AS Tolak Rumput Laut Asal Indonesia

Ekspor rumput laut yang merupakan komoditas andalan hasil kelautan Indonesia ke Amerika Serikat (AS) terancam mandek.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 09 Agu 2016, 15:12 WIB
Diterbitkan 09 Agu 2016, 15:12 WIB
20160416-Rumput-Laut-Balikpapan-Fery-Pradolo
Petani mengangkut rumput laut dari kapal di kawasan Kelurahan Manggar, Balikpapan Timur, Jumat (15/4). Nelayan yang tergabung dalam Kelompok Tani Sumber Laut Berjaya, Manggar mampu memproduksi 15 ton/bulan. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Liputan6.com, Jakarta - Ekspor rumput laut yang merupakan komoditas andalan hasil kelautan Indonesia ke Amerika Serikat (AS) terancam mandek. Alasannya, negara tersebut akan mengeluarkan (delisting) produk rumput laut dari daftar bahan pangan organik Indonesia di AS. Produk rumput laut dinilai tidak lagi layak memenuhi kriteria bahan pangan organik.

"Pemberlakuan delisting berpotensi menurunkan ekspor komoditas rumput laut Indonesia ke AS yang pada 2015 mendekati angka US$ 1 juta. Hal yang perlu lebih diwaspadai adalah perkembangan ini dapat menjadi preseden bagi negara tujuan ekspor rumput laut lainnya seperti Uni Eropa untuk juga melakukan hal yang sama," ujar Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Dody Edward, di Jakarta, seperti dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (9/8/2016).

Indonesia bahkan berpotensi mengalami kerugian hingga US$ 160,4 juta apabila semua pasar tujuan ekspor Indonesia memberlakukan hal yang sama seperti AS. Komoditas rumput laut merupakan prime mover perekonomian masyarakat laut dan pesisir Indonesia.

Indonesia merupakan produsen utama rumput laut di dunia serta menyerap banyak tenaga kerja di daerah pesisir dan pulau-pulau terluar Indonesia. Selama ini rumput laut menjadi bahan baku carrageenan dan agar-agar.

Rencana delisting produk rumput laut dari daftar bahan pangan organik tersebut dipicu petisi Joanne K. Tobacman, M.D. (Tobacman) dari University of Illinois, Chicago, pada Juni 2008 kepada US Food and Drug Administration (FDA). Isi dari petisi tersebut melarang penggunaan carrageenan sebagai bahan tambahan makanan yang terbuat dari rumput laut.

Berdasarkan penelitian Tobacman, ditengarai carrageenan dapat menyebabkan peradangan atau inflamation yang memicu kanker. Namun, petisi tersebut ditolak US FDA pada Juni 2008.

Kemudian, petisi Tobacman ini diikuti publikasi LSM Cornucopia Institute dari AS pada Maret 2013. LSM ini mendorong publik meminta US National Organic Standards Board (NOSB) agar mengeluarkan carrageenan dari daftar bahan pangan organik.

"Rencananya, pada November 2016 US NOSB akan menentukan apakah carrageenan tetap akan masuk pada National List of Allowed and Prohibited Substances yang diperbolehkan dalam makanan organik atau tidak, setelah sebelumnya mendapat masukan dari berbagai pihak," tutur Dody.

Saat ini, konsumsi pangan organik di dunia menunjukkan peningkatan tren pertumbuhan karena didorong isu-isu kesehatan yang memicu meningkatnya nilai perdagangan produk organik.

Apabila produk rumput laut dikeluarkan dari daftar bahan pangan organik, maka hal itu akan merugikan Indonesia. Selama ini, Indonesia merupakan pemasok utama dunia untuk komoditas rumput laut dengan pangsa pasar 41 persen di 2013.

Dody menegaskan, saat ini Direktorat Pengamanan Perdagangan Kemendag secara aktif memantau perkembangan rencana delisting terhadap produk rumput laut tersebut.

"Kami harapkan kerja sama dari Kementerian dan Lembaga terkait, asosiasi dan akademisi guna membahas langkah-langkah yang dapat membatalkan rencana delisting produk rumput laut tersebut," ujar Dody.

Selain itu, Dody meminta terus dilakukan pembinaan kepada pelaku usaha produk kelautan Indonesia untuk menjaga kualitas rumput laut sehingga menghasilkan mutu yang baik sebagai bahan pangan organik agar ekspor rumput laut Indonesia di pasar international terjaga keberlangsungannya. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya