Investor Cermati Kenaikan Imbal Hasil Obligasi, Wall Street Beragam

Pada penutupan wall street, Selasa, 16 Februari 2021, indeks saham acuan S&P 500 bergerak volatile hingga tergelincir dari level tertinggi

oleh Agustina Melani diperbarui 17 Feb 2021, 06:09 WIB
Diterbitkan 17 Feb 2021, 06:08 WIB
Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Steven Kaplan (tengah) saat bekerja dengan sesama pialang di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok karena investor menunggu langkah agresif pemerintah AS atas kejatuhan ekonomi akibat virus corona COVID-19. (AP Photo/Richard Drew)

Liputan6.com, New York - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street beragam pada perdagangan saham Selasa waktu setempat. Hal ini seiring imbal hasil obligasi menguat turut membayangi investor.

Pada penutupan perdagangan wall street, Selasa, 16 Februari 2021,  indeks saham acuan S&P 500 bergerak volatile hingga tergelincir dari level tertinggi dengan ditutup turun 0,1 persen ke posisi 3.932,59. Indeks saham Nasdaq turun 0,3 persen ke posisi 14.047,50. Indeks saham Dow Jones menguat 64,35 poin atau 0,2 persen ke posisi 31.522,75.

Sementara itu, imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun naik sembilan basis poin menjadi 1,3 persen, level ini belum pernah terlihat sejak Februari 2020. Tingkat imbal hasil obligasi bertenor 30 tahun juga meningkat.

Banyak pelaku pasar di wall street percaya kenaikan tingkat imbal hasil obligasi dapat membuat pasar saham kurang menaik.  Hal itu mengancam sektor teknologi yang mendapatkan manfaat dari tingkat bunga rendah.

"Imbal hasil tinggi baik bank, tetapi menekan obligasi di sektor REITS, utilitas dan bahan pokok. Pasar dapat mencerna tingkat imbal hasil yang meningkat, terutama ketika mereka naik karena alasan yang tepat, tetapi tidak ketika mereka naik secara linier,” ujar Chief Market Strategist National Securities, Art Hogan, seperti dilansir dari CNBC, Rabu (17/2/2021).

Sebelumnya, imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun yang digunakan sebagai barometer untuk hipotek, pinjaman pelajar dan tingkat persentase tahunan kartu kredit sekitar 0,6 persen pada 2020.

Banyak yang khawatir kenaikan suku bunga dapat menghambat pemulihan ekonomi yang disebabkan resesi karena perusahaan dan konsumen mungkin merasa semakin mahal untuk meminjam.

Selain itu, kenaikan tingkat bunga dapat membuat pertanyaan apakah banjir stimulus fiskal dapat memicu kenaikan harga setelah inflasi stagnan.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Sektor Saham Energi Menguat

Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Spesialis Michael Mara (kiri) dan Stephen Naughton berunding saat bekerja di New York Stock Exchange, AS, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok pada akhir perdagangan Rabu (11/3/2020) sore waktu setempat setelah WHO menyebut virus corona COVID-19 sebagai pandemi. (AP Photo/Richard Drew)

Di wall street, sektor saham energi mencatatkan kinerja baik dengan penguatan 2,3 persen. Hal ini setelah reli harga minyak. Harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) di atas USD 60 per barel untuk pertama kalinya dalam setahun.

Sepanjang Februari 2021, kinerja wall street cukup solid dengan harapan program vaksin COVID-19, pembukaan kembali aktivitas ekonomi dan harapan stimulus fiskal. Indeks saham Dow Jones telah naik 5,1 persen pada Februari 2021. Sementara itu, indeks saham S&P 500 dan Nasdaq masing-masing naik 5,9 persen dan 7,5 persen.

Indeks volatilitas CBOE menembus posisi di bawah 20 tepatnya 19,97 pada Jumat pekan lalu. Namun, indeks yang mengukur kekhawatiran investor telah naik  satu poin ke posisi 21 pada Selasa pagi.

"Kami yakin posisi di bawah 20 akan berdampak positif bagi pasar. Ini akan menjadi tanda ketakutan sistemik yang cengkeram pasar pada 2020 akhirnya memudar,” ujar Pendiri FundStrat Tom Lee.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya