Target 400 Ribu Mobil Listrik, Menperin Siapkan Teknologi Nikel dan Kobalt

Menteri Perindustrian akan gunakan teknologi nikel dan kobalt sebagai bahan baku baterai mobil listrik di Indonesia

oleh Yurike Budiman diperbarui 04 Jul 2018, 21:01 WIB
Diterbitkan 04 Jul 2018, 21:01 WIB
Plug-in Hybrid
Menperin akan pakai nikel dan kobalt untuk membuat baterai mobil listrik di Indonesia (Liputan6.com/Yurike)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) meresmikan program kerjasama antara enam Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia dengan Toyota untuk melakukan studi lanjutan terkait dengan Electric Vehicle (EV).

Toyota akan menyerahkan masing-masing tiga mobil listrik jenis Hybird, Plug-in Hybird, dan kendaraan konvensioal, kepada enam perguruan tinggi yakni Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknogi Bandung (ITB), Universitas Sebelas Maret (UNS) Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), dan Universitas Udayana.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, penyerahan mobil listrik ini untuk diperbandingkan dalam studi teknologi yang akan dilakukan selama tiga bulan.

"Studi ini lamanya tiga bulan, diharapkan bukan Agustus depan sudah ada hasil kajian terkait pemanfaatan teknologi electric vehicle di Indonesia," kata Airlangga di kantornya, Rabu (4/7/2018).

Sesudah tiga bulan, menurutnya, ia akan melihat bagaimana kendaraan ini bisa diniagakan di Indonesia.

"Tentu targetnya tahun 2025, 20 persen dari pasar otomotif dimana di situ diperhitungankan jumlahnya 2 juta domestik market, kira-kira 400 ribu unit EV," katanya.

Dalam mengembangkan mobil listrik di Indonesia, Airlangga menegaskan akan menggunakan teknologi nikel dan kobalt.

Selanjutnya

mobil listrik
Toyota Prius Hybrid yang diberikan kepada enam perguruan tinggi negeri melalui Kemenperin untuk dilakukan riset mobil listrik (Liputan6.com/Yurike)

"Nikel itu diproduksi di Morowali dan Sulawesi Tenggara, itu nikel murni. Teknologi baterai itu berkembang, dulu kita bicara soal teknologi nikel cadmium, kemudian lithium-ion. Ke depan akan ada teknologi nikel kobalt, dan lebih ke depannya lagi namanya fuel cell," paparnya.

Menurutnya, teknologi-teknologi inilah yang menunjukkan persaingan dari mobil listrik di pasaran nanti karena semua tergantung pada baterainya.

"Kalau China mengembangkan lithium-ion, kalau Jepang fuel cell, sedangkan Indonesia punya nikel kobalt. Kami sampaikan kepada para rektor dan Toyota untuk mengembangkan nikel kobalt," kata Airlangga.

Ia yakin jika nikel kobalt dikembangkan maka Indonesia akan memiliki teknologi baterai yang kompetitif.

Dengan ketersediaan dua sumber bahan baku tersebut, menurut Airlangga, teknologi baterai untuk mobil listrik dapat dikuasai terlebih dahulu.

Seiring penerapan teknologi tersebut, mobil yang ramah lingkungan juga bisa menggunakan fuel cell atau bahan bakar hidrogen.

"Ini menjadi salah satu renewable energy yang sedang kita dalami. Kemenperin telah bekerja sama dengan Fraunhofer dan Tsukuba University untuk melakukan litbang terhadap jenis ganggang tertentu dengan Palm Oil Mill Effluent (POME) yang bisa menghasilkan biofuel," tutupnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya