Surga Benih Bening Lobster Sukabumi di Rantai Pasok Dunia

Sukabumi punya peran penting dalam menjadikan Indonesia sebagai global supply chain lobster. Kondisi biografis laut Sukabumi yang dekat dengan Australia, membuat BBL tumbuh subur di lautan Sukabumi.

oleh Fira Syahrin diperbarui 21 Agu 2024, 13:48 WIB
Diterbitkan 21 Agu 2024, 13:48 WIB
Benih bening lobster (BBL) hasil tangkapan nelayan di pantai Ujung Genteng, Kabupaten Sukabumi (Liputan6.com/Fira Syahrin).
Benih bening lobster (BBL) hasil tangkapan nelayan di pantai Ujung Genteng, Kabupaten Sukabumi (Liputan6.com/Fira Syahrin).

Liputan6.com, Sukabumi - Dari data yang dimiliki oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2020, jumlah tangkapan benih bening lobster (BBL) di Sukabumi mencapai 35 persen, yaitu 14.098.038 ekor dari total tangkapan BBL se-Indonesia 40.754.305 ekor.

Keberadaan BBL atau benur ini membawa kesejahteraan bagi nelayan kecil, terutama di saat kesulitan untuk mencari ikan di tengah laut. Data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sukabumi mencatat, hingga pertengahan tahun 2024 penangkapan BBL di Sukabumi terus mengalami peningkatan. Dari Januari mencapai sekitar 900 ribu ekor, hingga Mei mencapai 9 juta ekor.

"Jumlahnya variatif antara 30 ribu sampai 100 ribu ekor, setiap harinya. Tapi kalau lihat potensi Sukabumi sangat luar biasa dibanding dengan daerah lain karena kita diuntungkan kondisi geografis yang dekat dengan Australia," ujar Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, Sri Padmoko, saat dikonfirmasi pada Selasa (20/8/2024).

Dari tiga wilayah penampungan benur di Kabupaten Sukabumi, pantai Ujung Genteng Kecamatan Ciracap menjadi penghasil benur terbanyak. Pihaknya menilai, hal itu terjadi tak hanya dari pemijahan alami pantai Ujung Genteng, namun juga dipengaruhi oleh imigrasi arus laut Australia. 

Secara umum, nelayan bisa melaut kurun waktu 22-25 hari selama 7 bulan dalam setahun. Dengan perkiraan puncak musim banyaknya benur dari bulan April hingga Juli. Dia menyebut, tahun ini puncak musim lebih awal terjadi pada Mei. Setiap kapal penangkap BBL, rata-rata mampu menangkap sebanyak 25 ribu sampai 30 ribu ekor per tahun.

Kelembagaan Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan (KAJISKAN) menetapkan kuota penangkapan BBL di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024 sebanyak 19.625.563 ekor untuk diekspor dari 5 wilayah diantaranya Sukabumi, Cianjur, Pangandaran, Garut, dan Tasik. 

"Sampai dengan Juli 2024 ada sekitar 12 juta ekor, dari 12 juta itu 2.200 nelayan dari Kabupaten Sukabumi. Kalau 2.200 nelayan dari Sukabumi dikalikan 5 ribu ekor maka Sukabumi sudah mengambil kuota 11 juta ekor dari 19 juta yang ada," jelasnya.

Meski menjadi surga bagi para nelayan pencari benur, namun ekologi laut Sukabumi tak cocok untuk melakukan budidaya lobster. Hal ini telah beberapa kali diuji coba oleh DKP Kabupaten Sukabumi bersama nelayan, meskipun mengalami kegagalan berulang kali.

"Tahun 2023 kita melakukan uji coba. Dari seluruh lokasi uji coba, semuanya pakai keramba jaring apung (KJA) tradisional. Baru satu lokasi yang di Simpenan itu pakai teknologi, tapi ternyata bermasalah juga," ungkapnya.

Faktor ekologi tersebut mulai dari ombak laut Sukabumi yang masuk dalam lintas laut selatan yang besar, hingga kanibalisme pada benih lobster dewasa karena kawasan yang jarang memiliki barisan karang yang luas.

"Kondisi alam yang tidak bisa kita rubah yang secara ekologi tidak memungkinkan. Jadi kita penghasil benih tapi tidak sesuai untuk budidaya karena kondisi di wilayah," tuturnya.

 

Benih Bening Lobster Bantu Ciptakan Kesejahteraan Nelayan

Nelayan saat mengangkat jaring untuk menangkap benih bening lobster (BBL) di Pantai Ujung Genteng, Sukabumi (Liputan6.com/Fira Syahrin).
Nelayan saat mengangkat jaring untuk menangkap benih bening lobster (BBL) di Pantai Ujung Genteng, Sukabumi (Liputan6.com/Fira Syahrin).

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) nomor 7 tahun 2024 tentang harga patokan terendah Benih Bening lobster (puerulus) menyebutkan, Harga Patokan Terendah (HPT) BBL di nelayan sebesar Rp8.500,- per ekor. Potensi penangkapan benur oleh kelompok nelayan yang memiliki nomor izin induk berusaha (NIB) berjumlah sekitar 3 ribu orang, DKP Sukabumi menilai bisa menjadi penyuplai BBL dengan kualitas mutu terbaik dan terjaga bagi budidaya luar negeri maupun lokal.

"Permintaan akan benih bening lobster ini sangat tinggi sekali sehingga seperti yang terjadi sekarang ketika sudah resmi pun sudah diizinkan untuk di budidaya di luar negeri, nelayan yang tergabung yang sudah punya kerjasama bisa menjual benihnya ke Badan Layanan Usaha (BLU) Ditjen Perikanan Budidaya KKP," jelas Padmoko.

Dia mengatakan, target pendapatan asli daerah (PAD) Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Sukabumi pada tahun 2020 sebesar Rp700 juta. Di mana, Rp500 juta disumbang dari hasil tangkap BBL sebanyak 14 juta ekor.

Biaya dan perlengkapan melaut yang dinilai lebih terjangkau dibanding menangkap ikan, membuat sebagian besar nelayan mempunyai peluang meningkatkan kesejahteraan perekonomian lewat hasil tangkap benur. 

"Dengan kondisi alam dan sumber daya manusia sudah terlatih untuk menangkap benur ini, Sukabumi bisa menjadi global supply chain untuk pemasok benih lobster untuk budidaya baik dalam negeri maupun di luar negeri," terang dia.

Hal itu dirasakan langsung oleh salah seorang nelayan, Atta (44). Ia mengaku dapat menyekolahkan anak ke tingkat lebih tinggi, dari hasil menjual benur. 

"Yang lebih besar (penghasilan) sih benur, cuman kan kalau ikan hitungannya kilo kalau benur kan per ekor lebih enaknya itu. Mengangkat ekonomi, yang dulunya enggak punya perahu sekarang punya perahu perorangan, karena (pendapatan) benur itu lebih sejahtera dibanding ngambil ikan," ungkap Atta.

Dia menjelaskan, gambaran umum cara melaut nelayan untuk menangkap benur. Yakni menggunakan dua cara, pertama dengan menanam jaring, kedua menggunakan obor yang biasa dipakai di malam hari. 

Kedua cara tersebut, kata Atta, memiliki kesamaan dari kegunaan alat yaitu sama-sama menggunakan metode pencahayaan untuk menarik benur masuk dalam perangkap. 

"Kalau ini jaring tanam cuma pakai batu batre doang, kalau yang obor pakai genset itu dimasukkan ke dalam air jaringnya. Kalau yang tanam cuman pakai senter, buat ngikat benurnya supaya nyamperin ke jaringnya. Kalau nggak pakai (cahaya), ya nggak bakalan nyamperin," bebernya. 

Alasan terjangkaunya modal yang dikeluarkan untuk menangkap benur dengan hasil yang didapat, membuat Atta lebih sering melaut menangkap BBL dibanding menangkap ikan. 

"Kalau lagi ada mah lumayan, dibanding cari ikan mendingan cari benur. Alat tangkapnya ringan, dan bbm juga ringan bisa satu orang, kalau ikan nggak bisa, terus alat tangkapnya mudah dicari, bisa berangkat pagi pulang siang berangkat sore pulang pagi, kalau nangkap ikan kan enggak," imbuhnya.

 

Alat Penangkapan BBL Dinilai Ramah Lingkungan

Benih bening lobster (BBL) hasil tangkapan nelayan di pantai Ujung Genteng, Kabupaten Sukabumi (Liputan6.com/Fira Syahrin).
Benih bening lobster (BBL) hasil tangkapan nelayan di pantai Ujung Genteng, Kabupaten Sukabumi (Liputan6.com/Fira Syahrin).

Namun, untuk merasakan mujur dari hasil menangkap benih bening lobster (BBL) tersebut, para nelayanan harus menempuh beberapa syarat. Mulai dari nomor induk berusaha (NIB), membuat Kartu Pelaku Utama Sektor Kelautan dan Perikanan (Kusuka).

Hingga mendirikan koperasi yang memiliki sertifikat karantina, serta kartu sertifikat asal benih yang diakui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Hal tersebut harus ditempuh oleh para nelayan Sukabumi untuk menjadi penangkap benur legal.

Tak hanya itu, para nelayan pun harus membuat alat tangkap yang ramah lingkungan dan tak memaksa benur ditangkap. Melainkan, datang sendiri ke alat tangkap para nelayan.

"Kalau masalah alat tangkap ramah lingkungan itu kan dulunya pakai ijuk, sekarang pakai waring, pakai jaring, itu pakai lampu dengan sendirinya datang dia (benur) itu, si lampu sama si jaringnya diam jadi si BBL itu nyamperin ke sana, baru angkat," ujar Asep JK, tokoh nelayan setempat. 

Hanya dua jenis benur yang ditangkap nelayan, yaitu lobster pasir (brown rock lobster) dengan nama latin panulirus homarus dan lobster mutiara (ornate spiny lobster) nama latin panulirus ornatus. 

"Sisanya itu ditabur lagi ke laut sama nelayan cuma dua jenis benur yang diambil. Jadi gak mungkin punah, kedalamannya juga nggak mengganggu karang, (mencari) di tengah-tengah," jelasnya. 

"Itu dengan adanya BBL sangat signifikan membantu sekali bagi nelayan. Karena satu bahan bakarnya irit terus alat tangkapnya hemat lingkungan, satu kali bikin aja bisa dipakai tahunan, beda dengan jaring ikan," sambung dia.

 

Proses Karantina untuk Menjaga Mutu hingga Pemasaran BBL

Proses sortir BBL di Koperasi/KUB di Ujung Genteng, Sukabumi sebelum dikirim ke BLU (Liputan6.com/Fira Syahrin).
Proses sortir BBL di Koperasi/KUB di Ujung Genteng, Sukabumi sebelum dikirim ke BLU (Liputan6.com/Fira Syahrin).

Sebelum dikirim ke wilayah pembudidaya di dalam maupun luar negeri, BBL tangkapan nelayan ini harus melewati proses karantina di tempat penampungan Kelompok Usaha Bersama (KUB) atau koperasi yang terdaftar di DKP Kabupaten Sukabumi.  

Pada koperasi terdaftar tersebut, benur kemudian disortir untuk menentukan kelayakan mutu. Dengan cara karantina mulai dari 10 menit hingga beberapa jam, untuk melihat perubahan warna pada BBL. Sifat alamiah benur yang sensitif terhadap suhu lingkungan, membuat perawatannya mulai dari penangkapan hingga pengiriman harus ekstra hati-hati.

"Karantina tergantung kondisi barang. Kalau yang seger bening nggak lemes, kalau dia sudah kuning biasanya dia molting, kalau molting otomatis bisa mati ketusuk temannya. Dari situ kita kirimlah ke BLU karena saat ini kan kita legal," ujar Deni Triana Putra, selaku Kepala Koperasi Putra Lautan Sejahtera.

Koperasi yang telah mendapatkan penetapan kuota dari DKP provinsi Jabar, kemudian bisa mengajukan surat keterangan asal BBL dan kerjasama dengan Badan Layanan Umum Perikanan Budidaya (BLU) Ditjen Perikanan Budidaya KKP. 

Dia menuturkan, kendala yang dialami selama menjadi pemasok benur yaitu proses yang harus ditempuh selama penyortiran di BLU. Benur yang terkumpul dari nelayan ke pihak koperasi, dengan proses sortir di BLU dinilai pihaknya membutuhkan waktu lama. 

Sedangkan mereka berpacu dengan waktu daya tahan benur selama proses karantina yang hanya bisa bertahan hingga 20 jam, untuk menghindari perubahan warna yang membuat kualitas daya jualnya menurun.

"Dari koperasi ada sortir dulu terus karantina dulu. Otomatis kita setelah karantina pasti malam. Tapi kita dituntut waktu lebih cepat sama BLU. Ujung-ujungnya barang kita jadi terbengkalai di sana," ungkapnya.

Pihaknya tak memungkiri, adanya peraturan baru mengenai penangkapan benur semakin mempermudah proses pemasaran. Namun disisi lain, pihaknya berharap waktu selama tahapan pengiriman BBL ini bisa disesuaikan dengan harga yang ditetapkan pemerintah.

"Harapan saya harganya lebih dinaikin lagi. Soalnya kita di bawah nggak pakai modal kecil, tapi modalnya cukup besar," tuturnya.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya