Dukung Presidential Threshold 0 Persen, Firli Bahuri: Saya Tidak Masuk Ranah Politik

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mendukung adanya presidential threshold 0 persen.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 15 Des 2021, 10:15 WIB
Diterbitkan 15 Des 2021, 10:15 WIB
Ketua KPK, Firli Bahuri
Ketua KPK, Firli Bahuri

Liputan6.com, Jakarta Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mendukung adanya presidential threshold 0 persen.

Menurut dia, presidential threshold 0 persen bisa meminimalisasi perilaku koruptif oleh penyelenggara negara.

Dukungan Firli terhadap presidential threshold 0 persen lantaran KPK mendapatkan data terkait besarnya modal politik dalam menghadapi tahun pemilu.

"Pada konteks ini maka saya berpendapat bahwa jika presidential threshold 0% bisa membuat mahar politik parpol hilang dan biaya kampanye murah, sehingga pejabat terpilih lebih leluasa bekerja baik, ketimbang mikir korupsi untuk balik modal dan balas budi donatur, kenapa tidak presidential threshold ini 0%," kata dia dalam keterangannya, Rabu (15/12/2021).

Meski menyatakan dukungan terhadap presidential threshold 0 persen, Firli memastikan bukan lantaran dirinya ingin masuk dalam ranah politik.

Dia menegaskan sebagai pimpinan lembaga antikorupsi, dirinya berharap Indonesia bisa bersih dari praktif korupsi.

"Pendapat saya, bukan berarti saya memasuki ranah politik. Sekali lagi saya tegaskan bahwa saya tidak memasuki ranah kamar politik atau kamar kekuasaan yudikatif. Saya hanya ingin Indonesia bebas dan bersih dari praktik korupsi," kata Firli.

 

Besarnya Modal Pilkada

Firli menyatakan, untuk membebaskan Indonesia dari lilitan korupsi perlu peran segenap anak bangsa dan kesadaran membangun budaya antikorupsi.

Firli mengatakan, banyak calon kepala daerah mengeluhkan besarnya modal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Besarnya modal dalam kampanye membuat para calon kepala daerah mencari dukungan kepada para pengusaha untuk mendapatkan modal.

Modal dari pengusaha ini yang menjadi awal pintu masuk terjadinya tindak pidana korupsi oleh kepala daerah.

"Modal besar untuk pilkada sangat berpotensi membuat seseorang melakukan tindak pidana korupsi, karena setelah menang akan ada misi balik modal. Di sisi lain, mencari bantuan modal dari bohir politik akan mengikat politisi-politisi di eksekutif atau legislatif dalam budaya balas budi yang korup," kata dia.

Firli mengatakan, berdasarkan data yang didapatkan KPK, sebanyak 82,3 % calon kepala daerah menyatakan adanya donator dalam pendanaan Pilkada. Menurut Firli, bentuk balas budi yang dikakukan kepala daerah terhadap pemodal Pilkada beraneka ragam.

"Salah satunya, 95,4% balas budi pada donatur akan berbentuk meminta kemudahan perizinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan. Atau 90,7% meminta kemudahan untuk ikut serta dalam tender proyek pemerintahan (pengadaan barang dan jasa)," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya