Mengejar Tersangka Baru Dugaan Korupsi 1 Juta Bibit Kopi di Mamasa Sulbar

Kejati Sulsel terus mengembangkan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan 1 juta bibit kopi di Kabupaten Mamasa, Sulbar.

oleh Eka Hakim diperbarui 30 Mar 2019, 14:00 WIB
Diterbitkan 30 Mar 2019, 14:00 WIB
Asisten Pidana Khusus Kejati Sulsel, Fentje E Loway tegaskan pihaknya kejar tersangka baru dalam dugaan korupsi pengadaan 1 juta bibit kopi di Mamasa, Sulbar (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Asisten Pidana Khusus Kejati Sulsel, Fentje E Loway tegaskan pihaknya kejar tersangka baru dalam dugaan korupsi pengadaan 1 juta bibit kopi di Mamasa, Sulbar (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Liputan6.com, Mamasa Tim Penyidik Bidang Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) terus mengembangkan adanya kemungkinan tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi pengadaan 1 juta bibit kopi di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat (Sulbar).

"Kita lihat hasil pemeriksaan ke depan. Peluang adanya tersangka baru sangat besar," kata Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel), Fentje E Loway saat ditemui di Kantor Kejati Sulsel, Jumat 29 Maret 2019.

Saat ini penyidik fokus menuntaskan penyidikan seorang tersangka dalam kasus tersebut. Sambil menunggu penghitungan kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Sulawesi Selatan (BPKP Sulsel).

"Kalau semua sudah terpenuhi, kita tentu akan pendalaman lebih lanjut untuk mencari tersangka baru," kata Fentje.

Penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan 1 juta bibit kopi di Kabupaten Mamasa, Sulbar tersebut, kejaksaan berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk supervisi.

"Kasus ini kan disupervisi KPK. Agak lama penanganannya karena penyidik harus memeriksa saksi dari tempat pengambilan bibit kopi di Kabupaten Jember, Jawa Timur (Jatim)," kata Fentje.

Tak hanya ke Kabupaten Jember, penyidik juga memeriksa rekanan yang sedang dirawat di Jakarta. Rekanan dalam pengadaan bibit kopi tersebut menderita stroke.

Terpisah, Pusat Kajian Advokasi Anti Korupsi Sulawesi Selatan (Pukat Sulsel) mengaku heran dengan tindakan penyidik Kejati Sulsel yang terkesan menutupi peranan rekanan dalam kasus dugaan korupsi pengadaan 1 juta bibit kopi di Kabupaten Mamasa, Sulbar.

"Padahal dalam kegiatan tersebut dengan terang ditemukan bahwa rekanan dalam hal ini PT. Surpin Raya diduga mengadakan bibit yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang tertera dalam dokumen lelang," kata Direktur Pukat Sulsel, Farid Mamma via telepon, Sabtu (30/3/2019).

Seharusnya, lanjut Farid, penyidik tidak mengabaikan tanggung jawab yang melekat pada rekanan. Dimana bertindak sebagai pelaksana pekerjaan atau pihak yang harusnya mengadakan bibit kopi sesuai spesifikasi yang tertera dalam kontrak perjanjian.

Saksikan Video Pilihan Di Bawah Ini:

PPK Pengadaan Bibit Kopi Lebih Awal Jadi Tersangka

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Salahuddin (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Salahuddin (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Dalam kasus dugaan korupsi pengadaan 1 juta bibit kopi di Kabupaten Mamasa, Sulbar tersebut, tim penyidik baru menetapkan seorang pejabat Pemerintah Daerah (Pemda) Mamasa, Sulawesi Barat (Sulbar) inisial N sebagai tersangka.

"N tersebut berperan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)," terang Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Salahuddin

Kegiatan pengadaan 1 juta bibit kopi di Kabupaten Mamasa, Sulbar pada tahun 2015 yang dimenangkan oleh PT. Surpin Raya diduga mengadakan bibit yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang tertera dalam dokumen lelang.

Dimana dalam dokumen lelang disebutkan pengadaan bibit kopi menggunakan anggaran senilai Rp 9 miliar dan juga disebutkan bahwa bibit kopi unggul harus berasal dari uji laboratorium dengan spesifikasi Somatic Embrio (SE).

Namun dari 1 juta bibit kopi yang didatangkan dari Jember tersebut, terdapat sekitar 500 ribu bibit kopi yang diduga dari hasil stek batang pucuk kopi yang dikemas di dalam plastik dan dikumpulkan di daerah Sumarorong, Kabupaten Mamasa, Sulbar.

Biaya produksi dari bibit labolatorium diketahui berkisar Rp 4.000 sedangkan biaya produksi yang bukan dari laboratorium atau hasil stek tersebut hanya Rp 1.000. Sehingga terjadi selisih harga yang lumayan besar.

Dari hasil penyidikan yang dilakukan penyidik Pidsus Kejati Sulsel, pihak rekanan dalam hal ini PT. Surpin Raya diduga mengambil bibit dari pusat penelitian kopi dan kakao (PUSLITKOKA) Jember sebagai penjamin suplai dan bibit. Diduga bibit dari Puslitkoka tersebut merupakan hasil dari stek.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya