Penyebab Pernikahan Dini Marak di Garut

Disaksikan langsung Duta Besar Kanada Untuk Indonesia H.E Peter Mac Arthur, Ratusan santri dari puluhan pesantren di Garut, Jawa Barat, deklarasi mengkampanyekan cegah pernikahan dini anak.

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 10 Mei 2018, 21:00 WIB
Diterbitkan 10 Mei 2018, 21:00 WIB
Deklarasi santri cegah pernikahan dini
deklarasi santri cegah pernikahan dini (liputan6.com/jayadi supriadin)

Liputan6.com, Garut - Ratusan santri dari puluhan pesantren di Garut, Jawa Barat, deklarasi mengkampanyekan cegah pernikahan dini anak di bawah umur di Garut Kamis (10/5/2018). Aksi itu dihadiri Duta Besar Kanada Untuk Indonesia H.E Peter Mac Arthur. 

Digagas Rahima, lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada pemberdayaan perempuan dan anak, mereka mengemas acara pencegahan pernikahan dini itu, dengan ragam acara menarik untuk menyadarkan masyarakat.

"Ada kampanye kreatif, poster dan nada dakwah melalui lomba pidato," ujar Ketua pelaksana Ernawati Siti Saja'ah, di sela-sela, 'Kampanye Publik Suara Santri Cegah Pernikahan Dini,' di Gor Balewangi, Cisurupan, Garut, (10/5/2018).

Menurutnya, deklarasi kampanye pencegahan penting untuk menghindari merebaknya pernikahan dini. Saat ini, Jawa Barat lanjut dia, menjadi salah satu provinsi penyuplai angka pernikahan anak terbesar tanah air, termasuk Kabupaten Garut. 

"Kalau tidak ada tindakan pencegahan saat ini, kapan lagi?," ujar dia menegaskan.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 2015 mencatat, Garut sebagai tiga daerah dengan angka pernikahan anak tertinggi di Jawa Barat setelah Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Tasikmaya.

Bahkan hasil assessment Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Kabupaten Garut tahun 2006-2017 menemukan, angka pernikahan dini dengan usia 15-16 tahun di Kampung Pasir Domas, Desa Langansari, Kecamatan Tarogong Kaler Kabupaten Garut mencapai 36 persen. "Ini jelas sangat mengkhawatirkan," kata dia.

Dalam kasus Pasir Domas kata Erna, ditemukan dua alasan utama tingginya angka pernikahan dini, yakni pengaruh tradisi dan prasangka buruk, jika anak tidak segera dinikahkan maka akan melakukan seks bebas.

"Mereka juga menganggap tidak laku, dan menimbulkan aib keluarga," kata dia.

Sedangkan faktor kedua, karena alasan ekonomi, mereka menjadikan buah hatinya yang belum genap dewasa, sebagai 'alat tukar' untuk bertahan hidup, melunasi hutang ataupun melimpahkan beban tanggungannya kepada suami anaknya.

"Bahkan banyak keluarga petani di kawasan Garut Selatan menikahkan anaknya di usia yang masih belia karena hal itu," ujar dia.

 

 

 

 

Pernikahan Dini Menjalar ke Pesantren

Ratusan santri garut deklarasi cegah pernikahan dini
Ratusan santri garut deklarasi cegah pernikahan dini (Liputan6.com/jayadi supriadin)

Pimpinan pondok pesantren Nurul Huda, Cibojong, Cisurupan, Garut, KH Cecep Jaya Karama mengatakan, persoalan pernikahan anak usia dini saat ini juga, tengah dihadapi kalangan pesantren. 

Cecep menduga, selama ini masyarakat menjadikan pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya, sebagai tempat penitipan anak mereka, sebelum mendapatkan jodoh.

Akibatnya tak jarang, banyak ditemui santri yang belum khatam masa 'nyantrinya', harus rela diboyong orang tua lebih dini untuk dipaksa menikah.

"Ini jelas sebuah tantangan yang harus kita cegah bersama mulai saat ini," kata dia.

Untuk mencegah hal itu, kiai JK panggilan akrab kiai muda di kalangan santrinya itu, merangkul pimpinan ponpes se kabupaten Garut, membuat himbauan kepada santri agar tidak menikah di bawah usia 25 tahun.

"Kami pun meminta Ajengan, Kiai, Nyai tidak menghadiri undangan pernikahan santri yang diminta paksa pulang oramg tuanya dari pesantren karena akan dinikahkan," papar dia.

Komitmen Kanada Buat Cegah Pernikahan Dini

Ratusan santri garut deklarasi cegah pernikahan dini
Ratusan santri garut deklarasi cegah pernikahan dini (Liputan6.com/jayadi supriadin)

Duta Besar Kanada Untuk Indonesia H.E Peter Mac Arthur mengatakan, sejak pertama kali hubungan bilateral kedua negara dibuka 1950-an lalu, pemerintah Kanada selalu konsen memberikan perhatian pada persoalan sosial, termasuk pernikahan anak di bawah umur.

"Sebab pernikahan anak di bawah umur mengancam kehidupan," ujarnya.

Tahun lalu, negaranya mencatat sekitar 100 juta anak perempuan berusia di bawah 18 tahun di seluruh dunia, dipaksa melakukan pernikahan dini di bawah usia dengan berbagai alasan.

"Bahkan di Indonesia satu di antara tiga keluarga di pedesaan melakukan pernikahan usia dini," kata dia.

Peter menyatakan, selain mendapatkan pertentangan di seluruh dunia, pernikahan dini yang saat ini kembali muncul di Indonesia, beresiko mengancam keselatan si ibu muda, kemudian bayi yang dilahirkan kerap mengalami gizi buruk, hingga tingkat kecerdasan yang rendah.

"Makanya kami mendukung upaya pencegahan pernikahan dini melalui kampanye ini," kata dia.

Untuk menanggulangi persoalan sosial terutama pencegahan pernikahan dini, negaranya tiap tahun kerap mendonasikan angagran hingga US$ 80 juta ke dalam program penanggulangan sosial, yang disebarkan ke berbagai negara di dunia.

"Bahkan sejak dua tahun lalu Kanada memimpin resolusi pencegahan pernikahan anak usia dini," katanya. 

Angka Pernikahan Dini di Indonesia Tinggi

Ratusan santri garut deklarasi cegah pernikahan dini
Ratusan santri garut deklarasi cegah pernikahan dini (Liputan6.com/jayadi supriadin)

Hingga akhir tahun lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (KPPPA) mencatat, sebanyak 340 ribu anak Indonesia menikah dini dalam setahun. Angka itu menempati peringkat tujuh tertinggi di dunia. 

Bahkan untuk pertama kalinya, Badan Pusat Statistik (BPS) meliris data perkawinan usia anak tahun ini. Hasilnya, angkat perkawinan dini di Indonesia, dengan rentang usia dibawah 18 tahun tergolong tinggi hingga 23 persen.

Dengan angka itu bisa diasumsikan, dari 100 perkawinan di Indonesia maka, sebanyak 23 di antaranya melibatkan anak dibawah usia 18 tahun.

Dalam rilis data yang bekerjasama dengan Badan Dunia untuk Anak-anak (UNICEF) itu, diketahui Indonesia menempati peringkat 7 dari 10 negara tertinggi pernikahan dini di dunia, atau nomor dua di Asean setelah Kamboja.

Rinciannya, sebanyak 27,11 persen pengantin anak terjadi di pedesaan, sedangkan di perkotaan mencapai 17,0 persen.

Seperti diketahui, berdasarkan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia menikah bagi perempuan 16 tahun, sedangkan pria 19 tahun. Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya