Saksi Ahli di MK: Pengangkatan Kapolri Tak Lewat DPR Berbahaya

Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengajukan gugatan uji materi UU tentang TNI dan Polri ke MK.

oleh Oscar Ferri diperbarui 05 Mei 2015, 14:36 WIB
Diterbitkan 05 Mei 2015, 14:36 WIB
MK Gelar Sidang Pengujian UU Terkait TKI
Suasana Sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN) di Gedung MK Jakarta, Rabu (18/3/2015).(Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran I Gde Pantja Astawa menyatakan, pengangkatan Kepala Polri dan Panglima TNI harus tetap melalui persetujuan DPR. Tanpa lewat DPR maka akan melahirkan dampak yang berbahaya.

Hal itu dikatakan Gde saat memberi keterangan di Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai ahli dari pihak terkait dalam uji materi Pasal 11 ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4 dan ayat 5 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri dan Pasal 13 ayat 2, ayat 3, ayat 4, ayat 5, ayat 6, ayat 7, ayat 8, dan ayat 9 UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. UU Polri dan UU TNI itu digugat mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana.

‎"Kalau tidak lewat DPR bisa berbahaya. Sebab nanti dalam praktiknya Presiden bisa berbuat sewenang-wenang dalam pengangkatan terhadap Kapolri," ujar Gde di ruang sidang utama Gedung MK, Jakarta, Senin (5/5/2015).

Selain itu, lanjut Gde, pengangkatan Kapolri juga sudah sesuai dengan keputusan politik Pemerintah Indonesia 15 tahun silam. ‎Pada 18 Agustus 200 melalui MPR yang dituapkan dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, dan Ketatapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.

Kata Gde, dalam keputusan politik itu disebutkan sejumlah hal. Salah satunya bahwa pengangkatan Kapolri harus melalui persetujuan DPR yang tertuang dalam Pasal 7 ayat 3 Ketetapan MPR Nomor VII‎/MPR/2000.

"Polri dipimpin oleh Kapolri yang diangkat dan diberhentikan dengan persetujuan DPR‎," ujar Gde.‎

Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengajukan gugatan uji materi ke MK Pasal 11 ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4 dan ayat 5 UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri dan Pasal 13 ayat 2, ayat 3, ayat 4, ayat 5, ayat 6, ayat 7, ayat 8, dan ayat 9 UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.‎

Denny selaku Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya UU Polri dan UU TNI. Kuasa hukum Denny, Heru Widodo mengatakan, s‎esuai UUD 1945, sistem pemerintah yang dianut Indonesia adalah presidensial. Namun, saat ini Presiden belum bisa mendapatkan hak prerogatifnya secara mutlak.
‎
Sebab, lanjut dia, dalam UU Polri dan UU TNI mengatur pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dan Panglima TNI harus melalui pertimbangan DPR. Padahal sudah seharusnya‎ Presiden punya hak prerogatif secara penuh untuk mengangkat atau memberhentikan personel pemerintahannya tanpa melibatkan persetujuan seperti DPR.

"Harusnya Presiden punya kuasa penuh dalam memilih atau mencopot Kapolri," ujar Heru pada sidang perdana Kamis 5 Februari 2015 lalu.

‎Karena itu, Heru menilai, UU Polri dan UU TNI bertentangan dengan konstitusi. Sebab hak prerogatif Presiden dalam sistem presidensial diatur secara tegas dalam UUD 1945. (Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya