Bandung Lautan Api, di Antara Titah Sjahrir dan Kawat Misterius

Operasi bumi hangus yang dikenal sebagai Bandung Lautan Api tidak berjalan sesuai rencana dan didukung pemerintah pusat.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 24 Mar 2017, 15:51 WIB
Diterbitkan 24 Mar 2017, 15:51 WIB
Bandung lautan api
Bandung lautan api

Liputan6.com, Jakarta - Pembumihangusan Bandung yang dikenal dengan sebutan Bandung Lautan Api tidak diputuskan secara mudah. Kolonel A.H. Nasution yang saat itu menjabat Komandan Divisi III menggambarkan dilema yang dihadapinya.

Pada 23 Maret 1946, jelang batas waktu ultimatum Inggris kepada Tentara Republik Indonesia (TRI) untuk mengosongkan Kota Bandung dalam radius 11 km, Nasution menghadap ke Sutan Sjahrir di Pegangsaan, Jakarta. Jabatan Sjahrir saat itu adalah perdana menteri Republik Indonesia Serikat.

Dalam kesempatan itu, Nasution menerangkan situasi dan kondisi yang dialami warga Bandung, termasuk keberatan untuk mengosongkan kota. Dalam buku Bandung Lautan Api karya Djajusman (1975), Sutan Sjahrir menjawab keberatan yang disampaikan Nasution.

"Kerjakan saja! TRI kita adalah modal yang harus dipelihara. Jangan dahulu hancur. Harus kita bangun untuk kelak melawan NICA. Pemerintah sipil supaya tetap bertugas di posnya yang sekarang. Karena kalau pergi, pasti NICA yang akan menggantikannya. Jangan diadakan pembakaran dan sebagainya karena nanti yang rugi rakyat kita sendiri juga dan yang harus membangunnya kelak kita juga. Saya sendiri orang yang tak punya.... " ucap Sjahrir.

Pada saat yang sama, 23 Maret 1946 sore, pihak Inggris mulai menyebarkan pamflet tentang ultimatum bahwa sebelum pukul 24.00 WIB, 24 Maret 1946, seluruh pasukan bersenjata harus keluar dari Bandung.

Nasution yang masih berada di Jakarta sempat ditahan untuk kembali ke Bandung. Berulangkali meminta diantarkan pulang, beragam alasan terus dikemukakan. Pada akhirnya, ia baru bisa kembali ke Kota Kembang pada 24 Maret 1946 pagi menumpang pesawat Dakota.

Begitu tiba di Bandung, Nasution menemui pihak Inggris di Markas Divisi ke-23 Inggris diwakili oleh Kolonel Hunt dari Staf Divisi Inggris di Bandung. Hunt kembali mengingatkan Nasution soal ultimatum pengosongan, sedangkan Nasution meminta kelonggaran kembali karena tidak mudah mengungsikan 10.000 tentara dan lasykar sambil membawa perlengkapan dalam waktu singkat.

Hunt menawarkan 100 truk Jepang untuk membantu evakuasi yang ditolak mentah-mentah oleh Nasution. Ia juga menerangkan pengosongan itu bisa berdampak pada pengungsian ratusan ribu warga Bandung yang ditepis Hunt dengan menyebut warga tak akan mengungsi jika tak diintimidasi TRI.

Perundingan akhirnya mentok. Nasution kembali ke markas dengan kebingungan. Setibanya di Pos Komando, ia menerima kawat dari Markas Tertinggi TRI di Yogyakarta tanpa nama pengirim.

Kawat misterius itu berpesan, "Setiap jengkal tumpah darah harus dipertahankan."

Kawat tersebut membulatkan tekad Nasution untuk melawan dengan memperhitungkan kondisi Bandung saat itu. Mayor Rukana, Komandan Polisi Tentara RI mengusulkan untuk membumihanguskan dan kemudian menutup terowongan Sungai Citarum dengan dinamit. Apalagi, sejumlah anggota TRI bahkan sudah menyiapkan bom batok di beberapa titik jalan.

Usulan bumi hangus Kota Bandung sebelum ditinggalkan akhirnya diterima Nasution. Keputusan itu diambil dengan menyatakan bahwa tentara patuh dengan keputusan pemerintah pusat, tetapi bukan tanpa perlawanan. Setelah itu, ia menetapkan pembagian tugas untuk melaksanakan operasi bumi hangus.

Strategi Militer Cemerlang

Bandung lautan api
Bandung lautan api

Sejarawan Jaka Perbawa dari Museum Perumusan Naskah Proklamasi berpendapat keputusan bumi hangus merupakan strategi militer yang cemerlang. Nasution berhitung tentang kekalahan yang diderita jika TRI tetap melawan Inggris, termasuk Belanda, secara terbuka. Pasalnya, jumlah pasukan dan logistik di dalam kota tidak memadai dan mereka tak mendapat dukungan dari pusat.

"Beda dengan Surabaya, instruksi pengosongan Bandung itu jelas. Nasution kemudian berhitung secara militer. Satu-satunya cara membangkang ultimatum Inggris adalah tetap meninggalkan kota, tetapi dengan bumi hangus agar tidak ada yang bisa dipakai oleh musuh," kata Jaka kepada Liputan6.com, Kamis malam, 23 Maret 2017.

Nasution lalu memerintahkan operasi bumi hangus dijalankan pada tengah malam. Sebelum itu, seluruh warga Bandung diperintahkan untuk mengungsi ke luar kota. Operasi bumi hangus disebutnya sebagai serangan perpisahan dari para pejuang.

Sempat ada penolakan dari sebagian rakyat yang awalnya diminta Wali Kota Bandung saat itu, Sjamsuridzal, tetap tinggal di kediaman masing-masing. Namun, mereka akhirnya menuruti perintah Nasution setelah diberi penjelasan.

Dalam kesibukan pengungsian mendadak itu, sekitar pukul 21.00 WIB terdengar ledakan dahsyat. Operasi bumi hangus pun dipercepat sekitar 3 jam dari waktu semestinya. Akibatnya, operasi bumi hangus Bandung tak maksimal karena banyak tempat strategis yang belum sempat ditaruh bahan peledak.

Salah satu anggota tim penulis buku Saya Pilih Mengungsi, Ummy Lathifah menerangkan kacaunya operasi bumi hangus juga tak terlepas dari kondisi logistik yang dimiliki.

TRI saat itu hanya memiliki 100 pucuk senjata, sedikit belerang sebagai mesiu dan kekurangan korek api untuk membakar bom. Belum lagi teknologi peledakan tak secanggih yang dimiliki musuh.

"Di Bandung utara, penjagaan juga sangat ketat. Bangunannya kokoh, tahu sendiri kan kekuatan bangunan Belanda. Pejuang yang kami wawancarai saat itu bilang paling kalau dilempar bom molotov, hanya hitam-hitam saja," ujar Ummy, beberapa hari lalu.

Maka itu, kobaran api paling hebat terlihat dari Bandung selatan. Mulai dari Cimahi hingga Ujung Berung, langit sudah memerah. Serangan hebat juga dilancarkan ke bekas Kompleks Koninklijke Militaire Academie (KMA), Ciumbuleuit dan Sukajadi.

TRI juga membakar sendiri asrama dan bangunan-bangunan penting lainnya. Air mata warga juga bercucuran saat membakar rumah mereka sendiri yang tak sudi diduduki oleh Sekutu. Rakyat kemudian berjalan ke arah selatan Bandung untuk meninggalkan tempat tinggal mereka selama ini.

Meski operasi bumi hangus tak sepenuhnya berjalan sesuai rencana, sejarawan Jaka Perbawa menilai taktik itu menunjukkan perlawanan hebat dari rakyat. Walau begitu, peristiwa Bandung Lautan Api pada akhirnya tidak berpengaruh besar pada upaya diplomasi Indonesia yang dijalankan berikutnya.

"Tapi dilihat dari semangat juangnya, kita ada pembangkangan. Kita bersedia tinggalkan kota tetapi tidak secara utuh. Itu pesan moral bagi masyarakat saat ini. Kita bersikap pantang menyerah, tidak patuh begitu saja. Patuh tapi setengah hati," kata Jaka.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya