Mengenal Tuntong Laut, Satwa Indonesia yang Terancam Punah

Satwa bertempurung keras ini dikenal juga sebagai tuntung atau tuntong semangka. Populasinya kini terancam punah.

oleh Panji Prayitno diperbarui 23 Agu 2022, 18:00 WIB
Diterbitkan 23 Agu 2022, 18:00 WIB
Mengenal Tuntong Laut Satwa Indonesia Yang Terancam Punah
Tutong Laut salah satu satwa Indonesia populasinya terancam punah. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta Satwa jenis reptil yang satu ini namanya masih cukup asing terdengar di telinga kita. Tuntong laut (Batagur borneoensis) adalah satu di antara 29 spesies kura-kura air tawar dan darat di Indonesia. 

Satwa Tuntong lebih banyak hidup di kawasan air payau. Seperti muara dan anak sungai, hutan bakau, dan daerah yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut. 

Persebaran Satwa Tuntong meliputi Pulau Sumatra, Kalimantan, dan sebagian kecil di Malaysia, Thailand, serta Brunei Darussalam. Ia memiliki sejumlah nama lain, misalnya, masyarakat Sumatra menyebutnya sebagai beluku, di Kalimantan diketahui sebagai tum-tum. 

Satwa bertempurung keras ini dikenal juga sebagai tuntung atau tuntong semangka. Ini lantaran punggung kerapasnya berwarna gading atau cokelat muda kehijau-hijauan mirip buah semangka.

Pada kura-kura jenis akuatik ini, karapasnya lebih datar dan ringan bila dibandingkan kerabatnya yaitu kura-kura darat di mana tempurungnya seperti kubah dan berat.

Bobot lebih ringan dari karapas tuntong ini disebabkan adanya rongga kosong di antara tulang-tulang tempurung yang bernama fontanelles. Sehingga reptil ini dapat berenang dengan cepat dan tidak tenggelam. 

Sebagian besar waktunya dihabiskan di permukaan air kendati pada pagi atau sore hari mereka naik ke darat untuk berjemur.

Persamaannya dengan kura-kura darat, keluarga Geoemydidae ini punya scute atau lapisan sisik keras terbuat dari keratin demi memperkuat tempurung mereka. Mereka juga herbivora dan menyukai buah serta sayuran. 

Pada beberapa kasus, mereka mengonsumsi limbah plastik di perairan karena mengira sebagai makanan. Panjang tubuh tuntong 60-100 sentimeter dan lebar karapas 30-40 cm. 

Umumnya, tubuh tuntong betina lebih besar dari pejantan. Hewan ini punya rahang atas yang bergerigi serta lima kuku tajam di kaki depan dan empat lainnya di kaki belakang. 

Warna kepala tuntong umumnya cokelat keabu-abuan dan mempunyai garis merah mencolok di bagian jidat di antara kedua mata. Sehingga, hewan itu kerap dijuluki si Jidat Merah.

Apabila masuk musim kawin terjadi sexual dismorphism atau perubahan pada pejantan. Pada masa tersebut, bagian leher hingga kepala tuntong jantan berubah warna menjadi putih keabu-abuan dipadu bintik hitam dan tentu saja jidat merahnya. 

Mereka akan bermigrasi saat musim kawin tiba dan tuntong betina dapat menghasilkan 12 sampai 24 butir telur. Lantaran keunikan tadi telah mengundang perburuan secara masif, baik untuk dijual atau dijadikan koleksi oleh para pehobi reptil dari seluruh dunia. 

Tuntong bahkan diperjualbelikan secara terang-terangan di etalase dagang lokapasar (marketplace) dengan harga Rp4 juta smpai Rp10 juta untuk anakan hingga dewasa. 

Situasi ini membuat keberadaan si Jidat Merah perlahan mulai sulit ditemui di kawasan pesisir yang menjadi habitatnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:


Alih Fungsi

Alih fungsi lahan kawasan pesisir dan hutan mangrove turut menjadi penyumbang menurunnya populasi tuntong. 

Hal itu makin diperparah oleh perubahan iklim yang sangat ekstrem dan membuat tingginya tingkat kegagalan penetasan telur tuntong. Sewaktu bertelur, tuntong akan menggali pasir di tepi pantai sedalam mungkin dan akan langsung diuruk.

"Suhu panas yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan telur dehidrasi sehingga gagal menetas," kata peneliti biodiversitas dari Universitas Lambung Mangkurat Amalia Rezeki.

Selain itu, di Aceh Tamiang sebagai salah satu habitat tuntong, telur-telurnya diburu masyarakat setempat sebagai bahan baku masakan bernama tengulik. 

Tukik atau anak-anak tuntong acap diburu penduduk. Padahal, untuk menjadi tuntong dan siap bereproduksi, diperlukan waktu hingga delapan tahun.

Akibatnya, tuntong masuk dalam daftar 25 spesies kura-kura terlangka di dunia versi Wildlife Conservation Society dan Turtle Conservation Coalition. Hal serupa juga diakui Tortoise and Freshwater Turtle Specialist Group International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). 

Ini adalah badan global yang mengawasi perdagangan dan perlindungan satwa dunia. IUCN memasukkan tuntong dalam "Daftar Merah" (Red List) kategori "Kritis" (Critically Endangered/CR) yang berarti reptil ini disebut hampir punah. 

Lembaga lainnya, yaitu Convention on International Trade of Endagered Species (CITES), menggolongkan tutong dalam Appendiks II. Artinya, perdagangan tuntong harus diawasi secara ketat.

Pemerintah pun tak tinggal diam dan telah memasukkan reptil bermoncong ini dalam daftar hewan dilindungi seperti dikutip dari Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan UU nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 

Jauh sebelumnya, dalam Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, tuntong pun masuk daftar hewan dilindungi kategori reptil.

Tuntong juga masuk daftar spesies prioritas nasional kategori reptil dan amfibi di Indonesia untuk dikonservasi lebih lanjut. Ini berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018.

Upaya konservasi juga telah dilakukan di sejumlah daerah. Misalnya, di Kabupaten Aceh Tamiang, Daerah Istimewa Aceh, ada sosok Joko Guntoro yang bersama Yayasan Satucita Lestari Indonesia melakukan pelestarian tuntong sejak 2011. 

Ia membangun pusat konservasi di pesisir pantai Aceh Tamiang, habitat tuntong yang masih tersisa di Sumatra. Beberapa relawan Patroli Tutong yang sebagian adalah mantan pemburu telur dan anakan hewan tersebut, mereka bergantian mengawasi proses bertelurnya reptil unik ini. 

Kemudian telur-telur itu dipindahkan ke 58 kandang khusus (ex situ) dan mampu menetaskan hingga hampir 700 anakan. "Tukik akan dilepas ke habitatnya (in situ) ketika telah melewati usia kritis tiga bulan," kata Joko. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya