Soal Penyadapan, Indonesia Dinilai Perlu Punya Pusat Intersepsi

Sudah waktunya Indonesia punya pusat intersepsi nasional untuk mengatur lebih teknis tindakan penyadapan yang dapat dipertanggungjawabkan.

oleh M Hidayat diperbarui 02 Feb 2017, 18:30 WIB
Diterbitkan 02 Feb 2017, 18:30 WIB
Penyadapan Seluler
Penyadapan Seluler

Liputan6.com, Jakarta - Diwartakan sebelumnya, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 31 ayat 4 memang sudah mengatur penyadapan. Pasal ini memberi kewenangan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pemerintah tentang penyadapan.

Namun, pasal ini sudah dihapus Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 2011. MK memberi rekomendasi agar segera dibuat undang-undang yang mengatur penyadapan.

Kepada Tekno Liputan6.com, pakar keamanan siber dan kriptografi Pratama Persadha menegaskan bahwa kekosongan regulasi ini berpotensi membuat penyadapan menjadi liar dan bebas terjadi.

Maka dari  itu, ia menilai perlu regulasi yang jelas dan khusus agar situasi ini tidak berlarut-larut. Regulasi ini nantinya mesti memperjelas siapa saja yang berwenang menyadap, bagaimana izinnya bisa keluar, dan bagaimana perlindungan terhadap masyarakat.

Untuk mengatur lebih teknis terkait tindakan penyadapan yang dapat dipertanggungjawabkan, menurut Pratama, sudah waktunya Indonesia memiliki pusat intersepsi nasional yang kredibel. Pusat intersepsi ini bertugas mengawasi tindak penyadapan di Indonesia.  

"Tujuannya jelas, agar penyadapan tidak dilakukan sembarang pihak dan tidak melebihi izin pengadilan, sehingga akan lebih elok dan kuat secara legal jika keberadaan lembaga nantinya bisa diakomodasi oleh UU Penyadapan," ujar pria yang merupakan Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center).

Pratama Persadha, Ketua Lembaga Riset CISSReC, Pakar Keamanan Cyber dan Komunikasi

Dalam melakukan penyadapan, kata Pratama, lembaga negara biasanya menggandeng provider telekomunikasi. Hal ini sesuai dengan pasal 42 UU Telekomunikasi, yang menyebutkan provider bisa memberikan akses informasi, apabila ada permintaan tertulis dari Jaksa Agung atau Kapolri untuk tindak pidana tertentu dan adanya permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

“Pusat intersepsi nantinya bisa mencegah terjadinya saling sadap di luar kewenangan. Bisa saja masyarakat yang tidak masuk dalam target penyadapan sesuai izin pengadilan menjadi korban penyadapan. Ini yang harus benar-benar diamankan,” tutur Pratama menegaskan.

Pelarangan penyadapan yang dilakukan oleh pihak tidak berwenang, diatur dalam Pasal 40 UU Telekomunikasi. Salah satu isinya adalah melarang setiap orang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi.

Ancaman pidana dalam Pasal 56 UU Telekomunikasi dengan kurungan penjara maksimal 15 tahun dan di Pasal 47 UU ITE dengan hukuman penjara maksimal 10 tahun atau denda maksimal Rp 800 juta.

(Why/Isk)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya