Liputan6.com, Jambi - Saya hanya bisa mengucapkan kepada Tuhan, bahwa saya mengirimkan rasa terimakasih saya kepadaNya karena pada waktu saya tak dapat melihat dunia, dunia dapat melihat apa yang saya lakukan untuk negara saya Indonesia.
Itulah kata Murdijati Gardjito dalam pembuka film dokumenter yang berisi kisah tentang dirinya. Dia berdiri di depannya rangkaian poster makanan terpajang di dinding.
Baca Juga
Film dokumenter berjudul Murdijati Gardjito ini diputar di caffe Kissa Commonplace Kota Jambi, Kamis malam (12/10/2023). Sekelompok kawula muda di Jambi bersama sutradara-produser Hindra Setya Rini asal Yogyakarta, nonton bareng dan mendiskusikan film tersebut yang dimoderatori oleh Masvil Tomi.
Advertisement
Dalam diskusi film itu, Hindra Setya Rini yang berasal dari kota gudeg itu bercerita bagaimana proses penggarapan film Murdijari Gardjito yang berdurasi 45 menit. Ia mengaku mempunyai ketertarikan untuk mendokumentasikan perempuan lanjut usia.
Sebelum penggarapan, ia mulai riset tentang pangan. Saat riset, Hindra ketemu nama Murdijati dan artikel pertama yang muncul bahwa sosok Murdijati adalah buta dan pengedengaran kurang. Tapi Bu Mur--sapaan akrab Murdijati masih aktif menulis buku.
“Waktu ketemu beliau (Bu Mur) eksaited, karena Bu Mur ini dokumentasinya komplit, dia seorang arsiparis. Dokumenya tesimpan sangat bagus,” kata Hindra dalam diskusi itu.
Penggarapan film dokumenter ini mendapat dukungan program Dana Indonesiana Kemdikbusristek dan LPDP. Melalui film yang telah dirilis pada Agustus 2023, Hindra mengaku ingin mengenal lebih dekat dengan sosok Murdijati Gardjito. Dia juga ingin mencatat pemikiran dari seorang perintis Gastronomi di Indonesia.
“Saya terinspirasi pada ketekunan dan konsistensinya pada apa yang ia (Bu Mur) pilih dan cintai. Tujuannya dari film ini paling tidak ada sejarah Bu Mur yang masuk di radar sejarah Indonesia,” ujar Hindra.
Murdijati Gardjito, Perintis Gastronomi
Film dokumenter garapan Hindra itu mengisahkan tentang Prof. Dr. Ir. Murdijati Gardjito. Perempuan kelahiran tahun 1942 ini merupakan salah satu akademisi, penulis, pemikir perempuan dalam bidang teknologi pangan dan gastronomi yang telah melakukan penelitian tentang makanan kuliner tradisional Indonesia.
Kini diusia senja yang menginjak 81 tahun, Murdijati Gardjito di tengah keterbatasan penglihatan dan menurunnya pendengaran dia tidak pernah menyerah dalam berkarya dan berbagi ilmu. Dalam berbagai aktivitasnya, dia dibantu asistennya.
Dari film ini, Hindra menyajikan sosok perjuangan Murdijati dari awal hingga sampai sekarang. Murdijati semula didorong ayahnya untuk menjadi diplomat itu.
Namun, karena kekhawatiran ayahnya jika menjadi diplomat ia harus meninggalkan keluarga, Murdijati remaja, akhirnya memilih kuliah di Fakultas Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada.
Setelah menyelesaikan studinya, ia sempat bekerja di perusahaan multinasional dan mengurui pangan manufaktur. Namun, setelah itu karena alasan ikatan dinas, ia akhirnya ditarik kembali untuk mengabdi di fakultasnya.
Dari situlah ia mulai banyak menekuni soal makanan khas Indonesia dari berbagai daerah dan masuk di Pusat Kajian Makanan Tradisonal (PKMT). Selain mengajar, Murdijati tekun meneliti dan menulis buku. Buku-buku seri Pusaka Cita Rasa Indonesia disebut sebagai masterpiece karena menyajikan hasil penelitian makanan khas Indonesia selama puluhan yang komprehensif.
Guru besar yang aktif yang telah menerima banyak penghargaan itu, dijuluki sebagai perintis Gastronomi Indonesia--seni menyiapkan makanan lezat.
Murdijati percaya bahwa makanan khas Indonesia merupakan warisan dunia yang sarat makna serta dapat mencerminkan karakter bangsa. Keyakinannya ini dituangkan kedalam salah satu karya bukunya “Pusaka Cita Rasa Indonesia” (2023).
Hindra Setya Rini berharap melalui film dokumenter ini akan semakin banyak kalangan anak muda yang cinta terhadap makanan tradisional yang sangat kaya dimiliki bangsa Indonesia. Dia menyoroti bahwa pada masa tertentu, anak muda trennya adalah modern.
“Jadi ketika ngomong tradisional itu kuno banget. Tapi sekarang ini menggali pangan lokal lagi naik,” ujar Hindra.
Dia bilang sebenarnya film karyanya itu bukan untuk kepentingan festival film. Film dokumenter yang baru pertama kali dia garap itu bisa menyasar pada segmen tertentu, misalnya kalangan atau pegiat yang mengulik makana. Sehingga, ketika ditonton pun banyak yang dibicarakan.
“Untuk (ditonton) pegiat pangan oke saja, dan di putar sekolah bisa. Saya berharap film ini bisa menyebar luas, karena ini kan sejarah, ada sosok tokoh legendaris Bu Mur yang dilihat,” demikian Hindra.
Advertisement