal Februari, di mana 11 juta penduduk Wuhan berada dalam aturan ketat lockdown dan sistem pelayanan kesehatan tengah kaos. Fasilitas yag diubah jadi rumah sakit pun belum sebanyak sekarang.
"Saya sempat marah. Saya merasa keadaan sangat tak adil karena semua keluarga saya terinfeksi. Kami menjalani rutinitas sederhana, dari supermarket ke rumah. Kami tak makan hewan liar dan tak tahu di mana pasar itu," ucapnya.
"Saya ingat banyak orang coba membantu saya dengan membagikan berbagai macam informasi. Saya bahkan sangat lemah, tak bisa memegang handphone saya dengan benar. Saya pun minta bantuan kolega saya," ucapnya.
Tiga hari dari itu, orangtua Xiao akhirnya dipindahkan ke rumah sakit dengan fasiltas memadai, dan Xiao pun langsung memeriksa kondisi paru-parunya. "Tiga hari pertama benar-benar kaos. Petugas medis, semua dari Provinsi Shandong, tak tahu apa yang mesti dilakukan," katanya.
"Para pasien berlomba-lomba mendapatkan kotak makanan mereka yang ternyata terpapar residu. Tak ada petugas kebersihan, dokter, perawat yang bersih-bersih," sambungnya.
Seiring banyaknya bantuan medis di rumah sakit, kondisi mulai membaik, dan Xiao merasa rileks dengan bantuan konseling. "Mereka juga meminta kami melakukan olahraga ringan dan menari. Mereka bahkan membuat pesawa kertas dan menuliskan kata-kata motivasi d dinding untuk menyemangati kami," ucapnya.
"Dokter dan perawat berada di sana sepanjang waktu. Kapanpun saya bangun, saya melihat mereka memeriksa para pasien. Saat saya ke toilet di tengah malam, saya melihat mereka tetap duduk dan memerhatikan pasien. Saya merasa sangat aman," katanya.
Pernah dalam satu waktu, ucap Xiao, ia tengah bersama perawat yang memintanya berjalan perlahan karena ia terengah-engah dan tak bisa berjalan dengan baik memakai baju pelindung yang berat.
Setiap dokter dan perawat yang ia temui, semuanya ditambahkan datanya ke WeChat, sementara ibu Xiao memotret semua petugas medis yang membantu dan mengunggahnya ke WeChat grup keluarga mereka.
"Ibu saya mengatakan, ia mau mengingat mereka semua walau tak bisa mengenali dengan baik karena mereka mengenakan baju pelindung, Setiap hari ia menambahkan gambar dengan keterangan, 'Perawat ini bernama ini dan menyuntik saya'," tuturnya.
Saat Xiao Ya dan pasien lain dipindahkan ke Rumah Sakit Huoshenshan, mereka berkali-kali membungkukkan badan memberi hormat pada para pegawai yang mendampingi mereka dari zona merah ke pintu masuk. "Kami semua menangis," kata Xiao.
Ia akhirnya dibolehkan pulang pada 10 Maret, disusul ayahnya tiga hari kemudian. Xiao Ya kembali ke rumah seelah menjalani isolasi selama 14 hari. Ibunya keluar dari rumah sakit dan sekarang tengah menjalani isolasi di hotel.
Sejak perawatan awal, mereka tak mengeluarkan uang sepeser pun. "Ayah saya memberitahu saya bahwa yang ia inginkan hanya membuat sup akar lotus (makanan khas Wuhan) untuk keluarga saat kembali berkumpul. Ia mengatakan itu setiap hari," tandas Xiao.
Advertisement