'Obral' Remisi untuk Koruptor

Obral remisi dan pembebasan bersyarat narapidana koruptor ini mendapat dukungan dari partai, seperti PKS, PPP dan Partai Gerindra.

oleh Oscar Ferri diperbarui 19 Mar 2015, 00:29 WIB
Diterbitkan 19 Mar 2015, 00:29 WIB
Remisi untuk Koruptor
Ilustrasi remisi koruptor

Liputan6.com, Jakarta - Pemberian remisi kepada narapidana koruptor menuai kontroversi. Banyak pihak mengkritik pemberian remisi ini kepada Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly, dengan sindiran 'obral remisi koruptor'.

Obral remisi koruptor ini sebenarnya sudah lama terdengar sejak akhir 2014 saat pemberian remisi Natal, namun belakangan ini kembali muncul ke publik. Saat menghadiri rapat dengan Komisi III DPR RI pada 21 Januari 2015, Yasonna mengaku isu remisi koruptor memang dilematis dan isu klasik yang kerap diarahkan ke Kemenkumham.

Dia menjelaskan, remisi bisa diberikan asalkan narapidana yang bersangkutan telah memenuhi syarat dan berhasil dibina. Karena lembaga pemasyarakatan memang berparadigma sebagai tempat pembinaan.

Di hadapan anggota Komisi III itu, Yasonna justru menyorot permainan uang suap yang dilakukan narapidana untuk mendapatkan remisi. Pihaknya tidak menutup mata terhadap realitas itu dan akan membuat hal serupa tak terulang. ‎

Yang menjadi masalah sebenarnya, pernyataan Yasonna terkait niatnya menjamin kepada narapidana kasus korupsi mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Padahal, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, narapidana kasus korupsi, terorisme, dan narkotika tidak bisa mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat.

Yasonna mengatakan, semua narapidana tidak bisa didiskriminasi melalui PP Nomor 99 tersebut. Sebab ‎semua narapidana dinilainya berhak mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat. Tak terkecuali koruptor.

"Remisi itu hak siapa pun dia narapidana dan ini kan WB (Whistleblower)," ujar Yasonna usai diskusi di Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawang, Jakarta Timur, Kamis 12 Maret.

Kemenkumham sebelumnya mengeluarkan Surat Edaran (SE) Menkumham Nomor M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013 tentang Tata Cara Petunjuk Pelaksanaan Pemberlakuan PP Nomor 99 Tahun 2012.

SE yang dikeluarkan Menkumham era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Amir Syamsuddin itu dinilai membatasi penerapan PP 99 Tahun 2012 terkait pemberian remisi.

‎Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menilai, SE Menkumham itu bertolak belakang dengan pengetatan remisi melalui PP Nomor 99. Dalam PP itu diatur remisi hanya diberikan bagi narapidana yang bersedia menjadi justice collaborator dan telah membayar lunas denda serta pidana uang pengganti.

‎"SE Menkumham tahun 2013 itu justru bertolak belakang dengan PP. SE itu membatasi penerapan PP dimana yang terikat PP adalah narapidana kejahatan luar biasa yang vonisnya berkekuatan hukum tetap setelah 12 November 2012," kata Emerson belum lama ini.

Menurut Emerson, SE Menkumham tersebut berimplikasi kepada 2 regulasi yang menjadi dasar hukum terhadap pemberian remisi dan bebas bersyarat bagi narapidana korupsi. Yakni PP 99 Tahun 2012 dan SE Menkumham Tahun 2013.

Akibatnya ‎sampai Agustus 2014, pemerintah telah memberikan 2 kali remisi kepada narapidana korupsi. Yakni remisi Idul Fitri dan remisi Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Belum lagi pada akhir tahun lalu, pemerintah juga sudah memberikan remisi Natal kepada narapidana korupsi lainnya.

Belakangan ini, Yasonna membantah obral remisi koruptor. Maksud memberlakukan revisi terkait peraturan perundangan yang mengatur soal korupsi terhadap terpidana korupsi, ditujukan untuk mengubah  prosedur pemberian remisi, bukan melonggarkan remisi.

"Saya setuju kita ketatkan, tapi ujung prosedurnya itu yang perlu diperbaiki. Ini kan melekatkan pemberian remisi kepada instansi lain yang seharusnya melalui sistem peradilan pidana itu ada di ujung," ujar Yasonna di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Senin 16 Maret. ‎
‎
Yasonna juga berang disebut obral remisi koruptor. Menurut dia, pihaknya saat ini tengah melakukan kajian terhadap pembinaan narapidana. Dia tidak menginginkan hak-hak narapidana, termasuk koruptor, mendapatkan remisi hilang hanya karena PP 99 Tahun 2012 itu.

Ini kan saya mencoba menata. Saya datang menata sistem administrasi lapasnya, supaya itu rapi. Tapi yang heboh seolah-olah kami obral remisi. Ini perlu dikoreksi, dalam setiap institusi pidana, ada kamar-kamar sendiri," kata Yasonna dengan nada tinggi usai acara Laporan Tahun 2014 Mahkamah Agung di Jakarta Convention Center, Jakarta, Selasa 17 Maret.

Menurut dia, dalam sistem peradilan pidana, masing-masing institusi sudah memiliki kewenangan dan kewajiban. Misalnya, kepolisian dan KPK yang berwenang menyidik, lalu jaksa penuntut, hakim yang memutuskan perkara dan lembaga pemasyarakatan yang bertugas melakukan pembinaan.

Sehingga, kata Yasonna, tidak tepat bila ada pihak justru mengatakan dirinya tak sejalan dengan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi hanya karena menjamin pemberian remisi untuk koruptor. Padahal, dalam undang-undang disebutkan pembinaan tidak boleh hilangkan hak-hak warga binaannya.

Dukungan Parpol

Obral remisi dan pembebasan bersyarat narapidana koruptor ini ternyata mendapat dukungan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Politisi PKS Aboe Bakar Alhabsyi mengatakan, terpidana kasus korupsi meski pun sudah terbukti melakukan korupsi, belum tentu yang bersangkutan terlibat TPPU. Namun, hak remisi bagi narapidana kasus korupsi bukan hal yang menarik untuk dibicarakan.
‎
Terkait pantas atau tidak koruptor dapat remisi, dia lebih menekankan kepada hak-hak terpidana kasus korupsi yang kerap diabaikan penegak hukum.

"Bukan pantas, bukan pantas. Kalau dirasakan ada kezaliman dan hak dalam seseorang itu aja. Di KPK saja kan buktinya praperadilan Budi Gunawan bisa menang, artinya kan ada sesuatu," ujar dia di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 14 Maret.

Senada dengan Aboe Bakar, Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Akhmad Gozali Harahap juga sepakat remisi dan pembebasan bersyarat diberikan kepada terpidana korupsi.

"Tetap ada hal yang perlu dibenahi kalau memang ada hal yang perlu dibenahi. Tapi pada waktu yang sama memang perlu dibela orang-orang yang terzalimi, itu aja," kata G‎ozali

Gozali pun mencontohkan terpidana pencucian uang bukan berarti orang tersebut bersalah. Bisa saja orang tersebut karena korban hukum. Proses penetapan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka gratifikasi dan janji saat menjabat Kepala Biro Pembinaan dan Karir Sumber Daya Manusia Mabes Polri.

"Buktinya, di KPK saja ada yang bisa, buktinya praperadilan BG bisa menang. Artinya kan ada sesuatu (yang tidak beres) kan. Kita nggak bisa anggap enteng lho praperadilan BG itu," ujar Gazali.

Partai Gerindra juga menyatakan dukungan yang sama. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menyatakan, para terpidana berhak mendapat remisi jika berkelakuan baik selama menjalani masa tahanan. Tidak peduli jenis kejahatannya, termasuk terpidana korupsi.
    
"Ini menyangkut hak. Selama berkelakuan baik ya nggak apa-apa. Hukuman ya tergantung hukumannya. Kalau remisi kan hak dari napi secara keseluruhan," kata Fadli Zon di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 16 Maret.

Wakil Ketua DPR itu berharap, keberadaan PP Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan tersebut, tidak diskriminatif dan membeda-bedakan status tersangka dalam hal pemberian remisi.

"Saya kira PP itu jangan diskriminatif. PP harus disesuaikan dengan hak narapidana. Kalau mau diperberat ya di hukumannya itu," ujar Fadli.

Sementara Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK sejalan dengan Yasonna.
Sebelum seorang koruptor menjalani hukuman, ia harus menjalani persidangan lebih dulu. Ada serangkaian aturan yang harus dipenuhi sebelum koruptor divonis.

"Kalau memang karena korupsi, itu memang kriminal berat. Tentu hukumannya juga berat. Tapi remisi bagian dari hukum itu sendiri," kata JK, di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu 18 Maret.

Begitu pula dengan pemberian remisi kepada rapidana koruptor. Menurut JK, pemberian remisi baru diberikan bila aturan yang berlaku terpenuhi. Sama seperti narapidana lainnya.

"Ini kan kalau orang sudah dipenjara, sudah merasakan vonis, tentu juga sudah menjalani aturan-aturan yang ada. Menjadi sama dengan yang lain, baru diberikan remisi tentu," jelas JK.

Kemunduran

Pelaksana Tugas (Plt) Pimpinan KPK Johan Budi menolak rencana Kemenkumham terkait pemberlakuan remisi koruptor. Sebab, pemberian remisi kepada koruptor bertentangan dengan upaya pencegahan dan penindakan korupsi.

Tak hanya dirinya, Johan pun memberi sinyal bahwa 4 pimpinan KPK lainnya juga tidak setuju dengan rencana tersebut. Namun, pihaknya menyerahkan keputusan tersebut kepada Menkumham Yasonna.

"Kecewa atau tidak? (atas rencana pemberian remisi koruptor), ya dalam hidup biasa lah kecewa. Ini domainnya Kemenkumham," ucap Johan di Istana Kepresidenan, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin 16 Maret.

Menurut Johan, pemberian remisi koruptor ini bertentangan dengan PP Nomor 99 Tahun 2012. Ia menganggap, jika itu tetap dilakukan pemerintah, maka ini menjadi sebuah kemunduran bagi upaya pemberantasan korupsi. Sebab bisa saja tidak timbul efek jera bagi para koruptor dengan pemberian remisi.

Bila pemberian remisi tersebut tetap diberlakukan, Johan meminta agar pemerintah tidak begitu saja mengobral remisi tersebut. Menkumham harus membuat aturan dan syarat-syarat yang ketat bagi para penerima remisi.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Yenti Ganarsih menilai, saat ini hukuman penjara tidak membuat jera para pelaku korupsi atau koruptor. Sehingga tidak setuju dengan rencana pemerintah memberikan remisi koruptor.

Yenti mengaku prihatin dengan rencana pemerintah memberikan remisi kepada para terpidana korupsi. Dengan adanya remisi koruptor atau terpidana korupsi, akan mengurangi ketegasan pemerintah dalam memberantas korupsi.

"Ini suatu hal secara hukum sedang berjalan di Indonesia, baik di dalam proses termasuk remisi. Kalau berkaitan dengan remisi ini yang diperlonggar, dalam hal pemberantasan korupsi," ucap Yenti di Jakarta Pusat, Minggu 15 Maret.

Pada kesempatan sama, mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua menolak tegas rencana pemberian remisi terpidana korupsi. Bahkan, dia mengusulkan hukuman bagi para terpidana korupsi disamakan dengan para terpidana narkotika, yakni hukuman mati.

"Jadi menurut saya tidak perlu diberikan remisi untuk koruptor. Makanya saya usulkan hukuman mati seperti terpidana narkoba," pungkas Abdullah. (Rmn)

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya