Liputan6.com, Jakarta - Berbagai narasi beredar di media sosial beredar, yang mengaitkan antara gempa Turki dengan teknologi HAARP atau High-frequency Active Auroral Research Program Amerika Serikat (AS).
Dalam narasi yang beredar, diklaim bahwa ada sambaran petir yang muncul sebelum gempa di Turki, yang disebut kejadian yang selalu terjadi dalam operasi HAARP.
Baca Juga
Berbagai teori konspirasi pun bermunculan, seputar alasan mengapa AS "membuat" gempa di Turki, menggunakan HAARP. Ini bukan pertama kalinya teknologi tersebut dikaitkan dengan sebuah bencana.
Advertisement
Untuk diketahui, HAARP memang sebenarnya ada. Meskipun begitu, sejauh ini tidak ada riset ilmiah yang membuktikan antara keterkaitan teknologi tersebut atau teknologi buatan manusia lainnya, dengan bencana alam di dunia.
Mengutip situs resmi haarp.gi.alaska.edu, HAARP atau dalam bahasa Indonesia Program Penelitian Auroral Aktif Frekuensi Tinggi, adalah upaya ilmiah yang ditujukan untuk mempelajari sifat dan perilaku ionosfer.
NASA mencatat, bersama dengan atmosfer atas yang netral, ionosfer membentuk batas antara atmosfer bawah Bumi--tempat kita hidup dan bernapas--dan ruang hampa udara.
"HAARP adalah pemancar berfrekuensi tinggi berkekuatan tinggi yang paling mumpuni di dunia untuk mempelajari ionosfer," tulis laman University of Alaska Fairbanks, dikutip Jumat (10/2/2023).
Pada 2015, pengoperasian fasilitas penelitian dipindahkan dari Angkatan Udara AS ke University of Alaska Fairbanks pada 11 Agustus 2015.
Ini memungkinkan HAARP untuk melanjutkan eksplorasi fenomenologi ionosfer melalui perjanjian penelitian dan pengembangan kerjasama penggunaan lahan.
Fasilitas Penelitian Ionosfer
Dalam informasinya, dinyatakan bahwa program HAARP berkomitmen untuk mengembangkan fasilitas penelitian ionosfer kelas dunia yang terdiri dari:
- Ionospheric Research Instrument, fasilitas pemancar daya tinggi yang beroperasi dalam rentang Frekuensi Tinggi. IRI dapat digunakan untuk menggairahkan sementara area ionosfer yang terbatas untuk studi ilmiah.
- Serangkaian instrumen ilmiah atau diagnostik canggih yang dapat digunakan untuk mengamati proses fisik yang terjadi di wilayah tereksitasi.
Pengamatan proses yang dihasilkan dari penggunaan IRI secara terkendali akan memungkinkan para ilmuwan untuk lebih memahami proses yang terjadi terus menerus di bawah rangsangan alami matahari.
"Instrumen ilmiah yang dipasang di Observatorium HAARP juga dapat digunakan untuk berbagai upaya penelitian berkelanjutan yang tidak melibatkan penggunaan IRI tetapi sangat pasif," tulis laman tersebut.
"Ini termasuk karakterisasi ionosfer menggunakan suar satelit, pengamatan teleskopik dari struktur halus di aurora dan dokumentasi variasi jangka panjang di lapisan ozon," imbuhnya.
Advertisement
Penjelasan Kilat Sebelum Gempa
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono, sementara itu lewat akun Twitter-nya @DaryonoBMKG, menyatakan tidak ada kaitannya gempa dengan HAARP.
"Saat batuan kulit bumi mengalami/mendapat tekanan yang hebat dan sangat kuat, mendekati batas elastisitasnya, maka sebelum failure maka akan melepaskan gelombang elektromagnetik, dari sinilah awal cerita lightning during the earthquake, pencahayaan gempa. "seismoelectric effect""
Daryono juga menyebut, fenomena earthquake lightning juga terjadi saat gempa Sumogawe di lereng utara Merbabu pada 16 Februari 2014 yang lalu.
"Adalah angan angan kosong, mengkait-kaitkan gempa dengan HAARP," tulisnya.
Saat batuan kulit bumi mengalami/mendapat tekanan yang hebat dan sangat kuat, mendekati batas elastisitasnya, maka sebelum failure maka akan melepaskan gelombang elektromagnetik, dari sinilah awal cerita lightning during the earthquake, pencahayaan gempa. "seismoelectric effect"
— DARYONO BMKG (@DaryonoBMKG) February 8, 2023