Liputan6.com, Jakarta Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Saud Usman Nasution menilai hukum yang berlaku menjadi salah satu penyebab jaringan radikal berkembang subur di Indonesia.
Oleh karena itu, dia meminta Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berpendapat dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan direvisi.
"UU Nomor 9 Tahun 1998 dan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keormasan harus direvisi agar ada pegangan hukum. Di lapangan polisi nggak bisa berbuat apa-apa," kata Saud usai acara Bincang Senator 'ISIS dan Upaya Deradikalisme' bersama Liputan6.com di Senayan, Jakarta, Minggu 22 Maret 2015.
Saud menjelaskan, adanya UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berpendapat ini membuat penegak hukum tidak bisa menindak seseorang atau kelompok dalam melakukan upaya penyebarluasan pemikiran mereka.
"Jadi legalitas di negara kita beri peluang terhadap radikalisme. Undang-Undang Kebebasan Berpendapat menjamin semua bebas ngomong, nggak ada aturannya. Yang dilarang justru orang yang menghambat omongan itu," ujar dia.
Saud menuturkan, sanksi dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas terlalu lemah. Sehingga pada akhirnya tidak menimbulkan efek jera bagi ormas yang melanggar.
"Ada juga UU Keormasan yang diatur adalah ormas yang terdaftar saja, ancaman hukum hanya dicabut izin. Yang tidak terdaftar? Tidak ada sanksinya. Di sinilah agar kita ingin konsisten, mari kita revisi dan cari solusi bagaimana membuat masyarakat ada efek jera dengan sanksi hukum," tandas Saud.
Beberapa warga Indonesia diduga bergabung dengan kelompok radikal ISIS. Ada yang diduga perekrut, penyuplai dana, hingga yang berangkat langsung ke Suriah, negara yang sebagian wilayahnya dikuasai ISIS.
Advertisement
Polisi juga menggelar Operasi Camar Maleo di Poso, Sulawesi Tengah yang bertujuan menangkap kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso. Operasi ini dimulai 26 Januari sampai 26 Maret 2015. (Mvi/Sss)