Trump Presiden, Karyawan Perusahaan Teknologi Sulit Dapat Visa?

Kabarnya karyawan asing perusahaan teknologi AS bakal kesulitan mendapat visa lantaran kebijakan presiden AS terpilih Donald Trump.

oleh Agustin Setyo Wardani diperbarui 22 Nov 2016, 20:30 WIB
Diterbitkan 22 Nov 2016, 20:30 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Pengawasan visa khusus karyawan perusahaan teknologi dikabarkan bakal lebih ketat di bawah kepemimpinan Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih Donald Trump dan Jaksa Agung Senator Jeff Sessions.

Mengutip laporan Reuters, Selasa (22/11/2016), visa H-1B diberikan kepada 65.000 pegawai dan 20.000 pekerja yang berstatus mahasiswa tiap tahunnya. H-1B sendiri merupakan visa khusus yang diberikan kepada pekerja profesional, misalnya bidang IT.

Industri teknologi sebelumnya sudah melobi untuk memperluas program visa ini. Menurut pelobi, saat ini mereka harus melawan pengacara imigrasi untuk bisa mendapatkan visa tersebut.

Terkait hal ini, Trump mengirimkan beragam sinyal saat kampanye. Terkadang mengkritik tetapi kadang menganggap para karyawan IT asing ini cukup penting guna mempertahankan bakat asing.

Sebelumnya, Sessions menyebutkan legislatif bermaksud membuat perizinan visa lebih sulit bagi perusahaan yang memiliki pegawai outsourcing dalam jumlah besar seperti Infosys. "Banyak pekerja AS yang digantikan oleh pekerja asing," ujar Session Februari lalu.

Sejauh ini, perusahaan seperti Microsoft dan Google diketahui sering mempekerjakan pegawai asing dengan kemampuan tinggi dan membayarnya cukup mahal. Kebanyakan dari para pegawai ini juga mendapatkan green card yang memungkinkan mereka tinggal secara permanen di AS.

Pada sisi lain, perusahaan seperti Infosys dan Tata Consultancy Service yang bermarkas di India menggunakan visa untuk mempekerjakan pekerja dengan bayaran rendah. Ujung-ujungnya, para pekerja ini gagal mendapatkan green card.

Bukan hanya itu, perusahaan seperti Walt Disney Co dan Southern California Edison Co terkadang juga menghentikan pegawai IT dan menggantinya dengan pegawai kontrak yang lebih murah untuk memudahkan visa.

Gara-gara hal semacam ini, The Justice Departement mencatat bahwa jumlah fraud pada kasus visa mencapai US$ 34 juta (setara Rp 453 miliar) di tahun 2013. Biro investigasi federal menduga ada perusahaan yang menggunakan visa perjalanan bisnis untuk memasukkan sejumlah pekerja yang seharusnya memiliki visa H-1B.

Industri teknologi berharap bisa merubah keadaan itu, karenanya didirikanlah FWD, sebuah grup pelobi yang diinisiasi pendiri Facebook Mark Zuckerberg. Grup ini akan mendukung ditetapkannya upah minimum dan menjadikan perusahaan sebagai sponsor bagi karyawan asing pemegang visa H-1B untuk mendapatkan green card.

"Kami akan mengadvokasi untuk memperluas program tersebut. Namun kami juga akan mengadakan advokasi untuk reformasi program ini," kata presiden FWD Todd Shulte.

Meski ada kekhawatiran akan kesulitan mendapatkan visa H-1B, pendukung Trump Shalab 'Shalli' Kumar menyebut bahwa Trump tak akan membuat perubahan besar pada sistem visa. "Dia (Trump) bilang pada kami bahwa mereka (pekerja asing) sangat mengagumkan dan akan jadi hal gila jika melepaskan mereka," tutur Kumar.

Diketahui, perusahaan teknologi memperoleh kuota yang cukup besar untuk visa H-1B. Hingga kini, urutannya adalah Amazon di urutan 12, Google di urutan 14, Microsoft urutan 15, Facebook urutan 24 dan Apple urutan 34.

(Tin/Ysl)

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya