Laporan Keuangan Pemerintah 2015 Dapat Opini WDP dari BPK

BPK menemukan enam masalah dalam pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) tahun 2015.

oleh Septian Deny diperbarui 02 Jun 2016, 12:25 WIB
Diterbitkan 02 Jun 2016, 12:25 WIB
Ilustrasi Laporan Keuangan
(Foto: BPKAD)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini wajar dengan pengecualian (WDP) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2015. Opini ini sama dengan opini LKPP Tahun 2014.

Ketua BPK Harry Azhar Azis mengatakan, ada enam permasalahan yang ditemukan BPK dalam pemeriksaan LKPP Tahun 2015 yang menjadi pengecualian ‎atas kewajaran LKPP.

"Permasalahan tersebut merupakan gabungan ketidaksesuaian dengan standar akuntansi pemerintah, kelemahan sistem pengendalian intern dan ketidapatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan," ujar dia di Jakarta, Kamis (2/6/2016).

Harry memaparkan, enam permasalahan yang ditemukan oleh BPK antara lain, pertama, pemerintah pusat menyajikan investasi permanen penyertaan modal negara (PMN per 31 Desember 2015 sebesar Rp 1.800,93 triliun. Dari nilai investasi permanan tersebut, di antaranya sebesar Rp 843,38 triliun merupakan PMN pada PT PLN.


Dia menjelaskan, dalam laporan keuangan PLN tahun 2015 unaudited, PLN mengubah kebijakan akuntansinya dari yang sebelumnya sejak 2012-2014 menerapkan ISAK 8 menjadi tidak menerapkan ISAK 8.

Namun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tetap mewajibkan PLN untuk menerapkan ISAK sebagai standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan.  

"Dampak penerapan ISAK 8 dan tanpa penerapan ISAK 8 dapat menimbulkan perbedaan nilai PMN pada PLN per 31 Desember 2015 anaudited yang disajikan sebesar Rp 43,44 triliun. Manajemen PLN belum dapat menyajikan laporan keuangan per 31 Desember 2015 audited. Sebagai akibatnya, BPK tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap angka itu," kata dia.

Permasalahan kedua, lanjut Harry, pemerintah menetapkan harga jual eceran minyak solar bersubsidi lebih tinggi dari harga dasar termasuk pajak dikurangi subsidi tetap. Hal ini dinilai membebani konsumen dna menambah keuntungan badan usaha melebihi dari yang seharusnya sebesar Rp 3,19 triliun.

Ketiga, piutang bukan pajak sebesar Rp 1,82 triliun dari uang penganti perkara tindak pidana korupsi pada Kejaksaan RI dan sebesar Rp 33,94 miliar ‎dan US$ 206,87 juta dari iuran tetap, royalti dna penjualan hasil tambang (PHT) tidak didukung dokumen sumbe yang memadai serta sebesar Rp 101,34 miliar tidak sesuai hasil konfirmasi kepada wajib bayar.

Keempat, persediaan pada Kementerian Pertahanan sebesar Rp 2,49 triliun belum sepenuhnya didukung penatausahaan, pencatatan, konsolidasi dan rekonsiliasi barang milik negara yang memadai serta persediaan untuk diserahkan ke masyarakat pada Kementerian Pertanian sebesar Rp 2,33 triliun belum dijelaskan status penyerahanya.

Kelima, pencatatan dan penyajian catatan dan fisik saldo anggaran lebih (SAL) tidak akurat sehingga BPK tidak dapat meyakini kewajaran transaksi dan saldo terkait SAL sebesar Rp 6,6 triliun.

Keenam, koreksi-koreksi pemerintah yang mengurangi nilai ekuitas sebesar Rp 96,53 triliun dan transaksi antar entitas sebesar Rp 53,34 triliun. Ini tidak dapat dijelaskan dan tidak didukung dokumen sumber yang memadai.

"Terhadap enam permasalahan tersebut, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah perbaikan agar ke depan permasalahan yang mempengaruhi kewajaran laporan keuangan menjadi semakin berkurang dan tidak menjadi temuan berulang," ujar dia. (Dny/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya