Liputan6.com, Jakarta - Gedung Putih (pemerintah Amerika Serikat/AS) baru saja menerbitkan memo kebijakan yang meminta NASA untuk membuat standar waktu baru di Bulan pada 2026.
Waktu Bulan Terkoordinasi (Coordinated Lunar Time/LTC) akan menetapkan referensi waktu resmi untuk membantu memandu misi Bulan di masa depan.
Baca Juga
Langkah ini dirasa penting seiring persaingan antariksa abad ke-21 muncul antara AS, Tiongkok, Jepang, India, dan Rusia.
Advertisement
Memo tersebut mengarahkan NASA untuk bekerja sama dengan Departemen Perdagangan, Pertahanan, Luar Negeri, dan Transportasi guna merencanakan strategi penerapan LTC pada 31 Desember 2026.
Kerja sama internasional juga akan berperan, terutama dengan penandatangan Perjanjian Artemis. Demikian sebagaimana dikutip dari Engadget, Kamis (4/4/2024).
Didirikan pada 2020, prinsip-prinsip tersebut merupakan seperangkat prinsip umum antara (saat ini) 37 negara yang mengatur eksplorasi dan pengoperasian ruang angkasa. Tiongkok dan Rusia bukan bagian dari kelompok itu.
“Saat NASA, perusahaan swasta, dan badan antariksa di seluruh dunia meluncurkan misi ke Bulan, Mars, dan sekitarnya, penting bagi kita untuk menetapkan standar waktu angkasa demi keamanan dan akurasi,” tulis Wakil Direktur Keamanan Nasional OSTP Steve Welby dalam siaran pers resmi Gedung Putih.
“Definisi waktu yang konsisten di antara para operator di ruang angkasa sangat penting untuk keberhasilan kemampuan kesadaran situasional ruang angkasa, navigasi, dan komunikasi, yang semuanya merupakan dasar untuk memungkinkan interoperabilitas di seluruh pemerintahan AS dan mitra internasional,” sambungnya.
Kaitannya dengan Teori Relativitas Einstein
Teori relativitas Einstein menyebut bahwa waktu berubah relatif terhadap kecepatan dan gravitasi. Mengingat gravitasi Bulan yang lebih lamban (dan perbedaan pergerakan antara Bulan dan Bumi), waktu bergerak sedikit lebih cepat di Bulan.
Jadi jam berbasis Bumi di permukaan Bulan, rata-rata adalah 58,7 mikrodetik per hari Bumi.
Ketika AS dan negara-negara lain merencanakan misi ke Bulan untuk meneliti, mengeksplorasi, dan membangun pangkalan untuk tempat tinggal permanen, penggunaan standar tunggal akan membantu mereka menyinkronkan teknologi dan misi yang memerlukan waktu tepat.
“Jam yang kita miliki di Bumi akan bergerak dengan kecepatan berbeda di Bulan,” kata kepala komunikasi dan navigasi luar angkasa NASA Kevin Coggins kepada Reuters.
“Bayangkan jam atom di Observatorium Angkatan Laut AS (di Washington). Mereka adalah detak jantung bangsa, yang menyelaraskan segalanya. Anda pasti menginginkan detak jantung di bulan,” pungkasnya.
Advertisement
Persaingan Misi Bulan Antar Negara
Gedung Putih ingin LTC berkoordinasi dengan Waktu Universal Terkoordinasi (Coordinated Universal Time/UTC), standar yang digunakan untuk mengukur semua zona waktu di Bumi. Mereka menginginkan zona waktu baru yang memungkinkan navigasi akurat dan berbasis ilmiah.
Program Artemis NASA bertujuan untuk mengirim misi berawak kembali ke Bulan untuk pertama kalinya sejak misi Apollo pada 1960an dan 70an.
Badan antariksa tersebut mengatakan pada Januari 2023, bahwa Artemis 2 yang akan terbang mengelilingi Bulan dengan empat orang di dalamnya, dijadwalkan untuk diluncurkan pada September 2025.
Artemis 3, yang berencana mengembalikan manusia ke permukaan Bulan, dijadwalkan bakal dilakukan pada tahun 2026.
Selain AS, Tiongkok juga berencana mengirim astronot ke Bulan sebelum tahun 2030 seiring dengan upaya dua negara adidaya global terkemuka di dunia untuk melakukan perjalanan ke luar angkasa.
Meskipun belum ada negara lain yang mengumumkan misi berawak ke permukaan Bulan--India, Rusia, Uni Emirat Arab, Jepang, Korea Selatan, dan perusahaan swasta--semuanya berambisi terbang ke bulan dalam beberapa tahun terakhir.
Infografis Apollo dan Jejak Manusia di Bulan. (Liputan6.com/Triyasni)
Advertisement