Liputan6.com, Jakarta - Pemohon uji materil Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mencabut gugatan tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden di Mahkamah Konstitusi (MK).
Salah satu pemohon yang mencabut gugatan tersebut adalah Hite Badenggan Lumbantoruan dan Marson Lumbanbatu. Ia beralasan argumentasi yang mereka miliki lemah sehingga harus mencabut gugatan tersebut.
Baca Juga
“Karena masih lemah argumentasi kami, yang mulia” kata Marson Lumbanbatu saat sidang pengujian UU Pemilu dengan agenda pemeriksaan permohonan pada Selasa (26/9/2023)
Advertisement
Pasal yang mereka uji adalah pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sidang tersebut digelar secara luring dengan dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Manahan MP. Sitompul.
Pencabutan gugatan ini usai Wakil Ketua MK Saldi Isra mengonfirmasi kepada para Pemohon dalam persidangan.
“Sejatinya hari ini agenda kita adalah perbaikan permohonan. Tetapi informasi yang kami terima, Pemohon menarik permohonan, ya. Kenapa ini, bisa disampaikan alasannya?” tanya Saldi.
Menanggapi pertanyaan Saldi, para Pemohon dalam persidangan membenarkan penarikan permohonan. “Alasan yang pertama, kami juga menerima nasihat yang mulia soal sidang pertama,” kata Hite Badenggan Lumbantoruan.
Dengan demikian, sambung Saldi, permohonan para Pemohon untuk pencabutan permohonan akan dibahas di Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). “Paling tidak, kami bertiga sudah bisa memastikan bahwa prinsipal atau Pemohon memang mencabut permohonan ini,” pungkas Saldi.
Sebagai tambahan informasi, batas minimal usia pencalonan presiden dan wakil presiden yang termuat pada Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) menyatakan, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.
Atas aturan itu, awalnya pemohon merasa dirugikan lantaran ia yang berusia 30 dan 38 tahun juga memiliki hak untuk memilih dan dipilih sebagai calon presiden dan wakil presiden.
“Secara fakta, Pemohon dalam melaksanakan hak hukumnya yakni untuk mencalonkan dirinya sebagai wakil presiden tidak dapat dilaksanakan karena secara diskriminatif UU 7/2017 telah membatasi hak Pemohon karena calon Wakil Presiden harus minimal berusia 40 tahun,” kata Marson.
Fakta selanjutnya, syarat usia minimal calon kepala daerah adalah usia 30 tahun. Beberapa kepala daerah berusia di bawah 40 tahun, misalnya Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo (34 Tahun), Walikota Medan Boby Nasution (32 tahun), Walikota Solo Gibran Rakabuming (35 Tahun).
Maka, adalah hal yang cukup beralasan bagi para Pemohon untuk mendalilkan bahwasanya Pasal 169 huruf q UU Pemilu tersebut tidak konsisten jika merujuk kepada ketentuan peraturan mengenai pencalonan kepala daerah yang memperbolehkan calon kepala daerah berusia di bawah 40 tahun.
Untuk itu, dalam petitum para Pemohon meminta MK menyatakan frasa “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun”.
Mahfud Md: MK Tidak Berwewenang Ubah Batas Usia Capres-Cawapres
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM Mahfud MD pun mengkritisi lamanya proses MK dalam menindaklanjuti gugatan masyarakat itu.
“Menurut saya (kasusnya) sederhana sih, kok terlalu lama memutus itu?” ujar Mahfud ketika ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Selasa, (26/9/2023).
Menurut Mahfud, MK sebenarnya tidak berwenang mengubah aturan tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.
Menurut dia, Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang sedang diuji itu hanya boleh ditentukan atau diubah oleh DPR dan pemerintah selaku positive legislator.
“Mahkamah Konstitusi itu kerjanya sebagai negative legislator, artinya hanya membatalkan kalau ada sesuatu yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. MK tidak boleh membatalkan sesuatu yang tidak dilarang oleh konstitusi,” ujar Mahfud seperti dikutip dari Antara.
Mengacu pada sejarah lahirnya MK di Austria pada 1920, kata Mahfud, bahwa pengadilan itu dibentuk sebagai negative legislator. Dengan begitu, MK berperan membatalkan peraturan yang dibentuk oleh parlemen atau DPR.
“Dan kita tidak boleh mengintervensi Mahkamah Konstitusi. Ilmu ini sudah diketahui oleh semua hakim konstitusi. Kita tidak boleh mengintervensi, biar dia melihat sendiri apakah benar ini open legal policy atau tidak,” tutur Mahfud.
“Kalau ini tidak open legal policy berarti ada masalah yang harus segera diselesaikan itu apa, harus jelas nanti di dalam putusannya,” ujar dia.
Sebelumnya, MK menerima banyak permintaan terkait batas usia capres dan cawapres.
Perkara yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia, Partai Garda Perubahan Indonesia (Partai Garuda), dan sejumlah kepala daerah meminta usia minimal capres dan cawapres diturunkan menjadi 35 tahun.
Belakangan, Aliansi ’98 Pengacara Pengawal Demokrasi dan HAM meminta MK menetapkan calon yang akan maju dalam Pemilu Presiden 2024 tidak boleh berusia lebih dari 70 tahun.
Permohonan itu mereka klaim bukan untuk menghalangi calon presiden tertentu untuk mengikuti kontestasi, tetapi dimaksudkan untuk menyamakan usia maksimal presiden dengan pejabat publik lain.
Advertisement