Beli Lazada, Pemain e-Commerce ASEAN Atur Strategi Hadapi Alibaba

Selama ini, pasar di kawasan Asia Tenggara memang dikenal sangat besar dan paling potensial untuk pengembangan e-commerce.

oleh Septian Deny diperbarui 23 Apr 2016, 19:32 WIB
Diterbitkan 23 Apr 2016, 19:32 WIB
Dorong Bisnis Cloud, Alibaba Buka Data Center di Silicon Valley
Alibaba mulai gencar merambah bisnis komputas awan untuk bersaing dengan rivalnya, Amazon.

Liputan6.com, Jakarta - Langkah Alibaba mengakuisisi Lazada dinilai sebagai salah satu upaya perusahaan e-commerce asal Tiongkok tersebut untuk masuk ke pasar ASEAN. Selama ini, pasar di kawasan Asia Tenggara memang dikenal sangat besar dan paling potensial untuk pengembangan e-commerce.

Juru Bicara Asosiasi e-Commerce Vietnam (VECOM) Nguyen Hoa Binh mengatakan, selama ini Lazada telah beroperasi di 6 negara Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Langkah Alibaba ini menjadi ancaman sekaligus tantangan baru bagi pemain e-commerce di ASEAN.

"Dengan strategi yang kami sebut People’s War, bila Jack Ma (CEO Alibaba) menganalogikan Alibaba sebagai seekor buaya di Sungai Yangtze, kami akan menjadi sekelompok piranha untuk berkompetisi dengan Alibaba secara imbang," ujar dia dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (23/4/2016).


Alibaba menggelontorkan dana setara Rp 13 triliun dalam akuisisi ini, dan menjadi pemegang saham mayoritas dengan menguasai hampir 80 persen saham Lazada. Menanggapi nilai investasi yang fantastis ini, Binh mengatakan modal bukan segalanya.

Dia mengungkapkan, modal besar tidak menentukan keberlangsungan bisnis. Yang lebih penting adalah bahwa setiap pemain e-commerce lokal harus memiliki strategi unik, walaupun dari segi modal kalah bersaing dengan e-commerce asing.

"E-commerce tidak sepenuhnya tentang kekuatan uang, tetapi yang paling penting adalah tim yang mengerti sepenuhnya pemahaman berbasis lokal," kata Binh.

Menurutnya, demam e-commerce dalam beberapa tahun terakhir ini membuat banyak pemain dengan kekuatan modal yang besar menawarkan banyak diskon dan promosi untuk mempercepat pertumbuhan. Namun sayangnya justru para pemain tersebut tidak mampu bertahan lama menghadapi persaingan di dunia e-commerce.

"Lalu mereka tutup dan kehilangan investasi bernilai jutaan dolar karena inefisiensi dari kecepatan turunnya saldo kas," tandas dia.(Dny/nrm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya