The Fed Bakal Agresif, Pasar Modal RI Diprediksi Masih Menarik

Pada pekan lalu, bank sentral Amerika Serikat atau the Fed memberikan sinyal bakal lebih agresif menaikkan suku bunga.

oleh Agustina Melani diperbarui 25 Apr 2022, 04:00 WIB
Diterbitkan 25 Apr 2022, 04:00 WIB
Syariah, Dolar AS, Saham, Obligasi? Optimalkan Potensi Tumbuh Dana Anda.
(Foto:Ilustrasi obligasi)

Liputan6.com, Jakarta - Rencana pengetatan kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) akan memberikan tekanan di pasar obligasi dan saham.

Pada pekan lalu, bank sentral Amerika Serikat atau the Fed memberikan sinyal bakal lebih agresif menaikkan suku bunga. Ketua The Fed Jerome Powell beri sinyal bank sentral AS akan lebih agresif untuk imbangi inflasi yang cetak rekor. Diperkirakan kenaikan suku bunga 50 basis poin pada pertemuan the Fed Mei 2022.

Langkah the Fed ini juga sebagai respons atas pengetatan lapangan kerja di AS dan meredakan inflasi. Pasar sudah respons terutama di pasar obligasi. Imbal hasil hasil obligasi tenor 5 tahun dan 10 tahun berbalik. Imbal hasil obligasi AS 10 tahun sentuh posisi 2,975 dan obligasi bertenor 5 tahun sentuh 3,02 persen.

Lalu apa dampaknya pengetatan kebijakan moneter the Fed? Pasar obligasi global diprediksi tertekan dengan rencana the Fed mengetatkan kebijakan moneternya dan dalam jangka pendek. Hal tersebut juga pengaruhi pasar saham.

Sementara itu, musim laba belum menunjukkan hasil baik dan imbal hasil obligasi meningkat. Hal ini membuat kinerja imbal hasil saham kurang menarik seperti pada saat ini.

"Kami terus melihat dalam jangka panjang, pasar dengan pertumbuhan tinggi akan mampu memberikan pengembalian yang menarik termasuk di Indonesia,” demikian mengutip dari riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, ditulis Senin (24/4/2022).

Dengan kondisi tersebut yang menjadi pertanyaan apakah perlu menambah obligasi? Ashmore menilai hal tersebut tergantung pada portofolio yang terlihat. Kinerja obligasi kurang baik pada 2022, dan banyak valuasi obligasi yang menarik saat ini. “Kami pikir ini bisa menjadi diversifikasi yang bagus. Pada saat yang sama, ini menjadi diversifikasi yang bagus,”

Ashmore juga melihat saham akan memiliki lebih banyak katalis dalam 12 bulan ke depan dan potensi kinerja lebih premium ketimbang obligasi.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Potensi Inflasi Tinggi Dongkrak Suku Bunga

(Foto: Ilustrasi investasi saham. Dok Unsplash/Austin Distel)
Ilustrasi investasi

Sebelumnya, di tengah potensi kenaikan inflasi pada 2022, instrumen saham dinilai menjadi relatif menarik terhadap jenis aset lainnya.

Mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, ditulis Senin, 18 April 2022, probilitas kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS) tetap tinggi dan mempengaruhi seluruh pandangan kebijakan global. Hal ini seiring pasar AS mencatat rekor lowongan kerja yang tinggi dengan pembukaan pekerjaan mencapai 11,3 juta hingga Januari 2022.

Di sisi lain, klaim pengangguran terendah dalam 50 tahun dan penurunan tingkat pengangguran menyiratkan pasar tenaga kerja yang panas karena berbagai alasan. Namun, kenaikan upah tidak dapat dihindari.

"Kita mungkin akan melihat tingkat inflasi tinggi lebih permanen dari pada awalnya,” tulis Ashmore.

Oleh karena itu, kemungkinan kenaikan suku bunga di AS tetap tinggi dan mempengaruhi keseluruhan pandangan kebijakan global. “Kami melihat pandangan ini adalah tidak berubah dari sebulan yang lalu,” tulis Ashmore.

Selama siklus inflasi, Ashmore Asset Management Indonesia melihat aset yang ikuti kenaikan inflasi akan lebih baik. Aset seperti properti dan saham secara teori akan meneruskan inflasi menajdi keuntungan dan mendapatkan manfaat.

Ini telah berlaku dengan pasar Indonesia. Hingga Kamis, 14 April 2022, laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 9,9 persen year to date (ytd).

 

 

 

Selanjutnya

Ilustrasi investasi (Foto: Unsplash/Mayofi)
Ilustrasi investasi

IHSG mencapai rekor tertinggi baru didorong dengan penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO) GoTo yang berdampak besar terhadap IHSG sehingga mendorong IHSG tetap solid dan ungguli indeks saham global.

"Risiko utama bagi Indonesia selama inflasi tinggi adalah memastikan kelas bawah dan menengah-bawah tidak dipengaruhi oleh harga produk yang lebih tinggi,” tulis Ashmore.

Pemerintah telah mengumumkan akan memberikan bantuan langsung tunai kepada 23,25 juta penduduk dengan dana Rp 300 ribu per orang dan memastikan harga minyak goreng tinggi tidak akan meningkatkan biaya hidup.

"Pemerintah sejauh ini menandakan kebutuhan pembiayaan yang lebih rendah pada 2023, sebagian besar karena indikator ekonomi makro lebih kuat didorong pendapatan dari harga komoditas yang lebih tinggi,”

Ashmore menilai, hal tersebut juga menempatkan investasi saham menjadi relatif menarik terhadap jenis aset lainnya. Tidak hanya pertumbuhan laba mencerminkan inflasi, tetapi kinerja saham akan menawarkan pertumbuhan yang wajar meski indeks sentuh rekor tertinggi.

Investasi Saham Jadi Pilihan

Ilustrasi investasi, investasi saham (Photo by Tech Daily on Unsplash)
Ilustrasi investasi

Sebelumnya, kenaikan harga Pertamax dan minyak goreng akan memicu lonjakan inflasi pada 2022. Di tengah potensi lonjakan inflasi tersebut, investasi saham masih menjadi pilihan.

Mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, ditulis Minggu (3/4/2022), inflasi Indonesia pada Maret 2022 tercatat 2,6 persen yoy sejalan dengan harapan pasar dan di bawah perkiraan jarak Bank Indonesia (BI) 3 plus minus satu persen. Saat ini BI perkirakan, inflasi berada di kisaran 2-4 persen apda 2022.

Namun, memasuki awal April ada sejumlah perubahan yang akan berdampak terhadap inflasi. Pada 1 April 2022 ada sejumlah kenaikan antara lain harga Pertamax, minyak goreng dan PPN menjadi 11 persen.

Dengan kenaikan sejumlah harga, ada potensi lonjakan inflasi yang tidak dapat dihindari. Diperkirakan dampaknya terasa pada kuartal II 2022.

”Ketika harga Pertamax naik, ada kemungkinan ini akan diumpankan ke yang lain karena pengaruhi transportasi dan logistik,” demikian mengutip riset tersebut.

 Dalam riset menyebutkan, jika BI ingin menyesuaikan suku bunga acuan, kemungkinan terjadi dalam dua bulan. Akan tetapi, Ashmore melihat BI akan pertahankan suku bunga acuan.

“Namun, seperti yang kami sebutkan sebelumnya, indikator makro ekonomi seperti neraca dagang yang seimbang terus terlihat sangat solid sehingga BI mungkin pertahankan suku bunga dan bertahan pada pelaksanaan kebijakan pengetatan,” kata dia.

Dengan melihat kondisi itu, bagaimana dengan perubahan alokasi aset?

Ashmore tetap pertahankan rekomendasi saham.”Selama siklus inflasi tinggi, yang terbaik adalah tetap bersama aset lindungi nilai inflasi yang tersedia melalui kelas aset saham lebih dari aset obligasi. Ini berlaku pada 2022 terutama kuartal II 2022,”

Ashmore melihat meski IHSG sentuh rekor tertinggi baru, pihaknya masih melihat penurunan premi risiko di Indonesia yang dapat dongkrak valuasi.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya