BEI Ingatkan Potensi Delisting Saham GIAA

BEI mengatakan, potensi delisting saham GIAA seiring telah disuspensi selama enam bulan

oleh Agustina Melani diperbarui 21 Des 2021, 12:15 WIB
Diterbitkan 21 Des 2021, 12:15 WIB
Garuda Indonesia kembali meluncurkan pesawat bermasker bermotif batik Tambal khas dari Yogyakarta
Garuda Indonesia kembali meluncurkan pesawat bermasker bermotif batik Tambal khas dari Yogyakarta (dok: Humas)

Liputan6.com, Jakarta - Manajemen Bursa Efek Indonesia (BEI) mengingatkan potensi delisting PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) yang tercatat di papan utama.

BEI mengatakan, potensi delisting saham GIAA seiring telah disuspensi selama enam bulan dan masa suspensi akan mencapai 24 bulan pada 18 Juni 2023. Selain itu, potensi delisting itu merujuk pada pengumuman bursa Nomor Peng-SPT-00011/BEI.PP2/06-2021 pada 18 Juni 2021 perihal penghentian sementara perdagangan efek PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA).

Selain itu, peraturan bursa Nomor I-I tentang penghapusan pencatatan atau delisting dan pencatatan kembali atau relisting saham di bursa, bursa dapat menghapus saham perusahaan tercatat apabla:

a. Ketentuan III.3.1.1, Mengalami kondisi, atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha Perusahaan Tercatat, baik secara finansial atau secara hukum, atau terhadap kelangsungan status Perusahaan Tercatat sebagai Perusahaan Terbuka, dan Perusahaan Tercatat tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.

 b. Ketentuan III.3.1.2, Saham Perusahaan Tercatat yang akibat suspensi di Pasar Reguler dan Pasar Tunai, hanya diperdagangkan di Pasar Negosiasi sekurang-kurangnya selama 24 bulan terakhir.

Susunan pemegang saham berdasarkan laporan bulanan registrasi pemegang efek Garuda Indonesia per 30 November 2021 antara lain Negara Republik Indonesia sebesar 60,54 persen, PT Trans Airways sebesar 28,27 persen dan masyarakat sebesar 11,19 persen.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Jurus Penyelesaian Utang Garuda Indonesia

Garuda Indonesia Tutup 97 Rute Penerbangan
Pesawat Garuda terparkir di landasan pacu Terminal 3, Bandara Soekarno Hatta, Banten, Rabu (17/11/2021). Maskapai Garuda Indonesia akan menutup 97 rute penerbangannya secara bertahap hingga 2022 mendatang bersamaan dengan proses restrukturisasi yang tengah dilakukan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) mencatat utang USD 9,8 miliar atau setara Rp 141,06 triliun (asumsi kurs Rp 14.393 per dolar AS). Sementara itu, total kreditur kurang lebih 800 kreditur.

PT Garuda Indonesia Tbk menyatakan, jumlah kreditur yang banyak sehingga memerlukan waktu sangat lama jika negosiasi dilakukan di luar pengadilan.

Direktur Keuangan PT Garuda Indonesia Tbk, Prasetio menuturkan, total pendapatan turun hingga 70 persen pada pandemi COVID-19 dibandingkan 2019. Selain itu, perseroan juga melakukan pesawat grounded karena grounding notice, perawatan dan setop operasi untuk mengurangi biaya operasional.

"Aircraft sesuai kebutuhan permintaan, kita tak operasikan sementara," kata dia saat paparan publik, Senin 20 Desember 2021.

Prasetio mengatakan, penyelesaian utang perseroan tergantung dari rencana bisnis.Perseroan menyatakan beberapa level utang dapat ditanggung dan diselesaikan dalam proses PKPU selama 45 hari, kemudan berharap proposal perdamaian dapat tercapat secepatnya.

Selain itu, perseroan juga menerapkan strategi untuk mencetak laba. Salah satu cara dilakukan dengan memilih rute-rute yang menguntungkan. Kemudian memakai tipe pesawat yang sederhana. PT Garuda Indonesia Tbk optimistis ada pemulihan jumlah penumpang pada 2022 sehingga dukung kinerja.

"New business yaitu profitable simpel dan digitalisasi, full service. Traffic recovery akan mulai tumbuh tahun depan 40 persen, 2023 meningkat. 2024 pandemi akan berlalu, traffic recovery kembali normal, kita mampu melakukan running company dengan new business plan," ujar dia.

Ia menambahkan, perseroan juga mencatat ekuitas negatif USD 3 miliar. Hal ini seiring penurunan pendapatan lebih besar jika dibandingkan penurunan biaya. Prasetio mengatakan, dalam kontrak dengan lessor juga ada klausal hell dan high water. Perjanjian sewa pesawat dan pembelian pesawat yang lebih mengamankan posisi lessor dan manufacturer.

"Kita mencatat kewajiban posisi keuangan kita hingga sampai jatuh tempo atas sewa pesawat," tutur dia.

Selain itu, perseroan juga menyampaikan kontribusi margin membaik seiring pendapatan dari penumpang membaik pada Oktober 2021 dibandingkan 2019. Namun, hal itu tidak dapat menutupi biaya tetap.

"Kontribusi margin sampai dengan kuartal III kami terus berkonsentrasi di kontribusi margin 1. Kontribusi margin kuartal IV akan membaik, kita harapkan cukup biaya operating dari aircraft yang dioperasikan," kata dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya