Liputan6.com, Jakarta - Tubuh Sarah penuh luka bakar saat dibawa para kerabatnya ke RSUD Cianjur, dia tak sadarkan diri. Perempuan berusia 21 tahun warga Kampung Munjul, Desa Sukamaju, Kecamatan Cianjur, itu menjadi korban penyiraman air keras suami sirinya, Abdul Latief (29), warga asing berkebangsaan Arab Saudi. Tak lama tiba di rumah sakit, Sarah menghembuskan napas terakhir.
Direktur RSUD Cianjur, dr Darmawan mengatakan, tim medis sudah melakukan penanganan yang maksimal, namun sayang, luka bakar hingga 90 persen yang dialami Sarah membuat nyawanya tak bisa tertolong.
Baca Juga
“Kami sudah berencana merujuk ke RSHS Bandung, namun menjelang malam korban meninggal dunia,” kata Darmawan.
Advertisement
Aparat kepolisian Polres Cianjur sendiri langsung bergerak cepat usai mendapat laporan. Pelaku penyiraman air keras, Abdul Latief, berhasil ditangkap saat hendak kabur ke negaranya. Kasat Reskrim Polres Cianjur AKP Septiawan Adi mengatakan, pria bejat itu ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta).
"Kami berkoordinasi dengan Polres Bandara Soekarno-Hatta, untuk memblokir nomor paspor milik tersangka, sehingga dapat memudahkan penangkapan. Petugas bandara mengabarkan tersangka sedang mengurus keberangkatan ke negara Timur Tengah," katanya.
Petugas bandara yang menemukan keberadaan tersangka, langsung melakukan penangkapan sambil menunggu petugas dari Polres Cianjur. Usai ditangkap, pelaku langsung digelandang ke Mapolres Cianjur, guna mempertanggungjawabkan perbuatanya.
Dari hasil pemeriksaan awal, polisi menyebut penyiraman air keras dipicu karena pelaku cemburu lantaran korban diduga dekat dengan pria lain. Di hadapan petugas, pelaku mengaku membeli air keras di toko online beberapa hari sebelum terjadinya peristiwa penyiraman. Dari fakta ini terungkap, pembunuhan terhadap Sarah sudah direncanakan oleh pelaku, sehingga polisi bakal menjeratnya dengan pasal berlapis. Meski begitu, korps penegak keadilan akan terus mendalami kasus ini untuk memastikan motif di balik penyiksaan hingga tewas tersebut.
Sementara itu, menurut pengakuan Salman (60), ayah korban, pelaku memang mempunyai sifat cemburu yang berlebihan. Bahkan pelaku kerap merampas ponsel milik korban saat ada saudara yang menghubungi atau mengrim pesan. Dari situ, pelaku juga menuduh korban ada 'main' dengan pria lain. Tuduhan itu yang dipakai pelaku untuk melakukan tindak kekerasan terhadap Sarah selama 1,5 bulan dikawin kontrak.
Kekerasan terhadap perempuan di balik praktik kawin kontrak di Indonesia nampaknya telah menjadi fenomena gunung es, yang hanya terlihat di ujungnya saja. Padahal praktik kekerasan ini, jika mau ditelisik, sangat banyak terjadi di masyarakat, terutama di daerah-daerah yang masih mau melanggengkan praktik kawin kontrak. Meski kekerasan terhadap perempuan bisa saja terjadi dari jenis pernikahan apapun, namun dalam kawin kontrak, dampak yang dirasakan pihak perempuan bisa dua kali lebih besar.
Mengingat pada praktiknya, pihak perempuan tidak punya kekuatan hukum dalam kawin kontrak, sehingga tidak dianggap sebagai istri yang sah. Dari situ dampak turunannya adalah, perempuan tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika meninggal dunia, selain juga tidak berhak atas harta gono gini jika sewaktu-waktu terjadi perpisahan. Anak yang lahir dari praktik kawin kontrak juga dianggap anak luar kawin, artinya dalam pandangan hukum hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga sang ibu, sesuai dengan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Yang lebih parah, anak dari hasil kawin kontrak juga tidak mendapat pengakuan dari sang ayah soal masalah perwalian, pendidikan, dan pengasuhan, apalagi hak waris. Bisa dibayangkan bagaimana menderitanya seorang perempuan yang terlibat praktik kawin kontrak. Lalu yang menjadi pertanyaan besar sekarang adalah, mengapa praktik ini masih saja terjadi di masyarakat Indonesia?
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Praktik Kotor Kawin Kontrak
Kawin kontrak dalam tradisi Arab disebut nikah mut’ah, yaitu pernikahan dengan menetapkan batas waktu tertentu berdasarkan kesepakatan antara calon suami dan istri. Jika waktu yang ditentukan sudah habis, maka keduanya bisa memperpanjang maupun mengakhirinya sesuai kesepakatan di awal. Penentuan jangka waktu inilah yang kemudian membedakan kawin kontrak dengan pernikahan biasa.
Fajar Hernawan, pakar hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung dalam papernya menyebut, meski kawin kontrak dilakukan menurut agama Islam, yang berarti memenuhi pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, yang berbunyi: perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu. Namun bukan berarti perkawinan kontrak itu bisa dikatakan sah menurut agama. Harus diperiksa terlebih dahulu apakah syarat-syarat dan rukun perkawinan secara Islam telah benar-benar dipenuhi. Artinya harus ada peran pakar dan praktisi yang benar-benar memeriksa syarat dan rukun pernikahan tersebut, dalam hal ini adalah Pengadilan Agama.
Praktik kawin kontrak ini marak terjadi di banyak tempat di Indonesia. Di Pulau Jawa sendiri, terdapat kantong-kantong kawasan yang menjadi pusat praktik kawin kontrak, antara lain di kawasan puncak Bogor, di Jepara, dan Pasuruan. Banyak faktor yang mendorong pelanggengan praktik kawin kontrak di daerah-daerah tersebut. Dari pihak perempuan, faktor pendorong yang paling kuat adalah masalah ekonomi. Masih banyak perempuan yang beranggapan, dengan kawin kontrak, seorang perempuan bisa mendapat sejumlah uang dalam waktu singkat tanpa harus dilabeli ‘dosa’. Mereka hanya berharap kehidupan ekonomi akan berubah setelah menikah dengan orang asing.
Sementara itu, praktik kawin kontrak juga dilanggengkan atas nama bisnis. Banyak pria warga negara asing yang datang ke Indonesia dengan visa wisata maupun kunjungan kerja, namun banyak dari mereka yang kemudian menetap dalam waktu lama dengan status yang tidak jelas. Atas nama bisnis, mereka bersedia menikah dengan perempuan Indonesia dalam jangka waktu tertentu, hal itu dilakukan hanya untuk mempermudah mereka dalam berbisnis, misal dalam pembelian tanah atau pendirian perusahaan menggunakan nama istri siri.
Terkait praktik 'kotor' kawin kontrak yang berujung pada kekerasan terhadap perempuan, Aktivis Perempuan dan Konsultan Gender dan HAM, Tunggal Pawestri saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (24/11/2021) mengatakan, tanpa berujung kekerasan, praktik kawin kontrak adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan itu sendiri. Mengingat dalam praktiknya perempuan akan selalu menjadi pihak yang dirugikan karena perlindungan hukum terhadap mereka menjadi amat lemah. Kawin kontrak, dalam beberapa kasus, juga kerap menjadi selubung perdagangan manusia.
"Ini seperti perdagangan orang tapi 'legal'. Ada beberapa kasus kawin kontrak yang ternyata menjadi modus operasi sindikat perdagangan perempuan dan anak," katanya.
Jika dianalisa lebih dalam secara filosofis, kata Tunggal, kawin kontrak saat ini sudah tidak sejalan dengan hakekat sebuah pernikahan, di mana ada aspek sakral dan penghormatan.
"Nilai ini sama sekali tidak ada. Levelnya cuma transaksional, dan sekai lagi, ini jauh dari tujuan pernikahan," katanya.
Dalam pandangan Tunggal Pawestri, tidak ada yang salah dengan UU Pernikahan di Indonesia yang sekarang ada. Hanya saja masih banyak orang yang melanggengkan praktik ini meski banyak pakar hukum menyatakan, kawin kontrak bertentangan dengan UU Perkawinan maupun hukum agama Islam. Banyaknya praktik kawin kontrak di Indonesia, menurut Tunggal, tidak lepas dari masalah ketidakhadiran negara dalam memajukan kaum perempuan di segala lini, khususnya perempuan yang ada di daerah-daerah.
"Isu pokoknya biasanya kemiskinan. Dalam hal ini negara bisa dibilang belum berhasil mengatasinya. Problem kemiskinan berdampak dua kali lipat ke perempuan. Belum lagi minimnya sosialisasi dan pendidikan yang cukup mengenai bahayanya kawin kontrak," katanya.
Advertisement
Catatan Komnas Perempuan
Kasus penyiraman air keras terhadap Sarah, perempuan warga Cianjur, yang dilakukan suami sirinya, Abdul Latief, pria berkebangsaan Arab Saudi, merupakan fenomena gunung es. Catatan Komnas Perempuan menyebut, dalam 13 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih terus terjadi, salah satu pemicunya adalah kawin kontrak.
Tahun 2020, menurut data Komnas Perempuan, angka kekerasan terhadap perempuan memang mengalami penurunan sekitar 31,5 persen dari tahun sebelumnya. Namun dengan catatan, ada banyak faktor yang menyebabkan angka tersebut seolah turun, antara lain pertama, korban dekat dengan pelaku selama masa pendemi Covid-19, kedua, korban hanya mengadu ke keluarga atau memilih diam, ketiga, persoalan literasi teknologi dan digital yang menghambat seorang perempuan untuk mengadu, keempat, model layanan pengaduan yang belum siap dengan kondisi di kala pandemi (belum siap go digital).
Andy Yentriyani, Komisioner Komnas Perempuan saat dihubungi Liputan6.com mengatakan, situasi pandemi membuat pengadilan agama membatasi layanan dan proses persidangan, sehingga hal ini membuat angka perceraian turun 125.075 kasus dari tahun lalu. Selain itu, turunnya jumlah pengembalian kuesioner hampir 100 persen dari tahun sebelumnya.
Dengan demikian jika pengadilan agama kembali memberikan layanan seperti biasa serta pengembalian kuesioner sama dengan tahun sebelumnya, dipastikan angka kasus meningkat. Jika dihitung rata-rata, pada tahun 2019 setiap lembaga ada 61 kasus, sedangkan pada tahun 2020 meningkat menjadi 68 kasus di setiap lembaga. Dengan demikian jika pengembalian kuesioner sama dengan tahun sebelumnya maka ada peningkatan 10 persen atau setara dengan 1.700an kasus.
Komnas Perempuan juga menyoroti banyak kasus kekerasan perempuan yang dipicu kawin kontrak. Apalagi dalam hal ini, pihak perempuan tidak punya perlindungan di mata hukum, lantaran dianggap istri yang tidak sah karena pernikahan dilakukan secara kontrak. Kasus antara MS dan I misalnya, keduanya menikah secara siri pada 18 Juli 2020 berdasarkan Surat Keterangan Akad Nikah.
Keduanya kemudian tinggal di kediaman bersama dan menetap disebuah rumah di Kota Pekanbaru. Pada 22 Agustus 2020, teman-teman suami datang ke rumah dan suami memaksa korban menyerahkan uang belanja untuk membeli minuman keras. Setelah mabuk suami dan teman-temannya berencana untuk pergi.
Korban mencoba mencegah suaminya yang sedang mabuk untuk pergi. Namun suami justru memukuli kepala dan wajah korban, kemudian menginjak perut dan menjambak rambuk korban. Suami juga sudah mengambil dodos (alat tajam untuk memetik dan menjolok buah kepala sawit) dan mengancam akan membakar korban hidup-hidup di dalam rumah itu.
Korban berhasil mendorong suaminya dan kemudian lari mencari pertolongan hingga jatuh pingsan.Setelah sadar, korban dibantu tetangga mendatangi kantor Kepolisian Sektor Payung Sekaki untuk membuat laporan. Kepolisian menolak laporan korban dan merobek Surat Keterangan Akad Nikah yang diberikan korban karena pernikahan tersebut adalah pernikahan siri. Setelah mendapatkan layanan konseling psikologis dan didampingi DP3A Kota Pekanbaru, korban membuat laporan di Kepolisian Resor Kota Pekanbaru.
Kembali Kepolisian tidak menerima laporan korban, dengan alasan tidak dapat dibuat laporan KDRT, karena pernikahan korban adalah pernikahan siri dan tidak sah berdasarkan Undang-undang Perkawinan. Apabila dibuat laporan penganiayaan juga akan sulit dalam hal pembuktian atau saksi. Proses hukum yang demikian telah memperburuk kondisi psikologis korban.
Respons Ketua DPR RI
Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti maraknya kasus kawin kontrak di Indonesia yang pada akhirnya menimbulkan kekerasan terhadap perempuan. Karena itu, Puan meminta Pemerintah memberi jaminan perlindungan terhadap perempuan, termasuk mereka yang terlibat pada praktik-praktik kawin kontrak.
"Tewasnya perempuan asal Cianjur, Sarah yang disiram air keras oleh suami kontraknya menjadi potret pedih kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Ini menjadi tamparan untuk kita bersama betapa perlindungan kepada kaum perempuan masih sangat minim," kata Puan dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (23/11/2021).
Dia menggarisbawahi praktik kawin kontrak bermodus nikah siri memiliki risiko tinggi terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Menurut dia, meskipun banyak kejadian kekerasan, namun praktik kawin kontrak, khususnya dengan warga negara asing (WNA) masih saja terus terjadi.
"Padahal praktik kawin kontrak ini sangat rentan menjadikan perempuan sebagai korban," ujarnya.
Puan mengutip laporan Komnas Perempuan yang menyebutkan kasus kekerasan terhadap perempuan masih cukup tinggi, misalnya tahun 2020 terdapat 299.911 kasus, dan periode Januari-Juli 2021 tercatat ada 2.500 kasus. Berdasarkan data tersebut, kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik, kekerasan seksual, psikis hingga ekonomi.
Karena itu, dia meminta Pemerintah serius menangani persoalan kawin kontrak, karena pencegahan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan memerlukan komitmen bersama dari berbagai kementerian dan instansi terkait.
"Pemerintah harus bisa memberi jaminan perlindungan kepada perempuan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) harus menggandeng Kementerian Agama, pemerintah daerah, bersama teman-teman Polri dan instansi terkait lainnya untuk mensosialisasikan potensi terjadinya kekerasan lewat praktik kawin kontrak," katanya.
Puan menekankan pentingnya pengawasan di daerah-daerah yang banyak ditemukannya praktik-praktik kawin kontrak, sehingga perangkat desa punya peranan penting karena merupakan perwakilan pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat.
Selain itu, Puan menilai pembekalan, pembinaan, dan pengawasan juga penting dilakukan kepada para penghulu atau amil yang sering bertugas menikahkan pasangan, sehingga menjadi tugas dari Kementerian Agama (Kemenag).
Sementara itu, pimpinan Komisi VIII Ace Hasan Syadzily mengatakan, potensi kekerasan rumah tangga memang sangat tinggi dalam kawin kontrak.
“Potensi adanya kekerasan pasti sangat terbuka. Kawin kontrak kan sebetulnya menyalahi UU Perkawinan dimana seharusnya pernikahan itu harus terdaftar secara resmi dalam catatan Kantor Urusan Agama (KUA). Kawin kontrak ini merupakan bentuk lain dari pernikahan siri. Maka, tak dapat dihindarkan adanya potensi relasi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan dalam kawin kontrak ini,” kata Ace saat dikonfirmasi, Rabu (24/11/2021).
Ace meminta pemerintah daerah mengkaji ulang aturan kawin kontrak tersebut. "Oleh karena itu, soal kawin kontrak ini sebaiknya dikaji ulang keberadaannya. Relasi kawin kontrak itu menjadikan perempuan sebagai komoditas,” katanya.
Politikus Golkar ini juga meminta kasus kekerasan dalam kawin kontrak diusut tuntas. "Kekerasan terhadap perempuan dalam kasus kawin kontrak harus diusut dan ditindak dengan tegas," pungkasnya.
Advertisement
Menanti Aksi Nyata Pemerintah
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga, menyesalkan peristiwa penyiraman air keras hingga tewas yang dialami Sarah, perempuan warga Cianjur.
"Kami turut prihatin atas kejadian ini," kata Menteri Bintang, Selasa (23/11/2021).
Bintang mengajak masyarakat untuk mengawal kasus kekerasan yang dialami korban agar tak ada lagi korban kawin kontrak.
"Kami mengajak masyarakat untuk mengawal kasus ini agar tidak ada lagi korban kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik, psikis, seksual dan penelantaran dalam rumah tangga. Kami juga meminta aparat kepolisian untuk memproses kasus ini sesuai aturan hukum yang berlaku. Tugas kita semua untuk semaksimal mungkin mencegah terjadinya kekerasan di sekeliling kita agar terwujud zero kekerasan," kata Bintang.
Abdul Latif, kata Bintang, bisa dijerat sanksi Pasal 6 jo Pasal 44 ayat (3) UU PKDRT karena menyebabkan meninggalnya korban dan jika dilihat dalam KUHP, pelaku dapat dikatakan telah melakukan penganiyaan berat yang mengakibatkan matinya seseorang atau pembunuhan.
Bintang menyatakan aturan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga harus ditegakkan, sebagai pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau subordinasi, khususnya perempuan mengingat banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga.
"Selama ini kita terus berjuang untuk tidak melanjutkan budaya kekerasan di semua lingkup masyarakat hingga lingkup terkecil, yaitu keluarga. Dalam kelompok masyarakat, perempuan dan anak adalah kelompok rentan sehingga kita semua wajib melindungi dan menghindarkan mereka menjadi korban kekerasan, termasuk kawin kontrak yang juga marak terjadi di daerah," kata Bintang.
Namun demikian, persoalan kawin kontrak yang berujung kekerasan tidak bisa diselesaikan hanya dengan instruksi dan perintah saja. Pemerintah di berbagai lapisannya perlu melakukan aksi di 'hulu' dan mengetahui sebab utama mengapa praktik kawin kontrak masih terjadi di daerah-daerah di Indonesia.
Menurut Tunggal Pawestri, ada banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah agar praktik kawin kontrak tidak menjadi 'pilihan terakhir' bagi kaum perempuan Indonesia. Antara lain, pemerintah perlu membuat kampanye atau sosialisasi kepada publik, terutama yang di daerah, soal dampak buruk kawin kontrak bagi perempuan.
Pemerintah juga bisa melakukan kerja sama dengan pemuka agama setempat untuk mau bersama-sama menghapuskan praktik ini di masyarakat, mengingat di beberapa daerah agama masih dijadikan 'tameng' praktik kawin kontrak. Selanjutnya, pendidikan yang masif termasuk pemberian pelatihan kepada perempuan-perempuan di hotspot area kawin kontrak agar mereka bisa dengan tegas menolak praktik kawin kontrak.
"Yang tak kalah penting, karena ada problem ekonomi, maka pemerintah daerah juga harus memikirkan mengatasi ketimpangan ekonomi agar perempuan-perempuan ini tidak 'ditumbalkan' jika ada persoalan ekonomi keluarga," kata Tunggal.