Liputan6.com, Jakarta - Di tengah pandemi Corona Covid-19 yang sedang dihadapi dunia, termasuk Indonesia, ada sebagian telah memulai kembali proses pembelajaran sekolah tatap muka.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menegaskan, sekolah tatap muka hanya diterapkan di zona hijau dan kuning. Dua zona ini masing-masing artinya dengan risiko terkontrol dan rendah.
Baca Juga
Wiku menyebut, ada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi agar sekolah yang berada di zona hijau dan kuning bisa melakukan sekolah tatap muka.
Advertisement
"Kami kembali tegaskan daerah-daerah buka aktivitas sekolah adalah zona kuning dan hijau itu pun berbagai persyaratam, simulasi dan kesiapan yang dilakukan. Zona oranye dan merah mohon agar tak buka sekolah dulu, karena perlu belajar bersama dulu dari risiko rendah karena potensi penularan cukup tinggi," ujar Wiku seperti ditulis pada Selasa, 11 Agustus 2020.
Sementara itu, menurut Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD-Dikdasmen) Jumeri, laporan per 13 Agustus 2020, baru 1.410 sekolah di zona hijau dan kuning yang mengadakan tatap muka langsung.
"Data hari ini, hanya 1.410 sekolah yang sudah tatap muka, 7.002 sekolah masih belajar daring," ujar Jumeri dalam diskusi virtual Evaluasi Implementasi Penyesuaian SKB Empat Menteri, Kamis, 13 Agustus 2020.
Berikut hal-hal terkait sekolah tatap muka yang boleh mulai dilakukan dihimpun Liputan6.com:
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Diizinkan Kemendikbud
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim memperbolehkan, sekolah yang berada di zona kuning dapat melakukan pembelajaran tatap muka di tengah pandemi virus corona yang menyebabkan Covid-19.
Di mana, sebelumnya, pemerintah baru mengizinkan sekolah tatap muka dilakukan di zona hijau atau daerah yang aman Covid-19.
"Kami beserta 3 kementerian lainnya mengimplementasikan perluasan ada dua hal. Pertama adalah perluasan pembelajaran tatap muka untuk yang zona kuning," ujar Nadiem dalam video conference, Jumat, 7 Agustus 2020.
Dia menjelaskan, ada 43 persen peserta didik yang bersekolah di daerah zona hijau dan kuning. Sementara, 53 persen peserta didik lainnya berada di zona merah dan oranye atau rawan Covid-19.
"Banyak sekali mayoritas dari daerah terrtinggal dan terluar Indonesia ada di zona hijau dan kuning," tutur Nadiem.
Advertisement
Sekolah Tatap Muka Tidak Wajib
Meski diperbolehkan, Nadiem menjelaskan kebijakan sekolah tatap muka ini tidak wajib dijalankan. Dia pun meminta agar semua tetap mengikuti protokol kesehatan, demi mengendalikan Covid-19.
Sementara itu, untuk peserta didik dan sekolah di zona merah dan oranye diminta untuk tetap melakukan pembelajaran jarak jauh melaku daring.
"Untuk zona hijau dan kuning diperbolehkan bukan dimandatkan dipaksakan, tetapi diperbolehkan kalau berkenan untuk melakukan pembelajaran tatap muka tetapi tentunya dengan protokol-protokol," ucap Nadiem.
Dia menjelaskan, tidak mewajibkan kebijakan tersebut, lantaran semua masih menjadi hak prerogatif masing-masing sekolah dan orangtua murid.
"Untuk itu kita akan merevisi ini untuk memperbolehkan, itu kata kuncinya, memperbolehkan bukan memaksakan pembelajaran tatap muka dengan mengikuti prtokol kesehatan yang ketat," tutur Nadiem.
Dia menerangkan, semua ini harus didasari oleh kesepakatan bersama. Baik dari Pemerintah daerahnya, pihak sekolah sampai orang tua siswa.
"Jadi kami masih mementingkan otonomi dan prerogatif sekolah dan komite sekolah harus dengan persetujuan semua," Nadiem menandasi.
Sekolah Tatap Muka Jadi Pilihan
Penyesuaian surat keputusan bersama empat menteri memperbolehkan daerah zona kuning Covid-19 membuka kembali satuan pendidikan.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendikbud, Ainun Na’im menjelaskan, realisasinya diserahkan kepada pemerintah daerah, pihak sekolah dan orangtua murid.
"Keputusan tetap ada di pemerintah daerah, kepala sekolah, komite sekolah dan orangtua. Namun hal ini bukan merupakan kewajiban atau paksaan melainkan pilihan," ujar Ainun di Jakarta pada Senin, 10 Agustus 2020.
Menurut dia, sekolah yang akan membuka kembali pembelajaran tatap muka, harus menaati prosedur dan protokol kesehatan.
Oleh karena itu, sekolah harus melaksanakan sejumlah persiapan sebelum pembelajaran tatap muka dibuka, sehingga kesehatan siswa tetap terjaga.
"Kami meminta pemerintah daerah untuk mengawasi bagaimana perjalanan siswa dari rumah ke sekolah, proses pembelajaran di kelas dan jumlah siswa di kelas," kata Ainun.
Dia mengatakan, dengan adanya kebijakan relaksasi ini, diharapkan 43 persen peserta didik dan pendidik yang saat ini berada di zona kuning dan hijau bisa memulai pembelajaran tatap muka.
Namun, dia memastikan, pelajar dan pendidik yang berada di zona oranye dan merah harus tetap melaksanakan pembelajaran dari rumah.
Advertisement
Hanya Zona Hijau dan Kuning
Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 menyatakan sekolah tatap muka hanya diterapkan di zona hijau dan kuning. Dua zona ini masing-masing artinya dengan risiko terkontrol dan rendah.
Juru Bicara Satgas Covid-19, Wiku Adisasmito menuturkan, pembukaan aktivitas sekolah di zona hijau dan kuning tersebut juga harus memenuhi berbagai persyaratan. Selain itu, pembukaan sekolah tersebut juga harus melalui simulasi dan kesiapan.
Oleh karena itu, Wiku meminta agar daerah yang peta risikonya masih berwarna oranye dan merah agar tidak membuka aktivitas sekolah dulu. Hal ini karena perlu belajar bersama dari daerah dengan risiko rendah.
"Kami kembali tegaskan daerah-daerah buka aktivitas sekolah adalah zona kuning dan hijau itu pun berbagai persyaratam, simulasi dan kesiapan yang dilakukan. Zona oranye dan merah mohon agar tak buka sekolah dulu, karena perlu belajar bersama dulu dari risiko rendah karena potensi penularan cukup tinggi," kata dia, seperti ditulis pada Selasa, 11 Agustus 2020.
SMK Boleh Lakukan Praktik di Sekolah
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi (Dirjen Diksi), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Wikan Sakarinto menyampaikan pelaksanaan pembelajaran di satuan pendidikan di masa pandemi, maka pembelajaran tatap muka diperbolehkan bagi sekolah yang berada di zona kuning dan hijau yang telah memenuhi persyaratan. Hal ini berdasarkan penyesuaian Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri.
Sementara, pembelajaran praktik bagi peserta didik SMK/MAK pada zona oranye dan merah sedapat mungkin dilaksanakan dengan pembelajaran jarak jauh.
Namun apabila diperlukan, pembelajaran praktik di laboratorium, studio, bengkel, dan tempat pembelajaran praktik lainnya diperbolehkan dengan wajib menerapkan protokol kesehatan.
"Harus dipastikan, SMK yang praktikum harus mata pelajaran praktik, bukan teori di kelas, kalau di kelas saya tidak setuju," tegas Wikan di sela-sela kunjungannya ke SMK Mitra Industri MM 2100, Cikarang Barat, Bekasi, Rabu, 12 Agustus 2020.
Pertimbangan memberikan izin pelaksanaan praktikum bagi SMK dikarenakan pembelajaran praktik adalah keahlian inti SMK.
Wikan menjelaskan keputusan untuk membuka pembelajaran tatap muka terutama untuk praktikum harus disepakati oleh pemda, satuan gugus tugas, dan mendapat persetujuan orang tua.
"Kalau orangtuanya tidak mau, jangan maksa masuk yang penting dipastikan protokol kesehatannya dijalankan," tegas dia.
Lebih lanjut, Wikan menyampaikan koordinasi akan terus dilakukan bekerja sama dengan kepala dinas dan satuan gugus tugas daerah untuk memastikan implementasi SKB dapat berjalan dengan baik.
Advertisement
Siswa Wajib Bawa Makan dan Minum Sendiri
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD-Dikdasmen) Jumeri mewajibkan para siswa yang menggelar pembelajaran tatap muka di sekolah untuk membawa bekal makanan dan minuman dari rumah.
"Anak-anak diminta bawa makanan dari rumah, bawa minuman dari rumah. Itu yang paling aman," ucap Jumeri dalam sesi diskusi daring Kemendikbud, Kamis, 13 Agustus 2020.
Menurut Jumeri, kendati sekolah di zona hijau dan kuning diizinkan untuk menggelar pembelajaran tatap muka. Akan tetapi demi keamanan peserta didik, kantin sekolah belum diperkenankan untuk buka.
"Kantin-kantin belum bisa buka dulu. Sehingga tidak ada kerumunan di kantin rebutan makanan," jelas dia.
Perlu Kerja Sama agar Tak Muncul Klaster Sekolah
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menanggapi soal munculnya klaster penyebaran virus corona di sekolah.
Hal ini terjadi setelah pemerintah memperbolehkan pembelajaran tatap muka dilakukan di daerah zona hijau dan kuning.
Wiku menekankan bahwa pembukaan sekolah di dua zona itu diperbolehkan namun secara bertahap. Mulai dari, melalui proses prakondisi, menentukan waktu yang tepat, koordinasi dengan satgas daerah dan pusat, hingga monitoring dan evaluasi. Jika muncul klaster baru di sekolah, maka proses tersebut belum dijalankan dengan baik.
"Apabila terjadi cluster atau kasus baru di dalam sekolah itu tentunya terkait dengan proses yang mungkin belum sempurna dalam melakukan simulasinya," jelas Wiku dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis, 13 Agustus 2020.
Menurut dia, sebenarnya pembelajaran tatap muka tidak bersifat wajib. Artinya, siswa diperbolehkan mengikuti pembelajaran jarak jauh apabila tak diizinkan orang tua berangkat ke sekolah.
Wiku juga mengatakan bahwa sebelum dibuka, sekolah harus melakukan berbagai persiapan agar protokol kesehatan benar-benar berjalan baik. Termasuk, sarana transportasi siswa ke sekolah.
"Kalau itu semua dilakukan dengan baik seharusnya tidak terjadi kluster-kluster di sekolah atau dimana pun juga yang ada," ucap dia.
Dia kembali mengingatkan kepala daerah dan masyarakat untuk bekerja sama menekan kasus virus corona di tanah air. Wiku meminta kepala daerah menerapkan gas dan rem apabila kasus Covid-19 di daerahnya tinggi.
"Apabila peningkatan kasusnya sudah mulai tinggi dan tidak bisa terkendali maka kita perlu melakukan pengereman atau pengurangan aktivitas tersebut," tutur Wiku.
Advertisement
Ada 1.400 Sekolah Mulai Lakukan Pembelajaran Tatap Muka
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD-Dikdasmen) Jumeri melaporkan per 13 Agustus 2020, baru 1.410 sekolah di zona hijau dan kuning yang mengadakan tatap muka langsung.
Sisanya, 7.002 sekolah masih menerapkan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Jumeri menyampaikan bahwa dari data yang ia sampaikan itu menunjukkan bahwa masih banyak sekolah yang tidak siap untuk melakukan pembelajaran tatap muka.
"Data hari ini, hanya 1.410 sekolah yang sudah tatap muka, 7.002 sekolah masih belajar daring," ujar Jumeri dalam diskusi virtual ‘Evaluasi Implementasi Penyesuaian SKB Empat Menteri’ Kamis (13/8).
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menetapkan syarat yang harus dipenuhi oleh sekolah jika ingin menerapkan pembelajaran secara tatap muka. Yang pertama, hanya sekolah di zona kuning dan hijau saja yang boleh dibuka. Selanjutnya, Sekolah harus mengajukan izin ke dinas pendidikan setempat.
Dinas pendidikan akan memverifikasi apakah sekolah tersebut sudah siap atau belum dalam menerapkan tatap muka.
Bukan hanya harus mendapatkan izin dari dinas pendidikan saja, namun juga harus mengantongi izin dari gugus tugas setempat dan bupati/walikota.
"Dari sini jelas, ternyata yang diberi kesempatan untuk mulai membuka sekolahnya saja, ternyata memperhatikan ketentuan SKB empat menteri," ujar Jumeri.
Kemendikbud telah melakukan sosialisasi dengan Disdik seluruh Indonesia untuk memastikan tahapan pembukaan kembali sekolah dilakukan sesuai SKB dan mengutamakan kesehatan dan keselamatan.
Jumeri memastikan, sekolah-sekolah yang sudah dibuka, semuanya sudah mematuhi dan protokol kesehatan.
Menurutnya, ada banyak faktor yang membuat sekolah di zona kuning dan hijau memutuskan untuk melanjutkan pembelajaran secara daring. Salah satunya karena rasa khawatir para orangtua terhadap kesehatan dan keamanan anaknya.
"Selain itu, ada juga orangtua yang tidak bisa mengantarkan anaknya ke sekolah. Bila biasanya sang anak diantar supir atau pengasuh, di saat pandemi seperti ini, tidak ada yang mengantar anak ke sekolah," kata dia.
Kondisi-kondisi seperti ini lah yang membuat Kemendikbud bersikap terbuka. Jumeri mengatakan, Kemendikbud memberikan pilihan yang fleksibel kepada orangtua murid.
"Bila orangtua tidak mengizinkan anaknya ke sekolah, lalu kalau peserta didik yang transportasinya sulit, orangtua tidak bisa antar, maka harus PJJ dan sekolah harus melayani PJJ. Nah ini kita tawarkan ke orangtua," ujarnya.
Ada Banyak Dilema
Jumeri menyadari kondisi sekarang ini merupakan dilema. Sejak bulan Maret, banyak sekali keluhan dan laporan yang ia terima. Terutama soal PJJ. PJJ dinilai tidak ideal karena banyak anak yang putus sekolah.
Mereka harus membantu orangtuanya bekerja di masa sulit seperti ini. Selanjutnya, banyak orangtua yang mengajukan keringanan iuran sekolah karena merasa, bila tidak ada pembelajaran tatap muka, maka tidak ada lagi proses pembelajaran.
"Banyak yang putus sekolah soalnya harus bantu orangtuanya bekerja, lalu ada persepsi di orangtua, kalau tidak masuk sekolah, maka tidak ada proses pendidikan. Mereka mengajukan keringanan iuran sekolah," ujar Jumeri.
Dia juga menambahkan, masih banyak orangtua yang tidak bisa membimbing anak-anaknya selama belajar di rumah.
Para guru pun hanya memberikan materi berupa penugasan saja. Sebagian guru bahkan masih tergagap dalam belajar online.
Para guru masih terfokus pada pencapaian target kurikulum, Alhasil, sang anak pun merasa sulit untuk mengikuti PJJ. Ditambah lagi rasa bosan karena terlalu lama di rumah, tidak bertemu dengan sebayanya.
"Guru-guru sebagian masih kasih materi berupa penugasan, anak-anak merasa berat, anak-anak mengalami tekanan secara mental, kejenuhan dan stres karena tugasnya banyak, beruntun dan mereka diisolasi jangka panjang di rumah," jelas Jumeri.
Advertisement