Liputan6.com, Makassar - Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) resmi menghentikan penyidikan (SP3) kasus dugaan korupsi penerimaan uang sewa lahan negara yang menjerat seorang pengusaha ternama keturunan Tionghoa di Sulsel, Soedirjo Aliman alias Jentang sebagai tersangka terhitung sejak, Rabu 29 Januari 2020.
"Kasusnya dihentikan Rabu 29 Januari 2020," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Idil, Kamis, 6 Februari 2020.
Pertimbangannya, kata dia, karena perkara yang menjerat Jentang bukan merupakan tindak pidana korupsi dan hal itu terlihat dari vonis bebas tiga terdakwa lainnya yakni Rusdin, Jayanti dan M Sabri sebelumnya.
Advertisement
Tak hanya itu, pertimbangan lainnya, lanjut Idil, karena adanya putusan perkara perdata tentang keabsahan kegiatan perjanjian sewa menyewa lahan negara yang diajukan oleh Rusdin dan Jayanti selaku penggarap melawan PT Pembangunan Perumahan (PP) Tbk selaku penyewa lahan.
Para penggarap yang bertindak sebagai penggugat memenangkan perkara perdata dan menyatakan perjanjian sewa menyewa atas lahan sah demi hukum dan mengikat tergugat untuk membayarkan uang sewa penggunaan lahan sebesar Rp500 juta selama setahun.
"Bebasnya tiga terdakwa lainnya serta adanya putusan perdata yang dimaksud juga menjadi pertimbangan penghentian penyidikan kasus Jentang," jelas Idil.
Meski demikian, dokumen penetapan penghentian penyidikan kasus dugaan korupsi penerimaan uang sewa atas lahan negara yang menjerat Jentang tersebut, hingga saat ini masih dianggap misteri.
Baca Juga
Pegiat lembaga Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Angga mengatakan hingga saat ini pihaknya belum mendapatkan salinan dokumen penghentian penyidikan kasus korupsi yang menjerat Jentang tersebut.
Sementara, surat perihal permintaan salinan dokumen penghentian penyidikan kasus Jentang itu, telah dimasukkan ke Kantor Kejati Sulsel secara resmi sejak Kamis, 6 Februari 2020.
"Sampai sekarang surat kami tidak dijawab oleh Kejati Sulsel padahal dokumen SP3 kan bukan termasuk dokumen rahasia (dikecualikan) sebagaimana disebutkan pada pasal 14 UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik) Nomor 14/2008," terang Angga via telepon, Rabu (19/2/2020).
Ia mengaku heran dengan sikap Kejati Sulsel yang tidak menanggapi surat resmi permintaan salinan dokumen penghentian kasus Jentang yang dilayangkan lembaganya tersebut.
"Kita rencana akan gugat di KIP. Teman-teman saat ini sementara mengumpulkan sejumlah data pendukung dulu," tutur Angga.
Terpisah, penasihat hukum tersangka, Soedirjo Aliman alias Jentang, Zam Zam mengaku sangat mengapresiasi sikap penyidik Kejati Sulsel yang telah menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi yang menjerat kliennya.
"Penyidik dalam hal ini Kejaksaan Tinggi, dengan mengeluarkan SP3 itu sudah tepat dan berdasarkan hukum," ucap Zam Zam.
Dengan keluarnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP.3) oleh Kejati Sulsel, kata dia, diartikan bahwa tuduhan selama ini kepada kliennya, yakni sebagai pelaku tindak pidana korupsi, ternyata tidak cukup bukti dan dengan sendirinya nama baik kliennya telah dipulihkan.
"Ada dokumen SP3 nya kasus dugaan korupsi lahan negara yang timpa klien saya. Ini kita sudah terima," jelas Zam Zam.
Aktivis Bongkar 'Borok' Drama Penyidikan Kasus Jentang
Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Kadir Wokanubun mengatakan segala pertimbangan yang menjadi dasar keputusan Kejati Sulsel dalam menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi yang menjerat Jentang sebagai tersangka, adalah hal yang keliru dan tak patuh terhadap putusan pengadilan.
Dimana Pengadilan Negeri Makassar telah memutuskan gugatan praperadilan yang sebelumnya telah diajukan Jentang karena menganggap penetapan tersangka oleh Kejati Sulsel terhadap dirinya tidak sah demi hukum.
Perkara praperadilan tersebut terdaftar di Pengadilan Negeri Makassar dengan nomor perkara 29/Pid.Pra/2017/PN Mks dimana Jentang disebut sebagai pemohon praperadilan dan Kejati Sulsel sebagai pihak termohon praperadilan.
Dalam putusannya, hakim tunggal perkara praperadilan tersebut, Harto Pancono menyatakan menolak permohonan praperadilan oleh pemohon (Jentang) untuk seluruhnya dan menyatakan penetapan tersangkanya oleh termohon praperadilan (Kejati Sulsel) adalah sah menurut hukum dan sudah sesuai dengan peraturan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Tidak hanya itu, Hakim Harto Pancono juga menetapkan bahwa alat bukti permulaan yang dimiliki termohon dalam menetapkan pemohon sebagai tersangka dinyatakan cukup dan sah menurut hukum.
"Seharusnya Kejati patuh pada putusan praperadilan ini. Semua rangkaian penyidikan, pemenuhan alat bukti hingga penetapan tersangka telah diuji di praperadilan dan dinyatakan sah bahkan diperintahkan agar penyidikannya dilanjutkan," ungkap Kadir.
Ia menduga kuat bahwa penghentian penyidikan kasus Jentang karena adanya intervensi kuat dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
"Ini aneh karena Kejati yang menentukan terbukti tidaknya perbuatan korupsi tersangka Jentang. Padahal pengujian materi pokok perkara kewenangan pengadilan. Kekuatan pembuktian kasus Jentang telah dikuatkan putusan praperadilan jadi jangan ngawurlah," tegas Kadir.
Ia juga menyayangkan sikap Kejati dalam merespon putusan bebas tiga terdakwa lainnya dalam kasus korupsi penerimaan uang sewa lahan negara. Dimana Kejati seakan menyerah dan tak ada upaya perlawanan terhadap putusan bebas ketiga rekan Jentang itu.
"Seharusnya Kejati eksaminasi putusan atau mempelajari lebih dalam putusan bebas tiga terdakwa sebelumnya. Misalnya adanya fakta-fakta persidangan sebelumnya yang dianggap mengandung perbuatan pidana diantaranya misalnya keterangan saksi yang diduga tidak benar," terang Kadir.
Ia mengungkapkan dalam persidangan awal kasus dugaan korupsi penerimaan uang sewa lahan negara yang mendudukkan Rusdin, Jayanti dan M Sabri sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Tipikor Makassar saat itu, terungkap sejumlah fakta hukum.
Dimana Rusdin dan Jayanti memperoleh hak garapan atas lahan yang menurut data BPN masih tercatat sebagai laut itu karena keduanya dianggap sebagai orang yang selama ini melakukan kegiatan budidaya rumput laut diatas lahan laut yang dimaksud.
Rusdin mendapatkan hak garapan atas lahan yang dimaksud dengan dikuatkan bukti surat keterangan garapan dari Lurah Buloa, Ambo Tuwo Rahman dengan nomor registrasi 31/BL/IX/2003 kemudian juga diketahui oleh Camat Tallo, AU Gippyng Lantara dan tercatat di Kecamatan Tallo dengan nomor registrasi 88/07/IX/2003.
Demikian juga dengan Jayanti. Ia memperoleh hak garapan dari Lurah Buloa, Ambo Tuwo Rahman dengan bukti surat keterangan garapan bernomor registrasi 30/BL/IX/2003 dan juga tercatat di Kecamatan Tallo dengan nomor registrasi 87/07/IX/2003 dengan luas 39.9 meter persegi. Dimana saat itu Camat Tallo masih dijabat oleh AU. Gippyng Lantara.
"Keduanya selama ini, dianggap sebagai petani rumput laut di lokasi yang dimaksud sehingga berhak mendapatkan hak garapan," kata Kadir.
Sementara kenyataan yang ada, lokasi laut Buloa sejak dahulu hingga saat ini tidak pernah tercatat ada aktifitas budidaya rumput laut oleh masyarakat pesisir setempat karena memang kondisi alam lautnya yang sangat tidak mendukung.
Selain dipenuhi hutan bakau, dari keterangan beberapa masyarakat setempat, mereka hanya mencari kerang-kerang, ikan serta kepiting bakau.
"Selama lokasi disana direklamasi oleh Jentang cs, masyarakat sudah banyak yang beralih jadi tukang batu dan tidak lagi melaut sebagai mata pencaharian utama," ungkap Kadir.
Kejati Sulsel, kata Kadir, harusnya mendalami sejauh mana pemenuhan syarat-syarat administrasi oleh Rusdin dan Jayanti dalam memperoleh hak garapan dari Lurah Buloa dan diketahui oleh Camat Tallo saat itu.
"Berbicara mengenai perolehan hak, itu tentu ada syarat-syarat administrasi yang harus dipenuhi. Pertama apakah betul keduanya selama ini berdomisili di sekitar lokasi atau benarkah keduanya selama ini melakukan aktifitas sebagai petani rumput laut di lokasi tersebut. Ini bisa jadi pintu masuk Kejati ungkap kasus ini secara utuh," kata Kadir.
"Kejati juga bisa menggandeng ahli kelautan untuk mencari kejelasan apa betul lokasi laut Buloa dapat dimanfaatkan budidaya rumput laut? Jawaban ahli ini nantinya bisa membuat terang apakah ada unsur pidana dalam proses perolehan hak terkait syarat-syarat ketentuan administrasi dalam perspektif hukum agraria," tutur Kadir.
Apalagi, lanjut Kadir, Kejati pernah mengungkap ke media jika pihaknya menemukan bukti baru terkait status kawasan laut Buloa.
Dimana kawasan laut Buloa hingga saat ini masih berstatus dalam penguasaan Kementarian Perhubungan dan Kelautan sebagaimana tertuang dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Kementerian Perhubungan dan Kelautan.
Penguasaan kawasan laut Buloa tersebut kemudian dialihkan pengelolaannya kepada PT. Pelindo yang juga merupakan perusahan milik pemerintah sebagaimana tertuang dalam SK yang dimaksud.
"Ini kan bukti kuat lagi jika betul kawasan laut Buloa masih dalam penguasaan negara. Pertanyaannya kemudian, apa dasar Lurah Buloa berani merestui peralihan hak atas bidang laut di kawasan Buloa tanpa mengantongi izin Kementerian yang bertindak selaku pihak yang menguasai kawasan laut Buloa tersebut," Kadir menandaskan.
Advertisement
Pandangan Akademisi Terkait Kasus Jentang
Sebelumnya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKIP) yang juga diketahui sebagai pembina Lembaga Sosial Masyarakat Aliansi Peduli Anti Korupsi (LSM APAK), Jermias Rarsina menjelaskan bahwa penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang menjerat Jentang harus dilihat dari dua aspek yuridis.
Pertama, kata Jermias, melihat adanya konflik tafsiran hukum tentang kepastian hukum putusan praperadilan yang menyatakan sah penetapan tersangka atas diri Jentang dan kasus dugaan tindak pidana korupsi yang menjeratnya harus dilanjutkan untuk diproses hingga bermuara pada pembuktian di Pengadilan terlepas dari adanya beberapa terdakwa lainnya yang telah divonis bebas.
Dan aspek yuridis kedua, lanjut Jermias, adanya kemauan yang serius dan kuat untuk lebih maksimal dan optimal guna membongkar dan membenahi berkas perkara milik Jentang sehingga tidak mengalami nasib yang sama dengan terdakwa lain yang sebelumnya dikabarkan telah divonis bebas.
"Pada prinsipnya secara hukum jika benar perkara Jentang diberhentikan dan ada penetapan pemberhentian perkara di tangan penyidik Kejati Sulsel, maka satu satunya jalan adalah harus dilawan kembali keputusan pemberhentian perkara tersebut melalui mekanisme praperadilan," terang Jermias ditemui di kediamannya, Sabtu 15 Februari 2020.
Upaya praperadilan kembali, kata dia, telah sesuai dengan ketentuan pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dimana menegaskan bahwa praperadilan dapat dilakukan baik atas penghentian penyidikan dan penuntutan.
"Itu adalah hak hukum yang dapat dipakai untuk melawan Kejati Sulsel jika benar-benar terjadi penghentian penyidikan perkara pidana Jentang melalui sebuah surat penetapan secara hukum," jelas Jermias.
Disisi lain, dalam kasus Jentang ia melihat ada hal yang paling menarik yakni tentang bagaimana mengelola secara kualitas perkara yang dimaksud dalam hubungannya dengan pengakuan hak atas tanah dilihat dari prespektif hukum agraria secara administrasi pertanahan yang ada keterkaitannya dengan pertanggungjawaban pidana.
Misalnya, kata dia, terkait obyek tanah yang menjadi masalah. Bagaimana sesungguhnya (sebenarnya) status lahan tersebut yang ada kaitannya dengan recht title (hak hukum)?.
Kalau memang benar tanah tersebut merupakan lahan garapan peruntukan bagi petani rumput laut, maka tinggal membuktikan cara perolehannya dalam hubungannya dengan syarat-syarat administrasi pemberian hak kepada para penggarapnya.
Tentunya, kata Jermias, hal itu sangat erat keterkaitannya dengan pejabat administrasi setempat yang berwenang untuk memberi hak pengelolaan atas lahan garapan yang dimaksud.
"Nah disini dasar Kejati Sulsel wajib secara hukum membuat kajian serta pendalaman untuk bisa menentukan ada atau tidaknya penyimpangan administrasi sebagai bentuk dari penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat administrasi (on recht matige over heid daad )," ucap Jermias.
Jika fakta itu ditemukan, maka disitulah pintu masuk pidana untuk menilai segala hal ikwal hukum yang telah terjadi atas hak yang melekat diatas lahan garapan yang sedang bermasalah tersebut.
Menurut Jermias, ada prinsip dalam prespektif hukum agraria yang tidak boleh diabaikan sehubungan dengan penguasaan lahan/tanah negara yakni sebelum status lahan/tanah negara yang dimaksud mendapat prioritas peningkatan hak menjadi hak milik bagi yang menguasai, menempati dan menikmati diatas lahan/tanah tersebut (memiliki kedudukan berkuasa/bezitter) maka tidak boleh diperjualbelikan.
Namun dalam prakteknya biasanya tidak dibuat dalam kegiatan jual beli. Tetapi dibuat dalam bentuk pengoperan hak menguasai atas status lahan/tanah negara yang dimaksud.
"Tapi lagi-lagi secara hukum wajib memenuhi syarat administrasi. Inilah yang seharusnya menjadi pintu masuk untuk menilai secara hakiki dari proses perolehan yang sebenarnya mengenai lahan di Kelurahan Buloa yang menerpa Jentang dalam masalah hukum," terang Jermias.
Jika nantinya perolehan tanah di Kawasan Buloa tersebut ditemukan ada penyimpangan secara administrasi dan itu merupakan bagian dari penyalahgunaan kewenangan (on recht matige over heid daad) oleh pejabat berwenang, maka cukup beralasan hukum bagi Kejati Sulsel segera membongkar dan membenahi berkas perkara dugaan tindak pidana Jentang untuk menjadi sempurna agar tidak mengalami nasib buruk seperti putusan vonis bebas pada beberapa terdakwa terdahulu.
"Nah sekarang tinggal menunggu kemauan besar Kejati Sulsel untuk menempuh langkah-langkah yang dimaksud," Jermias menandaskan.
Drama Penyidikan Kasus Jentang Hingga Tarik Ulur Jabatan Kajati Sulsel
Hampir dua tahun memburon, Jentang akhirnya berhasil tertangkap oleh Tim Intelijen Kejaksaan Agung (Kejagung) di sebuah hotel di daerah Senayan, Jakarta, Kamis 17 Oktober 2019.
Ia yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kejati Sulawesi Selatan Nomor: PRINT-509/R.4/Fd.1/11/2017 itu, menghilang sejak 1 Nopember 2017.
Menurut Mukri yang saat itu menjabat sebagai Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Jentang merupakan buronan ke 345 yang terdaftar pada program tabur 31.1 Kejagung terhitung sejak program tersebut diluncurkan resmi oleh Kejaksaan pada tahun 2018 lalu.
"Dari total buronan yang berhasil tertangkap dalam program tabur 31.1, Jentang merupakan buronan ke 138 yang berhasil tertangkap di tahun 2019," tutur Mukri.
Usai tertangkap, Tim Intelijen Kejagung langsung menyerahkannya ke pihak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) guna menjalani proses hukum lebih lanjut.
Namun belakangan, tepatnya hanya menjalani masa penahanan titipan di Lapas Klas 1 Makassar selama dua bulan, Jentang lalu mendapat perlakuan istimewa. Diam-diam permohonan penangguhan penahanannya oleh Kejati Sulsel diloloskan.
Ia dikeluarkan dari sel tahanan Lapas Klas 1 Makassar pada Kamis 12 Desember 2019 malam hari.
Kabar dikeluarkannya Jentang dari sel Lapas sempat dibantah oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kajati Sulsel) Firdaus Dewilmar. Ia mengaku tak tahu soal itu dan mengarahkan agar kabar tersebut dikonfirmasi langsung ke Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Sulsel atau sekalian cek ke Lapas Klas I Makassar.
Pihak Lapas dalam hal ini Kepala Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) Lapas Klas 1 Makassar yang saat itu dijabat oleh Zaeni kemudian membenarkan jika Jentang dikeluarkan dari sel Lapas berdasarkan rekomendasi dari pihak Kejati Sulsel yang telah memberikan penangguhan terhadapnya.
"Penangguhan mas," singkat Zaeni via pesan singkat Jumat 13 Desember 2019.
Hampir sepekan pemberitaan penangguhan penahanan Jentang heboh, Kepala Kejati Sulsel, Firdaus Dewilmar pun akhirnya angkat bicara.
Mantan Kajati Gorontalo itu kemudian membenarkan jika pihak telah memberikan penangguhan penahanan terhadap eks buron kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Makassar, Soedirjo Aliman alias Jentang itu.
Pengusaha yang kerap terlibat dalam perkara-perkara sengketa lahan di Makassar tersebut, kata Firdaus, dikeluarkan dari sel tahanan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IA Makassar, Kamis 12 Desember 2019 malam hari.
"Yang bersangkutan usianya 80an dan sedang sakit," kata Firdaus di Kantor Kejati Sulsel, Selasa 17 Desember 2019.
Selain itu, pertimbangan lainnya, kata dia, adanya putusan bebas Mahkamah Agung (MA) terhadap tiga terdakwa dalam kasus yang sama serta adanya putusan perdata terkait status lahan yang memenangkan Jentang.
"Satu lagi, saat ini kan kita sedang mengejar adanya kerugian negara senilai Rp 500 juta. Tapi ternyata ada aset yang diduga ilegal yang dikuasai juga oleh Jentang dan nilainya itu Rp 800 miliar. Yang mana bagusnya kita kejar?," terang Firdaus.
Ia berjanji segera mungkin akan memberikan kepastian hukum penanganan kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar yang sebelumnya sempat membuat Jentang berstatus buronan selama 2 tahun lebih dan berhasil ditangkap oleh tim Tabur Intelijen Kejaksaan Agung (Kejagung) 17 Oktober 2019.
"Saya janji kasih kepastian hukum. Apakah kasusnya dihentikan atau dilanjutkan. Pertimbangannya tadi saya sudah jelaskan," terang Firdaus.
Keputusan Kejati Sulsel memberikan penangguhan penahanan terhadap Jentang pun mendapat reaksi keras dari sejumlah pegiat anti korupsi serta elemen mahasiswa di Sulsel.
Diantaranya Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) Kadir Wokanubun mengatakan bahwa alasan penangguhan penahanan yang dilontarkan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) dinilai mengada-ada.
"Alasan sakit sesungguhnya alasan yang mengada-ada. Kalau sakit kan bisa berobat di dalam Lapas karena fasilitas sudah disiapkan, bukannya dikasih keluar dari Lapas," ucap Kadir.
Ia sangat menyesalkan sikap Kajati Sulsel yang dinilai telah mencederai komitmen pemberantasan korupsi dengan cara diam-diam memberikan penangguhan penahanan terhadap eks buronan kasus dugaan korupsi lahan negara, Soedirjo Aliman alias Jentang.
"Jentang ini kan pernah dua tahun lebih memburon usai ditetapkan jadi tersangka dalam kasus korupsi penyewaan lahan negara dan nanti bulan Oktober 2019 berhasil ditangkap oleh tim Tabur Kejagung. Loh kok malah Kajati tolerir yah. Kajagung harus segera evaluasi Kajati Sulsel ini," ucap Kadir.
Ia berharap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga segera mengevaluasi kinerja Koorsupgah KPK yang dinilai kecolongan dalam mengawasi perjalanan penanganan kasus dugaan korupsi yang menjerat eks buronan tersebut.
"Bukannya belakangan ini Koorsuogah KPK cukup intens membangun koordinasi dengan pihak Kejati Sulsel terkait penanganan kasus dugaan korupsi lahan negara Buloa. Loh kok malah kecolongan tersangka malah dapat penangguhan penahanan. Kinerja Koorsupgah KPK patut dipertanyakan," tegas Kadir.
Meski demikian, ia tetap mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan supervisi total atas kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara Buloa tersebut.
"Kenapa KPK harus hadir, tentunya untuk mengevaluasi dan menyambung kembali fakta-fakta hukum yang dilepaskan Kejati sewaktu mereka menyidik Rusdin cs," terang Kadir.
Dimana dalam fakta hukum kasus Buloa terungkap peranan orang lain. Namun terkesan ditutupi oleh Kejati.
"Kehadiran KPK sangat penting karena sejak awal kami menilai Kejati terkesan menutupi peran orang lain dalam kasus ini. Kasus ini tak boleh berhenti di Jentang, karena benang merahnya masih menyambung ke pihak lain diantaranya Ulil Amri, Jhoni Aliman, Edi Aliman, mantan Lurah, mantan Camat serta dua perusahaan BUMN," ungkap Kadir.
Seharusnya, kata dia, semua diperiksa dan diminta pertanggung jawaban. Tidak berhenti kepada peranan Jentang.
"Kalau begini tindakan penyidik, sangat terkesan tebang pilih dalam menetapkan tersangka,” tegas Kadir.
Tak hanya melontarkan kritikan keras, sejumlah elemen mahasiswa tampak berturut-turut berunjuk rasa dengan menutup ruas jalan di depan Kantor Kejati Sulsel. Bahkan melanjutkan aksi teatrikal menabur bunga dan membawa keranda mayat di depan Rumah Jabatan Kajati Sulsel yang terletak di Jalan Ratulangi Makassar.
Mereka menilai aksi tersebut sebagai simbol matinya supremasi penegakan hukum ditangan Kajati Sulsel, Firdaus khususnya dalam hal pemberantasan korupsi.
"Perlakuan istimewa yang diberikan Kajati Sulsel kepada tersangka Jentang merupakan tanda matinya supremasi penegakan hukum. Tabur bunga ini adalah simbol," ucap Damkers, Kordinator Lapangan Aliansi Mahasiswa Pemerhati Hukum (AMPH) Sulsel saat ditemui di sela-sela aksi tabur bunga di Rujab Kajati Sulsel saat itu.
Ditengah maraknya aksi penolakan keputusan Kajati Sulsel terkait penangguhan penahanan Jentang tersebut, tiba-tiba kabar mutasi menerpa Kajati Sulsel, Firdaus tepatnya jelang perayaan pergantian tahun 2019.
Ia dimutasi sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Fungsional pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor: KEP-380/A/JA/12/2019 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Jabatan Struktural di Lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Hari Sutiyono mengatakan tak hanya Kajati Sulsel yang berganti, sejumlah Kajati lainnya turut terjaring mutasi diantaranya Kajati Gorontalo, Kajati Sulawesi Utara, dan Kajati Nusa Tenggara Timur.
Ia membantah adanya opini masyarakat yang menyatakan bahwa pertimbangan mutasi dikarenakan pejabat yang terjaring mutasi tersebut memiliki kinerja yang buruk.
“Mutasi itu benar. Mutasi di Kejaksaan berdasarkan kepentingan dinas bisa promosi, tour of duty atau penyegaran," kata Hari, 28 Desember 2019.
Hanya selang dua hari keputusan mutasi itu terbit, tiba-tiba Kejaksaan Agung membatalkan mutasi Firdaus Dewilmar yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kajati Sulsel) ke jabatan baru sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan pelatihan tekhnis fungsional pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Hari Sutiyono membenarkan hal tersebut. Kata dia, Firdaus Dewilmar dikembalikan pada jabatan sebelumnya yakni sebagai Kajati Sulsel sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Jaksa Agung Republik Indonesia bernomor KEP- 383/A/JA/12/2019 tanggal 30 Desember 2019 tentang pencabutan dan pembatalan keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP–380/A/JA/12/2019 tanggal 26 Desember 2019.
Hal sama juga dialami oleh Jaja Subagja. Ia dinyatakan kembali kepada posisi semula yakni sebagai Kajati Gorontalo.
"Iya benar itu," kata Hari via pesan singkat, Rabu, 31 Desember 2019.
Ia menjelaskan ada beberapa pertimbangan SK pembatalan mutasi terhadap jabatan Kajati Sulsel dan Gorontalo tersebut diterbitkan.
Selain sebagai tindak lanjut adanya pengaduan masyarakat yang menyatakan bahwa keberadaan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP–380/A/JA/12/2019 tanggal 26 Desember 2019 dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan tugas terkait beberapa pejabat yang namanya masuk dalam SK Jaksa Agung tersebut, juga demi kepentingan dinas dan organisasi.
"Maka Jaksa Agung memandang perlu untuk mencabut dan membatalkan SK Nomor: KEP–380/A/JA/12/2019 tanggal 26 Desember 2019 itu," terang Hari.
Advertisement
Kronologi Kasus Korupsi yang Jerat Jentang
Jentang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penerimaan uang penyewaan lahan negara disertai dengan dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Perannya terungkap sebagai aktor utama dibalik terjadinya kerugian negara dalam pelaksanaan kegiatan penyewaan lahan negara tepatnya yang berlokasi di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar atau kawasan proyek nasional Makassar New Port.
Berdasarkan itulah penyidik akhirnya menetapkan ia sebagai tersangka dugaan korupsi disertai tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang juga telah dikuatkan oleh beberapa bukti.
Diantaranya bukti yang didapatkan dari hasil pengembangan fakta persidangan atas tiga terdakwa dalam kasus dugaan korupsi penyewaan lahan buloa yang sebelumnya sedang berproses di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar. Ketiga terdakwa masing-masing M. Sabri, Rusdin dan Jayanti.
Selain itu, bukti lainnya yakni hasil penelusuran tim penyidik dengan Pusat Pelatihan dan Aliran Transaksi Keuangan (PPATK). Dimana dana sewa lahan diambil oleh Jentang melalui keterlibatan pihak lain terlebih dahulu.
Jentang diduga turut serta bersama dengan terdakwa Sabri, Rusdin dan Jayanti secara tanpa hak menguasai tanah negara seolah-olah miliknya sehingga PT. Pembangunan Perumahan (PP) Persero selaku Pelaksana Proyek Makassar New Port terpaksa mengeluarkan uang sebesar Rp 500 Juta untuk biaya penyewaan tanah.
“Nah dana tersebut diduga diterima oleh tersangka melalui rekening pihak ketiga untuk menyamarkan asal usulnya,” kata Jan S Maringka yang menjabat sebagai Kepala Kejati Sulsel saat itu dalam konferensi persnya di Kantor Kejati Sulsel, Rabu 1 November 2017 lalu.
Menurutnya, penetapan Jentang sebagai tersangka juga merupakan tindak lanjut dari langkah Kejati Sulsel dalam mengungkap secara tuntas dugaan penyimpangan lain di seputar lokasi proyek pembangunan Makassar New Port untuk mendukung percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional tersebut.
“Kejati Sulsel akan segera melakukan langkah langkah pengamanan aset untuk mencegah terjadinya kerugian negara yang lebih besar dari upaya klaim-klaim sepihak atas tanah negara di wilayah tersebut,” tegas Jan.
Atas penetapan tersangka dalam penyidikan jilid dua kasus lahan negara ini, Kejati Sulsel pun langsung mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka koordinasi penegakan hukum.
“Tersangka dijerat dengan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 3 dan Pasal 4 UU No. 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),” Jan menandaskan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: