Pengusaha Jamu Ingin Diurus Kemenperin Bukan Kemenkes

Padahal jika dilihat secara luas, produk dari jamu bukan hanya berkaitan dengan obat, tetapi juga budaya dan pariwisata.

oleh Septian Deny diperbarui 26 Agu 2014, 20:02 WIB
Diterbitkan 26 Agu 2014, 20:02 WIB
mentjos-2-130910.jpg
Usaha jamu yang awalnya berdiri di Solo, Jawa Tengah pada periode tahun 1940-an hingga 1950-an ini mampu menunjukan eksistensinya ditengah maraknya obat-obatan medis yang beredar di masyarakat. (Liputan6.com/Panji Diksana/wwn)

Liputan6.com, Jakarta - Para praktisi dan pengusaha jamu tradisional meminta pemerintah menempatkan industri jamu di bawah pengawasan dan arahan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), bukan lagi di bawah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) seperti selama ini.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional (GP Jamu) Charles Saerang mengatakan produk jamu dalam negeri yang selama ini berada di bawah Kemenkes tidak berkembang dengan bahkan cenderung stagnan.

"Karena meski regulasi di bawah Kemenkes, tetapi bagaimana mengembangkan pasar jamu?. Saya melihat industri jamu di bawah Kemenkes hanya diatur penataan regulasi yang tiap tahun memberatkan," ujarnya di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (26/8/2014).

Menurut dia, tidak berkembanganya industri jamu lokal lantaran produk dari industri ini hanya disamakan dengan produk farmasi lain.

Padahal jika dilihat secara luas, produk dari jamu bukan hanya berkaitan dengan obat, tetapi juga budaya dan pariwisata.

"Kemenkes sangat memberatkan perkembangan jamu karena disamakan dengan farmasi, padahal jamu itu selain obat juga ada jenis usaha lain seperti spa, aroma terapi, pariwisata dan lain-lain, sehingga menjadi sempit dan tidak berkembang kalau hanya dijadikan obat untuk kesehatan," katanya.

Dia mencontohkan, produk-produk dari industri jamu yang berhasil menembus pasar internasional dan diekspor ke berbagai negara adalah produk yang bukan jenis obat tetapi produk perawatan dan kecantikan.

"Sedangkan produk ekspor jamu itu dalam bentuk massage, aroma terapi, dan ini menjadi bagian dari pariwisata, paling tidak berada dibawah industri kreatif, bukan dibawah kesehatan. Kita tidak terima disamakan dengan farmasi," lanjut dia.

Selain itu, Charles juga mengeluhkan industri jamu selama sulit mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, karena regulasi di Kemenkes tidak mengatur hal tersebut. Sehingga tidak ada keringanan dari pihak pemerintah yang dirasakan oleh pelaku usaha jamu.

"Bahan baku juga sulit karena regulasinya dibawah Kemenkes, bukan di Kemenperin. Kita tidak punya standar bahan baku. Selama ini hanya diatur bagaimana cara membuat yang baik tetapi tidak diarahkan bagaimana menjual yang baik. Ini bisa dipikirkan oleh Kemenperin, bukan oleh Kemenkes," ungkap dia.

Oleh sebab itu, para pelaku yang bergerak pada sektor jamu dan beberapa pihak terkait seperti DPR tengah menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Jamu Nasional. Dengan demikian, diharapkan industri jamu bisa diawasi dan diarahkan oleh pihak yang tepat sehingga bisa berkembang dengan baik.

"Sedang disiapkan RUU Jamu. Kita harapkan pada pemerintahan baru dan dorongan dari Komisi VI DPR agar jamu dibawah Kemenperin. Draftnya sudah jadi. Kami lagi melobi ke DPR agar jamu tidak hanya berkembang pada bidang kesehatan tetapi lebih pada industri," tandasnya. (Dny/Nrm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya