Liputan6.com, Jakarta - Ada unit khusus di Pentagon, Departemen Pertahanan Amerika Serikat yang ditugaskan mengembangkan robot mengerikan, senjata canggih, dan teknologi futuristik. Namanya, Defense Advanced Research Projects Agency atau disingkat DARPA.
Konon, lembaga itu dipenuhi para 'ilmuwan gila' supercerdas yang produktif menelurkan gagasan di luar arus utama (mainstream). Bagi mereka, langit adalah batas.
Termasuk hasil karyanya adalah peluru yang bisa berbelok mengejar targetnya, robot ala film 'Terminator', kendaraan tempur canggih, mobil terbang, pesawat siluman, dan teknologi yang kini menjadi bagian hidup manusia -- prostetik, GPS, semikonduktor gallium arsenide, juga ARPANET yang merupakan cikal bakal internet yang ditemukan pada 1969.
Dengan kata lain, DARPA mewujudkan apa yang sebelumnya dikira hanya ada di film fiksi sains. Satu per satu ia mewujudkan imaji liar manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Advertisement
credit foto: Wikipedia
Dan, semua itu diawali dari rasa sakit hati dan harga diri yang terluka. 4 Oktober 1957 adalah hari tatkala Amerika Serikat merasa kalah. Kala itu, Uni Soviet berhasil meluncurkan roket pertama ke angkasa luar, Sputnik I.
Kompetisi dengan Uni Soviet
Negeri Paman Sam tak mengira bakal disalip Uni Soviet di bidang sains dan teknologi. Oleh negara yang selama itu dikira 'primitif' soal iptek.
Di tengah Perang Dingin, kecurigaan pun menyeruak, jangan-jangan peluncuran Sputnik adalah kedok bagi pengembangan roket yang bisa meluncurkan rudal menyeberangi Samudra Atlantik.
Presiden AS Dwight Eisenhower pun mendirikan Advance Research Projects Agency (ARPA) -- pendahulu DARPA -- setahun setelah peluncuran Sputnik pada 1958. Misinya jelas. "Mencegah munculnya kejutan di bidang teknologi," demikian Liputan6.com kutip dari situs sains New Scientist.
DARPA sendiri menyebut, peluncuran Sputnik adalah, "Sinyal pentingnya perubahan fundamental dalam program sains dan teknologi pertahanan AS."
Eisenhower berharap, badan yang baru didirikan akan menghasilkan temuan revolusioner. Jangan ada lagi kekalahan telak dari lawan.
Komputer yang Bisa Memahami Manusia
Hingga saat ini, selama 57 tahun sejarahnya, DARPA terus membuat kejutan. Belakangan, lembaga tersebut mengumumkan telah menemukan mesin pencari canggih yang diklaim lebih hebat dari Google: Memex.
Mesin pencari tersebut konon bisa melacak layanan tersembunyi dalam situs gelap atau ‘dark web’. DARPA berharap, dengan menggunakan Memex, pihaknya bisa membantu penegak hukum melacak aktivitas ilegal secara digital.
Tak hanya itu inovasi DARPA. Seperti dikutip dari FOXNews, 20 Februari 2015, DARPA sedang mengembangkan program Squad X Core Technologies (SXCT) yang bertujuan meningkatkan kekuatan tempur pasukan infanteri AS.
Teknologi yang sebelumnya ada di pesawat tempur, kapal, kendaraan perang lainnya, akan berada di tangan masing-masing serdadu yang ada di medan perang. Biasanya, teknologi ultracanggih seperti itu membutuhkan peralatan skala besar. Penelitian terus dilakukan untuk mengurangi bobotnya secara signifikan agar tak tambah membebani para serdadu.
"SXCT bertujuan membantu pasukan infanteri memiliki kesadaran penuh tentang kondisi di sekitarnya, mendeteksi ancaman sedari jauh, dan, bila perlu, menyerang musuh lebih cepat dan tepat daripada sebelumnya," kata manajer program DARPA, Mayor Christopher Orlowski.
DARPA juga mengembangkan peluru kaliber 50 Extreme Accuracy Tasked Ordnance (EXACTO), yang bisa berbelok menghindari hambatan, menuju target yang dituju. Sementara, teknologi OneShot XG, diyakini bisa meningkatkan akurasi para penembak jitu.
Advertisement
Teknologi Pemandu Pilot Tempur
Dan, dengan menggunakan inovasi lain, teknologi Persistent Close Air Support (PCAS), pasukan dapat memanggil bantuan jet atau helikopter untuk menyerang kekuatan musuh di darat.
Jika menggunakan taktik dan sumber daya saat ini, biasanya dibutuhkan waktu 30-60 menit untuk melakukannya. Namun, dengan PCAS, waktu yang diperlukan hanya 6 menit -- yang memungkinkan tentara menunjuk ke salah satu titik dalam peta digital, lalu pilot menerima koordinat, rencana penerbangan, dan solusi pemboman, sebelum akhirnya menyerang.
credit: DARPA
DARPA juga sedang berusaha membuat komputer bisa berkomunikasi secara lebih baik dengan orang. Atau dengan kata lain membuat mesin yang bisa bertukar kata dengan manusia.
Jika komputer bisa memahami komunikasi manusia lebih baik, ilmuwan DARPA meyakini, niscaya mereka bisa memahami dan membantu memecahkan masalah jauh lebih baik daripada yang mereka lakukan sekarang.
Namun, memahami bahasa manusia dan konteksnya bukan perkara mudah bagi mesin.
Untuk sampai ke titik itu, DARPA akan melakukan sejumlah proyek, misalnya kerjasama antara komputer dan manusia dalam penulisan sebuah cerita pendek.
"Itu adalah permainan biasa bagi manusia, tetapi tantangan yang luar biasa untuk komputer," kata manajer program DARPA, Paul Cohen seperti dikutip dari situs DC Inno. "Untuk melakukannya dengan baik, mesin harus melacak ide-ide dalam cerita, kemudian menghasilkan sebuah ide tentang bagaimana untuk memperpanjang cerita dan mengekspresikan ide tersebut dalam bahasa."
Ada lagi teknologi Airborne Launch Assist Space Access -- yang meski namanya berbelit-belit untuk sebuah program – namun menjanjikan hal yang menggiurkan: bisa menempatkan satelit di orbit dalam waktu 24 jam dengan biaya kurang dari US$ 1 juta.
Cara kerjanya, satelit akan ditempatkan di sebuah roket yang melekat pada sebuah jet. Jet tersebut kemudian akan terbang ke bagian atas atmosfer dan melepaskan roket, juga satelit, ke orbit Bumi.
Proyek pengembangan DARPA yang juga berguna bagi banyak orang adalah HAPTIX, Hand Proprioception and Touch Interfaces, yang tak hanya membuat prostetik yang bekerja seperti organ tubuh manusia, namun juga merasakan seperti yang asli.
Menghasilkan Sejumlah Robot
Serangkaian robot juga dihasilkan, salah satunya The Shipboard Autonomous Firefighting Robot atau SAFFiR yang dirancang untuk mengidentifikasi titik panas sebelum kebakaran terjadi.
DARPA juga sedang menciptakan implan yang membuat seseorang memiliki daya penglihatan laiknya Terminator. Menurut CNET, DARPA dilaporkan bekerja pada sebuah perangkat yang dikenal sebagai ' 'cortical modem’ atau modem kortikal.
Sejak 2012, DARPA bekerja sama dengan NASA memberikan dana hibah bagi entitas swasta, organisasi , atau individu dalam rangka mewujudkan penjelajahan antar bintang. Mirip yang ada di Film StarTrek.
Mata-mata Telepati yang Gagal
Tak semua program berbuah manis. Pada era 1990-an, DARPA menggunakan US$ 7 juta untuk riset bom hafnium, yang diperkirakan bisa melepaskan ledakan sinar gamma sangat besar tanpa menimbulkan dampak seperti senjata nuklir.
Namun, proyek tersebut gagal total. Tak ada bukti senjata semacam itu pernah ditemukan.
DARPA juga pernah berusaha untuk menciptakan sebuah "gajah mekanik" selama perang Vietnam. Hasilnya, nihil.
Dan, salah satu yang paling terkenal dari lembaga tersebut adalah program mata-mata psikis pada era 1970-an – yang dilakukan pasca-munculnya laporan bahwa Uni Soviet sudah lebih dulu mengembangkan hal serupa.
“DARPA menginvestasikan jutaan dolar untuk melihat apakah telepati dan psikokinesis -- yang diklaim untuk memindahkan objek dengan menggunakan kekuatan pikiran – bisa digunakan dalam kegiatan spionase,” demikian dikutip dari situs NewScientist. Dan hasilnya, tidak bisa.
Kegagalan lain adalah Proyek Orion. Tujuannya adalah mewujudkan pesawat angkasa luar yang akan memanfaatkan ledakan nuklir sebagai daya dorong.
Proyek tersebut dimulai pada 1958, sesaat setelah DARPA didirikan. Para pendukungnya mengklaim, Orion akan bisa dijadikan wahana penjelajahan antarbintang. Sebab, selain efisien dalam hal bahan bakar, dorongan yang dihasilkan juga dahsyat.
Masalahnya adalah soal limbah nuklir yang dihasilkan. Proyek tersebut berakhir pada 1963 setelah penandatanganan Partial Nuclear Test Ban Treaty yang melarang uji coba nuklir di angkasa luar.
DARPA terkenal karena programnya yang ambisius dan terkesan ‘beyond the future’. Lembaga tersebut banyak melakukan riset rahasia. Namun, menurut sejumlah orang, ia tak bisa tutup mulut menyimpan rahasia. (Yus)
Advertisement