Liputan6.com, Jakarta - CEO Ford Motor Co (FMC), Jim Farley mengatakan, pabrikan Cina adalah saingan utama di industri kendaraan listrik. Namun, perusahaan asal Amerika Serikat (AS) ini memiliki rintangan untuk bersaing dalam hal biaya skala yang lebih kecil.
"Saya pikir kita melihat CIia sebagai pesaing utama, bukan GM (General Motors) atau Toyota," ujar Farley, di Morgan Stanley Sustainable Finance Summit.
Baca Juga
Lanjut Farley, Cina sebagai pasar mobil terbesar di dunia, memiliki beberapa teknologi baterai terbaik, dan mendominasi produksi kendaraan listrik. Bahkan, ia juga menyebut BYD, Geely, Great Wall, Changan sebagai deretan penguasa di antara pembuat mobil Tiongkok.
Advertisement
Bahkan, untuk mengalahkan mobil Cina, Farley mengatakan Ford membutuhkan merek yang berbeda, yang menurutnya memiliki harga yang lebih rendah.
"Tapi bagaiaman Anda mengalahkan mereka dalam hal biaya jika skalanya lima kali lipat dari skala Anda," tambah Farly.
"Orang Eropa membiarkan (produsen Cina) masuk, jadi sekarang mereka menjual dalam volume tinggi di Eropa," tegasnya lagi.
Ford mengatakan, pada Februari lalu akan menginvestasikan US3,5 miliar untuk membangun pabrik baterai kendaraan listrik di Michigan menggunakan mitra Cina, CATL untuk memproduksi baterai dengan biaya yang lebih rendah.
Ford Jalin Kemitraan dengan Vale dan Huayou Bikin Pabrik Baterai di Indonesia
PT Vale Indonesia Tbk dan Zhejiang Huayou Cobalt Co dari Cina, mengumumkan kesepakan dengan Ford untuk kerja sama untuk bangun pabrik baterai kendaraan listrik yang lebih terjangkau. Ketiganya melakukan penanaman model di Proyek High Pressure Acid Leaching (HPAL) Blok Pomalaa.
Disitat dari keterangan resmi Ford, proyek HPAL Blok Pomalaa akan mengolah bijih yang disediakan oleh PT Vale Indonesia, dari tambang Blok Pomalaa. Sedangkan pabrik HPAL ini akan beroperasi di bawah naungan PT Kolaka Nickel Indonesia, di kawasan industri nikel Blok Pomalaa di Kolaka, Sulawesi Barat Daya, Indonesia.
Persiapan lokasi awal Proyek HPAL Blok Pomalaa telah dimulai, dan konstruksi penuh diharapkan dapat dimulai pada 2023, dengan operasi komersial dimulai pada 2026.
Kolaborasi ini akan mengirimkan bahan-bahan penting untuk peralihan industri otomotif ke kendaraan listrik, dan meningkatkan industri manufaktur Indonesia, dan mendukung Ford untuk menghasilkan laju produksi 2 juta kendaraan listrik pada akhir 2026 dan skala lebih lanjut secara bertahap.
Lebih lanjut, proyek pemprosesan nikel tiga arah, bersama dengan perjanjian pasokan terpisah yang sedang dikembangkan dengan Ford dan Huayou untuk bahan aktif katoda prekursor yang penting untuk pembuatan baterai lithium-ion, secara kolektif akan digabungkan dengan sumber nikel Ford lainnya.
"Kerangka kerja ini memberikan kendali langsung kepada Ford untuk mendapatkan nikel yang dibutuhkan, dengan salah satu pendekatan industri berbiaya terendah, dan memungkinkan kami memastikan nikel telah ditambang sejalan dengan target keberlanjutan perusahaan kami, menetapkan standar ESG yang tepat saat kami mengukur," kata Lisa Drake, Vice President industrialisasi Ford Model e EV.
"Bekerja dengan cara ini menempatkan Ford pada posisi untuk membantu membuat EV lebih mudah diakses oleh jutaan orang, dan melakukannya dengan cara yang membantu melindungi manusia dan planet dengan lebih baik," tegas Lisa.
Advertisement