Negosiasi Plafon Utang Amerika Serikat Bayangi Pasar

Pada pekan ini, sejumlah rilis data ekonomi baik global bayangi IHSG. Adapun negosiasi plafon utang Amerika Serikat (AS) masih menjadi fokus pasar.

oleh Agustina Melani diperbarui 28 Mei 2023, 14:50 WIB
Diterbitkan 21 Mei 2023, 08:07 WIB
IHSG Ditutup Melemah 0,74 Persen ke Level 6.812
Sektor saham energi dan bahan baku menekan laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada 15-19 Mei 2023. IHSG melemah 0,11 persen ke posisi 6.701. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Sektor saham energi dan bahan baku menekan laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada 15-19 Mei 2023. IHSG melemah 0,11 persen ke posisi 6.701.

Sektor saham energi dan bahan baku berkontribusi masing-masing minus 6,32 persen dan 4,97 persen. Pada pekan ini, sejumlah data ekonomi bayangi pasar. Inflasi Kanada dan Jepang lebih tinggi meski secara umum harapan perlambatan ekonomi. Sementara itu, Indonesia mencatat surplus perdagangan turun meski sedikit lebih tinggi dari yang diharapkan.

Baik ekspor dan impor turun lebih rendah dari yang diharapkan dengan ekspor merosot 29,4 persen year on year (YoY) dan impor susut 22,32 persen YoY.Demikian dikutip dari riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, ditulis Minggu (21/5/2023).

Bagaimana Situasi Plafon Utang Amerika Serikat (AS)?

Pada Kamis, 18 Mei 2023, ketua DPR Kevin McCarthy melihat kesepakatan negosiasi utang bakal tercapai akhir pekan ini. Potensi gagal bayar utang di AS dapat membawa konsekuensi bencana ke AS dan pasar global.

Sementara itu, Financial Services Chairman Patrick McHenry menurunkan harapan kesepakatan dapat diraih cepat. Ia menuturkan, kedua belah pihak tidak mendekati harapan untuk sepakat. Dengan demikian, meski AS mendekati batas waktu untuk mencapai kesepakatan utang, masih ada ketidakpastian. Pelaku pasar telah memperingatkan tentang lonjakan biaya pinjaman dan pukulan ke saham akibat gagal bayar utang AS dengan guncangan ekonomi global seperti 2008.

Adapun imbal hasil surat berharga bertenor 10 tahun berada 3,6268 persen atau 151 basis poin, lebih tinggi dari rata-rata imbal hasil dalam lima tahun sebesar 2,1195 persen.

“Secara keseluruhan, kami yakin the Fed akan berkurang untuk menaikkan suku bunga dan bahkan memangkas suku bunga lebih awal dari yang diharapkan,” tulis Ashmore.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Kesalahan Kebijakan Suku Bunga The Fed Jadi Peluang Investor Obligasi

Ilustrasi Obligasi
(Foto: Liputan6.com)

Sebelumnya, Bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed disebut kerap melakukan kesalahan dalam menentukan tindakan terkait suku bunga, baik saat menaikkan maupun menurunkan.

Head of Fixed Income Ashmore Asset Management Indonesia, Anil Kumar, CFA, MBA mengatakan, biasanya The Fed terlambat menaikkan suku bunga yang menyebabkan inflasi tinggi. Kemudian terlambat turunkan suku bunga sehingga pertumbuhan ekonomi melambat. Namun, kondisi tersebut rupanya menguntungkan untuk investor obligasi.

"Ketika The Fed mengatakan inflasi terlalu rendah tapi tidak mau menaikkan suku bunga, saat itulah kita melakukan unwinding posisi dari obligasi kita, terutama yang memiliki tingkat kupon tetap ke dalam instrumen yang memberikan kupon floating," kata Anil dalam Money Buzz edisi The Best Time for Bonds is Now, Selasa (16/5/2023).

Di sisi lain, ketika The Fed mengatakan belum saatnya menurunkan suku bunga karena inflasi masih tinggi, Anil menilai momen tersebut sebenarnya merupakan sinyal bahwa tren suku bunga akan cenderung turun setelahnya.

"Selama argumentasi yang diberikan The Fed yakni menahan suku bunga tetap tinggi hingga inflasi turun ke target 2 persen, maka selama itu investor obligasi bisa lumayan tenang karena inflasi ada dalam kontrol Bank Sentral," imbuh Anil.

 


Inflasi Berpotensi Menguat

Wall Street
Pedagang bekerja di New York Stock Exchange, New York, 10 Agustus 2022. (AP Photo/Seth Wenig, file)

Diakui, inflasi AS saat ini telah melebar dari semula inflasi produk menjalar ke inflasi jasa. Anil mengatakan, hal itu disebabkan pembukaan kembali ekonomi usia pandemi Covid-19 di beberapa negara. Kondisi tersebut mendongkrak adanya mobilitas termasuk untuk liburan, sehingga harga jasa ikut melambung.

Bersamaan dengan itu, Anil memperkirakan inflasi kali ini akan berlangsung lebih lama dibanding dekade sebelumnya lantaran terjadi pula deglobalisasi. Deglobalisasi sendiri disebut telah terjadi sejak 2018, saat terjadi perang dagang antara AS-China.

"Ini kondisi yang tidak bisa dihindari. Tapi inflasi memiliki cycle, itu juga akan kejadian. Jika inflasi pada tahun lalu tinggi, maka akan diikuti inflasi lumayan rendah sebelum The Fed melakukan pemotongan suku bunga. Dan inflasi akan sedikit naik lagi di akhir 2024 hingga awal 2025," ujar Anil.

 


Pasar Modal Indonesia Masih Bergairah IHSG Berpotensi Sentuh 7.550 pada Akhir 2023

IHSG Dibuka di Dua Arah
Pekerja melintas di dekat layar digital pergerakan saham di Gedung BEI, Jakarta, Rabu (14/10/2020). Pada prapembukaan perdagangan Rabu (14/10/2020), IHSG naik tipis 2,09 poin atau 0,04 persen ke level 5.134,66. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan mencapai level 7.550 hingga akhir tahun. Analyst CGS-CIMB Sekuritas Indonesia, Peter Sutedja menuturkan, proyeksi tersebut merujuk pada data ekonomi dalam dan luar negeri yang relatif stabil setelah sempat bergejolak karena inflasi.

Meski diakui, sempat terjadi aksi jual oleh investor asing lantara terjadi perpindahan dari ekuitas ke obligasi (bonds), namun belakangan Peter mencermati investor mulai kembali ke pasar ekuitas. Untuk sementara, Peter mengatakan investor masih memburu saham-saham dengan kapitalisasi besar (big cap).

"Fundamental kita baik. Pelemahan harga komoditas sudah diekspektasi pemerintah dan market. Tahun ini fundamental kita tidak ada yang berubah. Kalau kondisi eksternal stabil, flownya bisa balik lagi ke kita," kata did dalam Money Buzz, Selasa (18/4/2023).

The Fed masih memiliki agenda rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada Mei mendatang, yang diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga 25 bps. Di sisi lain, langkah tersebut dinilai mencerminkan keyakinan The Fed bahwa inflasi AS mulai terkendali.

"Target IHSG sejak awal 7.550. Kita suka perbankan seperti Bank Mandiri Tbk (BMRI), Bank Central Asia Tbk (BBCA), dan Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI). Konsumer ada Mayora Indah Tbk (MYOR) dan Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI)," sebut Peter.

Untuk waktu dekat, Peter mengatakan sentimen dalam negeri lebih terkait kinerja kuartalan. Setelah rilis kinerja kuartalan dirilis, investor bisa mencoba melakukan sector rotation ke sektor saham yang memiliki kinerja bagus pada awal tahun ini. "Jadi bisa rotate ke sektor lain yang hasilnya bagus seperti BFI Finance Tbk (BFIN) dan Adaro Minerals Tbk (ADMR)," pungkas dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya