Mengenal Carbon Footprint dan Pengaruhnya untuk Generasi Masa Depan

Carbon footprint atau jejak karbon jadi salah satu alasan mengapa terjadi pemanasan global. Hal ini bisa jadi 'dosa' kita terhadap generasi yang akan datang.

oleh Rusmia Nely diperbarui 18 Jun 2024, 07:00 WIB
Diterbitkan 18 Jun 2024, 07:00 WIB
Mengenal Carbon Footprint, Jadi 'Dosa' Kita untuk Generasi Masa Depan
Co-Founder Carbonethics Innandya Kusumawardhani, Fatima Amira Co-Founder SUSTAINATION, dan Nadine Chandrawinata Founder dan Excecutive Director Seasoldier pada acara talkshow Green Lifestyle di Plaza Indonesia Next Gen Festival 2024, Senin (27/05/2024). (dok. Liputan6.com/Rusmia Nely)

Liputan6.com, Jakarta - Pemanasan global jadi isu hangat yang sedang dialami oleh dunia saat ini. Keadaan kian parah, hingga muncul Paris Agreement pada 2015 yang menetapkan penurunan emisi karbon untuk menjaga pemanasan global tetap berada di bawah 2 derajat celsius.

"Kalau suhu pemanasan global melebih 2 derajat celsius, maka kita akan memasuki point of no return," sebut Innandya Kusumawardhani, Co-Founder dan Chief Operating Officer Carbonethics, pada acara Plaza Indonesia Next Gen Festival 2024, Senin (27/05/2024).

Wanita yang akrab disapa Nandya mengatakan bahwa hal ini diakibatkan oleh carbon footprint atau jejak karbon yang dihasilkan oleh kegiatan manusia sehari-hari. Jejak karbon tersebut menumpuk dan menghancurkan lapisan ozon di langit.

"Carbon footprint itu adalah hasil CO2 yang dihasilkan dari kegiatan manusia misalnya dari transportasi yang membuat lapisan ozon tipis sehingga pancaran matahari membuat bumi jadi semakin panas," tutur Nandya.

Pemanasan global akibat jejak karbon ini juga yang bertanggung jawab atas meningkatnya suhu dan heatwave yang menyerang dunia, hingga perubahan cuaca tak menentu yang mempengaruhi musim panen.

"Kita gak mau dong meninggalkan dosa untuk generasi-generasi ke depan," imbuh Fatima Amira, Co-Founder SUSTAINATION, e-commerce yang bergerak pada penjualan barang-barang berkelanjutan dengan sumber yang bertanggung jawab.

Amira menambahkan bahwa 'dosa' yang ditinggalkan oleh generasi kemudian ini akan ditanggung oleh yang akan datang dan mempengaruhi lingkungan hidup mereka ke depannya. Sebagai seorang ibu, motivasi soal generasi depan seharusnya juga jadi concern untuk beralih ke green lifestyle yang aman bagi lingkungan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Cara untuk Mengurangi Carbon Footprint dan Mengenal Carbon Ofsetting

Mengenal Carbon Footprint, Jadi 'Dosa' Kita untuk Generasi Masa Depan
Mengenal carbon offsetting sebagai langkah menebus 'dosa' jejak karbon yang ada. (dok.. Liputan6.com/Rusmia Nely)

Namun, bukan berarti jejak karbon yang kita hasilkan tersebut tidak dapat kita kurangi atau kita 'ganti'. Nandya menyebutkan ada tiga langkah dalam mengobati banyaknya jejak karbon yang kita hasilkan sehari-hari.

Ia menganjurkan untuk menghitung terlebih dahulu seberapa banyak jejak karbon yang dihasilkan karena pemakaian bahan bakar, sampah, pilihan makanan atau diet, dan pembelian produk yang merusak alam. Cara menghitungnya bisa dilakukan lewat website Carbonethics. 

Setelah mengetahui persentase besaran jejak karbon, maka kita bisa mengenali hal apa yang paling 'kotor'' dari kegiatan sehari-hari kita. Dengan tahu, maka setidaknya kita bisa mempertimbangkan pengurangan kapasitas pemakaiannya ke depan.

"Selain mengurangi, ada langkah lain yaitu carbon ofsetting. Langkah ini adalah dengan mengurang produksi jejak karbon dengan cara menambah jumlah pohon atau reforestation," sebut Nandya.

Artinya, kita menukar 'dosa' jejak karbon yang kita hasilkan dengan menanam sejumlah pohon yang bisa membantu melawan pemanasan global. Dengan menanam pohon dalam suatu area tertentu, diharapkan bisa menebus jejak karbon yang pernah dihasilkan sebelumnya atau malah membuat jejak karbon kita negatif.

Carbon offsetting sudah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dunia sebagai bentuk kewajiban dari jejak karbon yang dihasilkan akibat proses produksi mereka. Nandya mengatakan bahwa poin karbon bahkan dijadikan suatu nilai yang bisa dibeli oleh perusahaan dan menjadi penilaian untuk mengukur seberapa 'hijau' sebuah perusahaan.


Green Job yang sedang Berkembang

Ilustrasi menanam pohon
Ilustrasi menanam pohon. (Image by jcomp on Freepik)

Apa yang dilakukan oleh Nandya dan Amira merupakan salah satu bentuk green job atau lini pekerjaan yang berhubungan dengan keberlanjutan lingkungan. Mereka membangun perusahaan ecopreneurship yang berdasar pada kesadaran lingkungan dan energi alternatif yang diharapkan bisa membantu mengurangi emisi karbon yang sudah diproduksi oleh perusahaan konvensional lain.

"Saya melihat green job ini masih akan terus berkembang karena lini yang sangat luas dan masih baru muncul di sini," sebut Nandya soal proyeksi green job dan ecopreneur yang ada saat ini di Indonesia.

Nandya mengatakan bahwa untuk melakukan transisi dari pekerjaan konvensional biasa kepada pekerjaan di lini green job bisa dimulai dari mengikuti volunteer. Dari sana biasanya kita bisa bertemu dengan jenis-jenis pekerjaan berbasis lingkungan dan berkelanjutan.

Selain itu, Amira mengatakan bahwa memang dibutuhkan motivasi yang personal untuk benar-benar bisa mengadopsi gaya hidup hijau seperti ini. Ia menyarankan setiap orang untuk mencari 'Why' mereka masing-masing. 

"Kalau sudah bertemu dengan 'why'-nya, itu bisa lebih mudah untuk memulai dan bisa dimulai dari hal-hal yang terdekat dulu. Kalau kamu senang di dapur, mulai gaya hidup hijau dari dapurmu," imbuh Amira.

 


Target Net Zero Emission 2060, Siapkah Indonesia?

Hadapi Global Warming, Mesin Penghisap Emisi Karbon Kini Dibangun
Emisi karbon merupakan kunci penting untuk menghindari perubahan iklim saat ini. Solusinya adalah mesin penghisap karbon di Swiss. (Pixabay)

Mengutip dari Tim Bisnis Liputan6.com, Senin, 2 Mei 2024, Indonesia tengah dalam masa transisi menuju target pengurangan emisi Green House Gas (GHG) sebesar 29 persen tanpa syarat, dan sebesar 41 persen dengan syarat. Indonesia juga telah berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emission paling lambat pada 2060.

Wakil Menteri BUMN I Pahala Nugraha Mansury mengatakan, saat ini transisi Indonesia menuju net zero menjadi topik hangat karena negara berambisi untuk mencapai pengurangan emisi karbon sampai 32 persen pada 2030.

"Untuk menjawab tantangan yang ada, sektor yang paling berpengaruh dalam hal ini adalah sektor finance atau keuangan, di mana kita harus mencari cara yang kreatif untuk bisa mewujudkan target yang akan kita capai melalui keuangan yang lebih baik. Kedua, adalah bagaimana Indonesia mengembangkan market karbon," ujar Pahala

Pahala ingin agar sektor publik dan swasta bekerja sama dalam mencapai Net Zero Emission untuk Indonesia. "Target kita paling utama adalah mensosialisasikan dan juga supaya semakin banyak distribusi emiten maupun fund-fund dalam hal disclosure terkait mengenai ESG," imbuhnya.

Wakil Menteri Kementerian Lingkungan Hidup, Alue Dahong mengatakan, sektor energi menjadi kontributor terbesar dalam emisi karbon. Untuk itu, jika tidak melakukan penurunan emisi dengan melakukan efisiensi energi dan transformasi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan, maka Indonesia tidak akan mecapai Net Zero Emission pada 2060.

Infografis Menerapkan Gaya Hidup Ramah Lingkungan
Infografis Menerapkan Gaya Hidup Ramah Lingkungan. (Liputan6.com/Triiyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya