Liputan6.com, Jakarta - Senior Economist Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully A. Wisnubroto mengatakan, pasar obligasi Indonesia juga sedang diuji ketangguhannya. Ia menilai, obligasi lebih dipengaruhi oleh inflasi dan suku bunga.
"Karena ketika suku bunga naik, itu biasanya kuponnya itu akan tergerus. Jadi kalau ekspektasi ke depan mendekati peak dari kenaikan policy rate, biasanya memang dampaknya sangat baik untuk obligasi," kata Rully dalam keterangan resminya, Senin (16/1/2022).
Baca Juga
Ia menyebutkan, imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun atau yield government bond 10-years pada pekan lalu tercatat sekitar 6,7 persen, yang sejalan dengan penurunan yield di berbagai negara di dunia.
Advertisement
"Sebagai catatan, yield 10-years US treasury yang turun ke sekitar 3,4 persen-3,5 persen. Pada dua pekan pertama 2023, pasar obligasi Indonesia mengalami capital inflow yang merupakan lanjutan tren sejak November 2022," kata dia.
Sejak periode tersebut, total capital inflow atau aliran dana ke pasar obligasi mencapai sekitar Rp 55 triliun.
Sementara itu, Rully memperkirakan pasar obligasi ke depan akan sedikit melambat dibandingkan dengan kondisi akhir tahun lalu karena ekspektasi inflasi dan suku bunga dunia relatif lebih landai.
“Intinya adalah ke depan ekspektasi arah suku bunga, terutama dari Fed Fund Rate itu memiliki pengaruh besar terhadap market di seluruh dunia, equity, bond market, dan juga nilai tukar," kata dia.
Menakar Prospek Obligasi 2023 di Tengah Sentimen Inflasi dan Suku Bunga
Sebelumnya, sentimen kenaikan suku bunga menjadi momok pasar, setidaknya hingga awal tahun depan. Pekan lalu, Bank Indonesia (BI) kembali naikkan suku bunga acuan menjadi 5,5 persen.
Kebijakan ini tampaknya telah diantisipasi pasar, sehingga dampaknya pada indeks harga saham gabungan (IHSG) minim.
“Jadi dampaknya ke IHSG tidak akan begitu berarti. Jikapun ada, ini lebih ke sentimen positif utamanya untuk sektor perbankan dengan pertimbangan memperbesar NIM (net interest margin) yang saat ini berkomposisi deposit rate 4,5 persen dan lending rate 6 persen,” kata Head of Research NH Korindo Sekuritas Liza C. Suryanata kepada Liputan6.com, Senin (26/12/2022).
Namun, anjut Liza, yang jadi perhatian bank ke depannya adalah bank harus tetap mampu menjaga pertumbuhan volume kredit yang disebut mulai kempis pada November lalu ke 11,2 persen yoy, dibanding 12 persen yoy pada Oktober 2022. Bersamaan dengan itu, pertumbuhan deposit juga turun di angka 8,8 persen yoy pada November dari 9,1 persen yoy pada Oktober 2022.
“Sementara pada bonds, kenaikan suku bunga acuan ini berguna untuk menjaga spread yield pada level yang kompetitif, dan pada saat yang sama memastikan recovery dan ketahanan ekonomi yang sehat,” imbuh Liza.
Di sisi lain, meski terjadi peningkatan risiko ketidakpastian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tumbuh di atas 5 persen selama tiga triwulan berturut-turut pada tahun ini.
Advertisement
Dibandingkan Negara Lain
Direktur PT BNP Paribas AM, Djumala Sutedja mengakui, resiliensi ini juga terlihat nyata dari kinerja pasar saham dan obligasi Indonesia maupun nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS yang lebih baik dibandingkan dengan negara berkembang lainnya.
Secara agregat Djumala melihat bahwa 2023 adalah tahun yang lebih baik untuk pasar obligasi. Inflasi diharapkan sudah mulai mengalami tren penurunan dan kebijakan suku bunga di banyak negara sudah mencapai puncaknya.
Namun Djumala masih melihat beberapa tantangan terutama pada kuartal awal di tahun depan akibat ketidakpastian akan kapan kenaikan suku bunga mencapai puncaknya.
“Jika kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS) yang kian agresif ini mengakibatkan resesi di AS, investor perlu mengantisipasi gejolak pasar, baik di pasar obligasi maupun Rupiah,” kata dia.
Namun reaksi pasar obligasi Indonesia diperkirakan akan lebih mild dibandingkan dengan siklus sebelumnya berkat dukungan kondisi eksternal fundamental yang relatif lebih baik.
“Kalau kita bandingkan kinerja pasar obligasi dengan siklus sebelumnya seperti tahun 2018, ketika suku bunga global juga sedang naik, depresiasi nilai tukar Rupiah mencapai lebih dari 10 persen, sementara yield obligasi Indonesia pada saat itu mencapai hampir 9 persen,” imbuh Djumala.
BEI Optimistis Penerbitan Obligasi Korporasi Ramai pada 2023
Sebelumnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) memperkirakan penerbitan surat utang atau obligasi pada 2023 masih ramai.
Ekonom BEI, Adhel Rusd mengatakan, penerbitan obligasi sejalan dengan kebutuhan perusahaan terbuka atau emiten untuk menghimpun dana selain dari aksi penambahan modal dengan atau tanpa hak memesan efek terlebih dahulu. Per September 2022, BEI mencatat 100 perusahaan telah menerbitkan obligasi. Sementara yang ada di pipeline penerbitan obligasi per September 2022 tercatat sebanyak 15 emiten yang antre.
"Dari angka ini bisa kita simpulkan appetite-nya masih ada karena penerbitan obligasi korporasi menjadi salah satu sumber financing dari perusahaan tercatat. Dilihat dari angkanya saat ini masih menarik, karena bagaimanapun itu akan dibutuhkan perusahana untuk mengebangkan bisnisnya,” kata Adhel dalam edukasi wartawan pasar modal, Rabu (21/12/2022).
Secara keseluruhan, kinerja pasar modal tahun depan juga diperkirakan relatif terjaga. Hal itu merujuk pada data ekonomi terkini, di mana Indonesia masih terpantau cukup resilien dibandingkan beberapa negara lain.
Di pasar modal,indeks juga relatif bagus dibandingkan dengan bursa lain. Kapitalisasi pasar mendekati Rp 10 ribu triliun.
Sejalan dengan itu, investor ritel juga meningkat signifikan di tengah krisis. Dari sisi suplai, jumlah perusahaan tercatat atau emiten baru juga terus bertambah. Hingga akhir tahun ini, total emiten baru sudah mencapai 59 perusahaan, lebih tinggi dari target BEI 55 emiten.
Advertisement