Liputan6.com, Jakarta - Apakah Anda mengenal istilah pandemic pound? Istilah ini ternyata merujuk pada kenaikan berat badan yang terjadi akibat situasi pandemi Covid-19.Â
Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap sekitar 4.000 responden di Prancis menemukan bahwa selama dua bulan pembatasan sosial diberlakukan, 35 persen di antaranya mengalami kenaikan berat badan rata-rata sekitar 1,8 kilogram atau hampir dua kilogram.
"Itu enggak sedikit ya teman-teman, dua bulan dua kilo. Bayangkan kalau diteruskan, itu jadi berapa kilo kenaikannya," ujar Felicia Kartawidjaja Putra, Manager Nutrifood Research Center, dalam rangkaian program Nutriclass 2022 secara daring, Kamis, 13 Oktober 2022.
Advertisement
Baca Juga
Temuan serupa juga terjadi di Amerika Serikat. Dikutip dari laman Harvard Health Publishing: Harvard Medical School, Minggu (16/10/2022), berdasarkan penelitian pada 15 juta pasien dengan membandingkan perubahan berat badan antara setahun sebelum pandemi dan setahun masa pandemi, 39 persen pasien ternyata mengalami kenaikan berat badan.
"Dengan kenaikan berat badan yang didefinisikan di atas fluktuasi normal 2,5 pon (sekitar 1,25 kg), sekitar 27 persen naik kurang dari 12,5 pon (6,25 kg), sekitar 10 persen naik lebih dari 12,5 pon, dan dua persen naik lebih dari 27,5 pon (13,75 kg)," demikian hasil riset tersebut.
Salah satu penyebabnya adalah stres. Dalam kondisi tersebut, orang cenderung mencari pelarian ke makanan, terutama yang manis dan berlemak, tanpa memikirkannya atau dikategorikan sebagai mindless eating. Merujuk riset berbeda, Felicia menyebut 22 persen responden berusia 18 tahun ke atas yang diteliti meningkat konsumsi camilan manisnya.
"Pada responden dewasa, konsumsi buah dan sayur yang merupakan makanan sehat, tingkat konsumsinya menurun. Sedangkan, konsumsi camilan manis dan gorengannya meningkat. Ini bahaya sekali," sambungnya.Â
Minim Bergerak
Selain pola makan, fenomena pandemic pound juga disumbang oleh menurunnya pergerakan selama pandemi. Riset yang dimuat di jurnal AJCN 2021 menyebut tingkat aktivitas sekitar 52,8 persen populasi menurun. Sementara, waktu sedenter yang artinya tidak beraktivitas fisik secara aktif meningkat. Angkanya mencapai 63,2 persen populasi.
Riset berbeda yang dilakukan di 187 negara dengan jumlah responden 455.404 orang pada 2021 juga menemukan terjadi penurunan jumlah langkah 27 persen. "Ini lumayan sekali karena mungkin kalau di kantor, untuk diskusi, jalan dulu ke ruang meeting, atau ke toilet. Tapi kalau di rumah, semua dalam jangkauan," ujarnya.
Karena tidak boleh ke luar rumah, banyak orang akhirnya mencari hiburan dari televisi atau ponsel. Waktu yang mereka habiskan di depan layar lebih dari lima jam sehari untuk mencari hiburan bahkan meningkat hampir 40 persen. Ini berarti aktivitasnya kebanyakan hanya duduk.
Kombinasi dua faktor itu, sambung Felicia, meningkatkan risiko obesitas yang berujung pada penyakit tidak menular, seperti jantung dan diabetes. Terlebih, sejumlah angka penting yang menjadi indikator kesehatan ternyata meningkat signifikan, menurut riset yang dilakukan kepada sekitar 6.000 pekerja di Spanyol yang berlangsung pada 2020--2021.
"Baik lingkar pinggang, maupun persentase lemak dalam tubuh, gula darah, tekanan darah, kolesterol, bahkan lemak-lemak jahat (LDL), meningkatnya signifikan," ujarnya.
Â
Advertisement
Benahi Pola Makan
Situasi di Indonesia juga dinilai Felicia tidak terlalu berbeda. Data Kemenkes menyebut satu dari 10 orang Indonesia mengidap diabetes. Sementara satu dari tiga orang Indonesia mengidap hipertensi menurut Riskesdas 2018.Â
"Dengan data-data yang ada, trennya semakin seram ke depannya, lalu apa yang perlu kita lakukan di sini?" tanyanya retoris.
"Karena urusan kerjaan, misalnya, makan enggak teratur. Ada yang skip makan, akhirnya giliran makan berikutnya kelaparan. Akibatnya makannya jadi berlebihan, porsinya jadi membesar," ujarnya memberi contoh pola makan tak sehat.
"Ada juga mungkin sedang di area yang agak susah cari makanan, akhirnya makan goreng-gorengan, atau berlemak, atau yang manis-manis, dan makannya buru-buru. Akibatnya yang terjadi mindless eating. Makan yang makan saja, tapi tidak dinikmati, tidak dirasakan," sambungnya.
Karena itu, hal pertama yang perlu dilakukan adalah membenahi pola makan. Pola makan sehat, sesuai panduan Kemenkes, adalah menerapkan makan dengan gizi seimbang. Karbohidrat cukup 3--4 porsi sehari, disusul sayuran 3--4 porsi, buah 2--3 porsi, dan protein 2--4 porsi, serta mengurangi asupan gula, garam, dan minyak.
"Disederhanakan dengan konsep isi piringku. Kalau makan, isilah setengahnya dengan sayur-sayuran dan buah-buahan, sepertiganya baru makanan pokok, sisanya lauk-pauk. Kira-kira tiga kali makan seperti itu," ujarnya.
Â
Â
Bergerak, Bergerak
Dengan situasi kini perlahan kembali normal dan mobilitas lebih tinggi dari sebelumnya, orang dituntut untuk bergerak lebih banyak. Feli menyebut minimal 150 menit per minggu atau rata-rata 30 menit per hari beraktivitas aerobik dengan intensitas sedang. Minimal juga dua kali lakukan latihan angkat beban per minggu.
Tidak melulu harus ke pusat kebugaran, Feli menyatakan Anda bisa memanfaatkan kegiatan sehari-hari untuk mengembalikan berat badan ke angka ideal. Misalnya, menggunakan tangga untuk naik turun ke meja kerja.
Bisa juga dengan memarkirkan kendaraan lebih jauh untuk berjalan kaki, atau bahkan menggunakan transportasi publik yang menuntut lebih banyak berjalan.Â
"Bangun 30 menit lebih awal setiap hari untuk bisa melakukan peregangan," imbuhnya.
Jangan lupa untuk membatasi penggunaan gawai serta istirahat yang cukup. "Rekomendasinya itu 7--9 jam per hari. Tidak mudah tapi kalau dilakukan, sangat bermanfaat," imbuhnya.
"Dan, pola hidup sehat ini sangat mendukung kesehatan mental," ujar Feli.
Advertisement