Memaknai Pusaka-Pusaka Keramat Peninggalan Padjajaran

Bagi masyarakat Garut, Jawa Barat dan sekitarnya, keberadaan benda pusaka peninggalan kerajaan Padjajaran, kerap dianggap sakral dan bertuah.

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 01 Mar 2019, 04:02 WIB
Diterbitkan 01 Mar 2019, 04:02 WIB
Ritual pembersihan naskah kuno yang kerap dianggap pusaka bagi masyrakat di sekitar situs Ciburuy Garut
Ritual pembersihan naskah kuno yang kerap dianggap pusaka bagi masyrakat di sekitar situs Ciburuy Garut (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Garut - Bagi masyarakat Garut, Jawa Barat, peninggalan benda pusaka, ajimat atau apapun jenisnya, peninggalan Kerajaan Padjajaran yang dipimpin Prabu Siliwangi dan Prabu Kiang Santang, kerap dianggap sakral dan bertuah.

Benda tersebut tersebar luas di beberapa tempat, salah satunya di situs Kabuyutan, Bayongbong dan Makam Syeh Rohmat Suci, Godog, Karangpawitan. Di kedua lokasi itu, puluhan hingga ratusan benda pusaka peninggalan kedua raja Padjajaran itu selalu mendapat tempat istimewa.

Salah satunya di Situs Kabuyutan, Bayongbong, di area seluas hampir satu hektare itu, masyarakat sekitar selalu menggelar acara 'Seba Muharam' setiap tahunnya.

Kegiatan tersebut merupakan ritual memandikan benda pusaka peninggalan Kerajaan Pajajaran, sekaligus membuka naskah kuno peninggalan raja. Di sana masyarakat minta keberkahan mulai urusan jodoh hingga rezeki lancar usaha.

Juru pelihara situs Kabuyutan atau pemangku adat Situs Ciburuy, Nana Suryana (35) mengatakan ritual itu merupakan bentuk penghormatan masyarakat atas jasa leluhur mereka dari Pajajaran, terutama Prabu Kiang Santang yang telah menyebarkan agama Islam di wilayah itu.

“Istilahnya ulang tahun,” ujar dia, dalam beberapa kesempatan.

Dalam ritual sehari semalam itu, rangkaian kegiatan dilakukan seluruh masyarakat sekitar, mulai memandikan benda pusaka, membukan naskah kuno dalam daun lontar yang masih tersusun rapih, hingga mereka yang meyakini ‘ngalap berkah’ dari benda peninggalan tersebut.

“Intinya bukan minta ke benda itu, tetapi kepada Alloh SWT,” ujar Nana menegaskan pentingnya tauhid.

Benda-benda pusaka seperti keris, kujang, trisula, termasuk alat-alat kesenian seperti Gong Renteng yang ditempatkan di Bumi Padaleman itu, sengaja dikeluarkan sesepuh masyarakat setempat, untuk mendapatkan perawatan dan perlakuan istimewa, meskipun hanya setahun sekali.

Tak jarang dalam acara yang dipusatkan di situs yang konon bekas arena pertarungan para jawara (jagoan) di Pulau Jawa itu, masyarakat berduyun duyun meminta berkah mulai urusan jodoh, rezeki lancar usaha hingga urusan jabatan, dari air atau makanan yang telah ‘disuguhkan’ sebelumnya di dalam bumi Padaleman itu.

 

Ngalungsur Pusaka Godog

Salah satu benda pusaka keris, peninggalan kerajaan Padjajaran di Garut
Salah satu benda pusaka keris, peninggalan kerajaan Padjajaran di Garut (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Tak hanya di Situs Ciburuy, puluhan benda pusaka peninggalan Kerjaan Padjajaran pun terkumpul di makam kramat Syeh Sunan Rohmat Suci Godog, Karangpawitan. Di sana, setiap tanggal 14 mulud (Maulid) setiap tahun, masyarakat sekitar selalu menggelar ritual 'Ngalungsur Pusaka'.

Kegiatan itu sengaja untuk memamerkan sekaligus memandikan seluruh barang pusaka peninggalan Prabu Kiansantang yang diyakini hingga kini sebagai penyebar pertama agama islam di wilayah Garut dan sekitarnya.

"Ada tumbak, keris, golok, dan benda sejarah lainnya, " kata dia.

Setiap tahunnya ribuan orang dari berbagai daerah selalu datang dengan harapan untuk mendapatkan keberkahan dari makam waliyulloh tersebut.

"Ada nilai sejarah Islam yang tersimpan di dalamnya,” ujar Yaya Mansyur (62), juru kunci makam Godog.

Namun dibanding dengan Situs Ciburuy, ritual Ngalungsur Pusaka yang berada di makam Godog, mesti diawali dengan bakti soslal terutama sunatan massal. Kegiatan itu merupakan amanat sang sunan, saat menyebarkan syiar islam di sana.

“Tidak bisa digantikan kegiatan lain," kata dia.

Yaya menyatakan, meskipun ada pemandian dan penyucian benda pusaka, namun hal itu hanya budaya semata. Hal tersebut, justru dibutuhkan untuk lebih mendekatkan diri kepada sang maha pencipta Allah SWT.

“Tidak usah menjadi perdebatan, sebab di dalamnya terkandung makna ibadah kepada Allah,” ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya