Liputan6.com, Jakarta Ada seratusan lebih film Indonesia rilis tahun 2014. Bagaimana menentukan yang terbaik?
Hm, sebetulnya mudah saja mengidentifikasi mana film Indonesia yang layak tonton dan mana yang tidak. Pertama, Anda bisa telisik dari nama sutradaranya. Jika Anda tahu ia kerap membuat film baik, kemungkinan besar film yang ia buat juga akan selalu terbilang baik.
Lalu, lihat dari rumah produksi mana film sebuah film berasal. Jika rumah produksi tersebut biasa merilis film horor murahan, film yang mereka rilis biasanya tak pernah beranjak dari standar film murahan. Rumah produksi yang baik memiliki standar production value yang sudah mereka tentukan.
Advertisement
Ketiga, pemainnya. Anda tentu bisa mengidentifikasi aktor mana saja yang biasa main film-film berbobot dan mana yang tidak. Saya tak menonton semua film yang beredar di biioskop sepanjang tahun ini. Namun, saya bisa bilang, film-film yang terbilang baik saya tonton.
Ada kalanya, ketika ke bioskop nonton film Indonesia, saya menemukan mutiara-mutiara. Inilah ketujuh mutiara tersebut.
Baca juga:
5 Poster Film Indonesia Terbaik & 1 Terburuk di 2014
10 Film Hollywood Terbaik 2014
Lucunya 10 Nama Asli Artis Indonesia
5 Aktor Hollywood Paling Kemahalan di 2014
10 Peristiwa Hollywood yang Menghebohkan Dunia
Â
No.7
7. The Raid 2: Berandal (Sutr. Gareth Evans)
Bagaimana mengungguli film pertama? Pertanyaan klasik sebuah sekuel menghinggapi Gareth Evans yang melanjutkan The Raid (2012) dengan The Raid 2: Berandal tahun ini.
Maka, Gareth kemudian memilih cara klasik: membuat sekuel yang serba Lebih (dengan "L" kapital) dan serba Wah (dengan "W" kapital) dari film pertama. Jika The Raid hanya bersetting di gedung, The Raid 2 bersetting Jakarta rasa Gareth Evans (di Jakarta versinya ada salju!). Tak kurang 10 mobil, dua motor sport, serta halte busway yang dibangun khusus untuk dihancurkan, jadi korban demi menyuguhkan aksi yang lebih fantastis.
Ceritanya juga lebih kompleks dengan karakter pembunuh yang beragam--yang layak punya cerita film sendiri-sendiri. Menonton film laga ultra-violence berdurasi 2,5 jam ini memang bikin kita kekenyangan. Mungkin karena itu after taste The Raid 2: Berandal tak senikmat film pertama.
Advertisement
No.6
6. Jalanan (Sutr. Daniel Ziv)
Orang yang bisa merekam kehidupan jalanan Jakarta dengan amat baik ternyata bukan kita, yang sehari-hari tinggal di Jakarta, berkutat dengan kebisingan dan kemacetan saat pulang dan pergi ke kantor, melainkan seorang bule bernama Daniel Ziv. Lewat `Jalanan`, film dokumenter karya Ziv, kita melihat jalanan Jakarta lewat kacamata 3 pengamen: Ho, Titi, dan Boni.
Ketiganya punya problem masing-masing. Kamera Ziv begitu intens merekam kehidupan tiga tokoh kita. Menontonnya kita ikut bersimpati dan jatuh hati pada kehidupan mereka.
Lewat Ziv, kita tahu apa pengharapan mereka atas hidup yang tengah dijalani. Penonton melihat sedikit demi sedikit ketiganya tengah mengubah nasib masing-masing. Cara Ziv menyambung gambar dan bercerita nyaris membuat filmnya bak sebuah film cerita, bukan dokumenter.
No.5
5. Killers (Sutr. Mo Brothers)
Di Killers kita bertemu dua orang pembunuh. Satu di Jepang, satu lagi di tanah air. Killers mempertanyakan moralitas membunuh sambil mengulik jurang kepribadian manusia pada titik terdalam dengan pertanyaan: Benarkah ada hasrat membunuh dalam setiap orang? Film ini tidak hanya tak nyaman ditonton karena suguhannya yang sadis ataupun penuh darah. Lebih dari itu, serentetan pertanyaan tak nyaman yang digelontorkan sepanjang film sejatinya, bagi saya, lebih mengguncang.
Lewat film terdahulu, Rumah Dara, Mo Brothers sekadar menyuguhkan slasher bunuh-bunuhan yang asyik. Di Killers, yang asyik itu masih ada--Anda akan dibuat ngilu, mual, dan memilih memejamkan mata pada "teknik" membunuh yang "sakit" di sini--tapi kandungan yang tersirat lebih membekas.
Advertisement
No.4
4.Cahaya dari Timur: Beta Maluku (Sutr. Angga Dwimas Sasongko)
Film ini membuktikan satu hal: kisah inspiratif rupanya masih belum basi untuk jadi film. Entah sudah berapa film inspiratif menghiasi layar bioskop kita sejak Laskar Pelangi sukses besar tahun 2008 silam. Lebih banyak yang kemudian dibuat asal jadi, sekadar ingin menginspirasi (entah ingin membuat nasionalisme tergugah atau ingin meraih cita-cita setinggi langit), namun tak betul-betul menjadi tontonan yang baik sebagai karya sinema.
Yang membuat film karya Angga Diwmas Sasongko ini unggul, kita diperlihatkan sosok tokoh utama yang bukan seorang manusia sempurna. Tapi manusia biasa. Sani (diperankan dengan amat baik oleh Chicco Jericho) bukanklah seorang hero yang 100 persen serba baik. Namun, dari kelemahan dan kelebihannya itu justru kita banyak belajar.
No.3
3. Selamat Pagi, Malam (Sutr. Lucky Kuswandi)
Di Jakarta pada suatu malam kita bertemu tiga sosok wanita: Ci Surya (Dayu Wijanto), Gia (Adinia Wirasti), dan Indri (Ina Panggabean). Film ini berkisah tentang mereka. Namun, film karya kedua Lucky Kuswandi (sebelumnya membuat Madame X, 2010) ini bukan tentang wanita paruh baya yang mengetahui suaminya yang sudah meninggal punya selingkuhan; bukan juga tentang cinta lama bersemi kembali di antara pasangan lesbi; serta bukan pula soal nasib seorang perempuan yang tengah mencari cinta.
Ini adalah film tentang kita, manusia Jakarta kiwari. Di antara ketiga tokoh utama kita terselip banyak komentar sosial. Dan ketika pagi tiba, saat ketiganya mengucapkan "selamat pagi" pada malam yang telah mengubah hidup mereka, kita pun mengucap selamat atas tontonan yang bagus ini.
Advertisement
No.2
2. Tabula Rasa (Sutr. Adriyanto Dewo)
Film ini belum sampai tahap food-porn. Dan memang rasanya tak diniatkan begitu. Yang lebih menonjol adalah kisah persahabatan antara Hans (Jimmy Kobogau) yang asli Papua dan Emak (Dewi Irawan) pemilik rumah makan Padang. Kisah mereka menjadi titik paling bercahaya dalam film ini. Kita merasakan hubungan ibu dan anak yang khas antara keduanya. Hans menjadi pengganti anak bagi si Emak.
Debut sutradara Adriyanto Dewo ini sebuah tontonan yang menyenangkan. Mengatakan nonton film ini bikin lapar, atau ingin ke restoran Padang usai nonton film ini, sejatinya mengerdilkan esensi film ini. Tabula Rasa lebih dari sekadar film tentang masakan. Ia film tentang manusia, tentang kita.
No.1
1. Senyap (Sutr. Joshua Oppenheimer)
Walau dikerjakan orang asing, Joshua Oppenheimer (sebelumnya membuat Jagal/The Act of Killing, 2012), Senyap atau The Look of Silence tak mungkin selesai tanpa kru-kru tak bernama asal Indonesia yang ikut mengerjakan film ini bareng Oppenheimer. Mereka hingga kini masih tak ingin identitasnya diungkap. Hal ini menimbulkan ironinya sendiri: bangsa ini rupanya belum bisa beranjak dari trauma atas malapetaka tragedi 1965.
Di film Senyap kita melihat kerabat korban pembunuhan mencari tahu apa yang terjadi saat malapetaka itu berlangsung, termasuk bertemu para pelaku pembunuhan. Di film, kita melihat sebuah upaya rekonsiliasi nyata tengah dipertontonkan.
Namun, di dunia nyata, meski Senyap tayang perdana secara terhormat didukung lembaga resmi negara (Komnas HAM), namun di banyak daerah pemutarannya dihalang-halangi. Hingga kini, Senyap tak hadir di bioskop untuk dinikmati khalayak lebih luas. Sayang sebetulnya, sebab Senyap adalah tontonan yang teramat istimewa.(Ade/Feb)
Advertisement