Liputan6.com, Jakarta - Pasar obligasi tanah air dinilai masih lesu akibat kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (the Fed).
Meski secara tahun ke tahun (year on year/yoy) sudah mulai tumbuh positif, tetapi Chief Economist Citi Indonesia, Helmi Arman mengatakan pertumbuhannya masih bertahap atau gradual.
Baca Juga
"Kita tahu bahwa selama tahun ini seperti tahun sebelumnya, di mana imbal hasil surat berharga negara (SBN) bergejolak dinamis karena terjadi capital outflow dari investor asing. Ini berpengaruh pada pasar obligasi korporasi Indonesia,” kata dia dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (11/8/2022).
Advertisement
Di sisi lain, Helmi melihat situasi ini sebagai kesempatan bagi perbankan untuk menyasar kredit korporasi (corporation loan) lebih banyak. Sebab, saat corporate bond melemah, biasanya kredit korporasi perbankan tumbuh lebih cepat.
Ke depannya, dengan asumsi sudah ada konsensus sejauh mana The Fed akan menaikkan suku bunga, investor asing diperkirakan akan kembali masuk ke pasar obligasi negara bekembang.
"Jadi walaupun di akhir tahun ini atau awal tahun depan Bank Indonesia (BEI) masih menaikkan suku bunga, kalau sudah dibarengi dengan kembalinya investor asing ke obligasi di negara emerging market, mestinga pasar SBN kita tidak terlalu bergejolak,” ujar dia.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Fundamental Ekonomi Indonesia Topang Pasar Obligasi Domestik
Sebelumnya, obligasi diprediksi hadapi lebih banyak tantangan di tengah kenaikan suku bunga dan inflasi. Hal ini dinilai sesuai dengan prinsip suku bunga dan harga obligasi berbanding terbalik.
Hal itu disampaikan Senior Portfolio Manager, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Syuhada Arief dalam catatannya dikutip Minggu (31/7/2022).
Ia menuturkan, fundamental makro ekonomi Indonesia yang lebih baik dan siap hadapi pengetatan kebijakan moneter global diharapkan dapat memberikan dukungan bagi pergerakan pasar obligasi domestik. Adapun sejumlah faktor positif yang mendukung antara lain:
-Kebijakan pemerintah untuk menjaga beberapa harga barang membuat inflasi tahun 2022 – walaupun meningkat –tetap terkendali.
- Basis investor yang lebih terdiversifikasi – naiknya partisipasi investor domestik dan penurunan kepemilikan investor asing (saat ini persentase kepemilikan asing di bawah 16 persen) –berkontribusi pada stabilitas pergerakan pasar obligasi domestik.
Advertisement
Sentimen
-Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan terjadi surplus anggaran pada Mei sebesar Rp132,2 triliun atau setara dengan 0,74 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
-Kemenkeu menurunkan target pembiayaan melalui lelang sebesar Rp147 triliun, di mana ini berarti dalam setiap lelang target penerbitan turun dari Rp20 triliun menjadi Rp5 triliun.
"Kita melihat kebijakan Bank Indonesia dalam melakukan pengetatan moneter terutama suku bunga Bank Indonesia akan berperan penting terhadap sentimen investor global terhadap pasar obligasi Indonesia," kata dia.
Ia memperkirakan, dalam jangka menengah, imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun kembali ke kisaran 6,5 persen-7 persen.
Terkait kebijakan dan kenaikan suku bunga bank sentral, serta kenaikan imbal hasil US treasury jangka menengah yang sudah mendekati puncaknya, Syuhada menilai, saat ini Fed Funds Rate (FFR) sampai akhir tahun seperti yang dikomunikasikan oleh pejabat bank sentral sendiri sudah sesuai dengan harapan pasar di kisaran 3,4 persen.
Inflasi AS
"Namun data terkini yang ada setidaknya menunjukkan perekonomian saat ini masih relatif kuat. Beberapa leading indicator juga belum menunjukkan sinyal resesi. Probabilitas resesi dari Fed NY masih di bawah level 30 persen yang merupakan ‘red flag’ atau sinyal kemungkinan potensi resesi. Begitu pula dengan data Conference Board Leading Economic Index yang sampai saat ini masih dalam zona pertumbuhan," ujar dia.
Lalu bagaimana dengan inflasi Amerika Serikat ke depan?
Syuhada menuturkan, inflasi akan menjadi faktor penting yang menentukan jalur pengetatan kebijakan moneter The Fed ke depannya. “Sejauh ini kami memperkirakan inflasi akan mereda pada 2023 dan sebelum mencapai kondisi tersebut pasar akan terus diwarnai oleh kekhawatiran terkait inflasi yang persisten dan perlambatan ekonomi,” tutur dia.
Ia mengatakan, tampaknya akan sulit bagi bank sentral untuk menjadi lebih akomodatif sampai ada sinyal tren penurunan harga komoditas. “Mudah-mudahan kebijakan yang diluncurkan oleh pemerintah dan bank sentral dapat menghindarkan ekonomi dari resesi yang berkepanjangan,” kata dia.
Advertisement