5 Tantangan Investor Asing Buat Tanam Modal di RI

Tak mudah juga untuk investasi di Indonesia, ada beberapa tantangan yang harus dilalui oleh para investor asing.

oleh Zulfi Suhendra diperbarui 29 Sep 2015, 12:17 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2015, 12:17 WIB
20150903-Infrastruktur
Pekerja melakukan Pengerjaan proyek pembangunan jalan layang untuk bus transjakarta di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (31/8/2015). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, New York - Indonesia masih menjadi tujuan empuk buat investor asing. Namun tak mudah juga untuk investasi di Indonesia, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi. Hal itu tentunya jadi perhatian pemerintah untuk terus dibenahi agar Indonesia semakin menarik untuk investasi.

Dilansir dari Wall Street Journal, Selasa (29/9/2015), ada beberapa tantangan dan kesulitan bagi investor untuk berbisnis di Indonesia.

Pertama, aturan di Indonesia seringkali tak jelas. Kebijakan di Indonesia dinilai sering tak jelas dan samar-samar, dan butuh waktu yang lama untuk mencari tahu dan mengimplementasikannya, tutur partner dari lembaga hukum Ashurst di Singapura.

"Itu bisa mempersulit untuk perencanaan strategi investasi," katanya.

Dia mengambil contoh kebijakan pelarangan penggunaan mata uang asing yang aturannya disusun sejak 2011, baru bisa diimplementasikan pada 2015, dan beberapa perusahaan masih bingung bagaimana lebih jelasnya aturan itu berlaku secara luas.

Dia mengatakan, investor yang bekerja dengan baik di Indonesia cenderung punya toleransi yang tinggi terhadap ketidakpastian.

Kedua, aturan dinilai cepat berubah. Pemerintah Indonesia dianggap sering mengubah aturan secara tiba-tiba, dan menimbulkan ketidakpastian. Pada Juli, pemerintah menaikkan tarif pajak impor untuk 1.000 produk. Produk jins Levi's pajaknya naik menjadi 25 persen dari 15 persen, dan perusahaan baru diberitahu sehari sebelum kenaikan.

"Barang kami sudah ada di bea cukai," kata Head Levi's Indonesia, Sumesh Wadhwa. "Semua barang tertahan karena kami harus membayar pajak (tambahan) untuk mengeluarkan barang," tuturnya. Begitu juga dengan produsen bir yang teriak karena larangan penjualan bir di minimarket.

Ketiga, pembuat kebijakan dianggapa terkadang fokus pada kepentingan nasional. Berdasarkan keterangan dan pengalaman dari beberapa perusahaan, pejabat pemerintah dinilai menekankan pada kebijakan ekonomi nasional.

Contohnya adalah pelarangan ekspor mineral mentah, yang dimaksudkan untuk mengembangkan fasilitas industri pengolahan di dalam negeri. Tapi karena Indonesia belum punya fasilitas yang memadai, beberapa perusahaan tambang saat ini jalan di tempat. 

"Negara lain, seperti Filipina tidak punya aturan itu, dan menguntungkan," tutur Ketua Asosiasi Alat Berat Indonesia, Sjahrial Ong, yang juga menyebutkan ada penurunan penjualan alat berat hingga 70 persen di tahun ini.

Keempat, persoalan buruh. Indonesia ingin mempercepat investasi di sektor manufaktur, pembangunan pabrik, industri dan semacamnya. Beberapa perusahaan mengatakan, hal itu membutuhkan lebih banyak lagi investasi di sisi sumber daya manusia.

"Satu hal yang kita butuh untuk fokus di sini adalah pendidikan yang lebih tinggi, dan fasilitas manufaktur yang lebih banyak dan juga lebih banyak lagi wirausaha," kata Head Levi's Indonesia, Sumesh Wadhwa.

Pengusaha mengeluhkan upah yang naik sementara di sisi lain para buruh masih menuntut untuk kenaikan upah dan pembatasan tanaga kerja asing menambah ketidakmenarikan Indonesia.

Kelima, infrastruktur masih minim. Presiden Joko Widodo berencana membangun banyak proyek infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, pembangkit listrik, dan lainnya. Investor menyambut baik upaya tersebut, namun banyak juga yang frustasi dengan implementasinya yang lambat.

Menurut World Bank, Indonesia berada di peringkat ke 53 di antara 189 negara dalam hal kinerja ligistik. Bahkan, untuk mengirim jeruk dari China ke Indonesia saja lebih murah dibanding pengiriman antar pulau di Indonesia. (Zul/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya