Liputan6.com, Jakarta - Dewan Pers mencatat pertumbuhan media berita online atau siber pada 2016 mencapai sekitar 43 ribu situs. Namun, dari puluhan ribu portal media online tersebut, lebih banyak media abal-abal dibandingkan dengan yang terverifkasi.
Anggota Dewan Pers Ratna Komala menyampaikan, ada sejumlah ciri dari media yang disinyalir abal-abal. Media jenis ini sangat mungkin menyebarkan berita bohong atau hoax.Â
Baca Juga
"Media profesional adalah yang berbadan hukum. Kalau enggak, udah pasti abal-abal. Alamat redaksi juga harus jelas. Ada yang begitu dicek tahunya alamat ruko atau restoran Padang," ujar Ratna di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (26/4/2017).
Advertisement
Menurut dia, media abal-abal tidak memiliki struktur organisasi yang jelas. Jika tidak ada hal itu, maka pemberitaan yang dimuat perlu dipertanyakan kebenarannya.
"Mencantumkan nama penanggung jawab. Misalnya di credit tittle. Itu bentuk pertanggungjawaban produk jurnalistik dihasilkan. Kalau tidak ada itu bisa dipastikan hoax," dia menjelaskan.
Ciri lainnya adalah media online abal-abal akan memunculkan artikel secara random atau menunggu momen tertentu saja. Khususnya demi memenuhi kepentingan sekelompok golongan. Bahkan media abal-abal menggunakan kekuatan pers untuk memeras.
"Terbitnya temporer. Ada kepentingan dengan pejabat tertentu. Ya, bahkan memeras. Bahasanya standar, tendensius, menjelekkan, memfitnah. Di-frame isinya," dia mengatakan.
Ratna juga membeberkan sejumlah modus operandi wartawan media abal-abal dalam beraksi demi kepentingannya sendiri.
"Ada yang mendatangi sekolah-sekolah dan menuduh penyalahgunaan dana BOS. Diperaslah semua. Biasanya menggunakan nama-nama yang bermaksud menakuti masyarakat. BIN misalnya. Intelijen-intelijen gitu," Ratna menandaskan.