Liputan6.com, Jakarta - Dana Moneter Internasional/International Monetary Fund (IMF) menyoroti adanya risiko munculnya krisis keuangan baru. IMF memperingatkan adanya potensi akan terulangnya kekacauan pasar saat masa resesi 2008-2009.
Dalam laporan tengah tahunan mengenai stabilitas keuangan global, IMFÂ menuliskan perlunya adanya tindakan untuk mengatasi masalah yang saat ini sedang menyergap industri perbankan di zona euro. Sejumlah bank menghadapi tantangan untuk menciptakan keuntungan.
"Di zona Euro, ada warisan masalah yang mestinya segera diselesaikan," tulis IMF seperti dikutip dari laman the Guardian, Kamis (14/4/2016).
Laporan itu menyebutkan perlu adanya strategi untuk menyelesaikan kredit macet atau non performing loan (NPL) yang nilainya mencapai 900 miliar euro atau sekitar 715 miliar pound sterling dalam laporan kinerja bank. Selain itu juga perlu dipikirkan untuk menjalankan strategi penutupan bank mengingat jumlah bank yang banyak.Â
Baca Juga
"Sistem bank yang paling terpukul di zona euro pada Februari kemarin antara lain Yunani, Italia, dan Portugal, dan sejumlah bank besar di Jerman. Masalah tersebut didorong sejumlah faktor mulai dari masalah struktural bank, tingginya NPL, dan model bisnis yang buruk," tulis IMF.
Lembaga keuangan internasional tersebut juga menyatakan kalau ancaman terhadap stabilitas keuangan global telah meningkat sejak pemeriksaan terakhir pada Oktober.
Karena itu, laporan tersebut memuat sejumlah pesan untuk perlunya langkah tambahan untuk memberikan kebijakan yang lebih seimbang dan kuat untuk meningkatkan pertumbuhan dan prospek inflasi sehingga dapat mengamankan stabilitas keuangan. Dengan tidak ada langkah-langkah itu maka gejolak pasar dapat kembali terjadi.
Selain itu, ada juga risiko tekanan di keuntungan karena investor meminta suku bunga tinggi. Itu dapat membuat kondisi keuangan semakin ketat. Hal tersebut juga merusak kepercayaan, pertumbuhan industri yang rendah dan inflasi, serta utang meningkat.
"Risiko gangguan ke pasar aset global meningkat. Perlambatan ekonomi pun lebih serius dan makin panjang ditandai dengan stagnasi ekonomi dan keuangan," tulis IMF.
Dalam situasi itu, pertumbuhan ekonomi global akan lebih rendah atau di kisaran 3,9 persen pada 2020. The IMF's Financil Councellor Jose Vinals menuturkan, pertumbuhan itu setara dalam satu tahun.
Laporan IMF juga menyebutkan kalau bank-bank di negara maju lebih aman dalam beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, bank telah di bawah tekanan pada awal 2016. Hal itu mencerminkan kekhawatiran tentang model bisnis mereka saat pertumbuhan ekonomi melambat.
Dari sekitar 15 persen bank-bank di negara maju menghadapi tantangan signifikan untuk mencapai keuntungan berkelanjutan tanpa reformasi.
IMF menyatakan kalau keuntungan akan tertekan dan masalah yang sebenarnya warisan yang belum terselesaikan telah meningkatkan risiko modal eksternal menjadi lebih mahal. Ini terutama untuk bank lemah dengan harga saham yang sangat rendah.
"Bank Italia menghadapi tantangan khusus dalam hal ini. Harga pasar telah mencerminkan kepercayaan investor kalau beberapa bank mungkin menghadapi kesulitan untuk keluar dari masalah kredit meski ada sejumlah langkah konstruktif yang dilakukan otoritas Italia agar menyeimbangkan perbaikian laporan kinerja," tulis IMF.
Transformasi Ekonomi China Rumit
Tak hanya menyoroti bank di Eropa, IMF juga fokus terhadap kondisi China. Negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini melakukan transformasi model ekonomi untuk meningkatkan konsumsi yang sebelumnya ekspor.
Langkah China melakukan rebalancing ini dinilai rumit, dan pertumbuhan lambat juga menggerus kinerja keuangan sektor korporasi.
Selain itu, dampak penurunan harga minyak juga berdampak terhadap kesehatan kinerja keuangan. Ini membuat beban utang lebih tinggi sehingga juga menekan bank.
"Para pembuat kebijakan perlu membangun pemulihan ekonomi dan memberikan jalan lebih kuat untuk pertumbuhan dan stabilitas keuangan. Caranya dengan mengatasi sejumlah tantangan global antara lain warisan di negarai maju, kerentanan tinggi di pasar negara berkembang dan risiko likuiditas pasar sistemik lebih besar," tulis IMF.
Saat ditanya mengenai potensi konsekuensi dari keputusan Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa, Vinals mengatakan ketidakpastian akan membuat masalah berlarut-larut. Ini dapat berlangsung beberapa tahun. "Hal ini akan menciptakan ketidakpastian tidak hanya untuk ekonomi tetapi untuk sektor keuangan," kata dia.
Vinals menolak komentar apakah ada risiko ketika London sebagai pusat keuangan dunia internasional meninggalkan Uni Eropa. Ia mengatakan, hal itu tergantung bagaimana Inggris negosiasi dengan Uni Eropa. (Ahm/Gdn)