Liputan6.com, Jakarta - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) berkomitmen tetap mengoptimalkan penggunaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dalam kegiatan operasi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS).
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan, SKK Migas berhasil mempertahankan rasio penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) tidak lebih dari empat persen selama delapan tahun terakhir.
"Sesuai tugas pokok dan fungsi yang diemban untuk mengelola kegiatan industri hulu migas nasional. SKK Migas berkomitmen penuh untuk mengembangkan kapabilitas dan kapasitas Nasional dalam bidang Sumber Daya Manusia," kata Amien, di Jakarta, Rabu (5/10/2016).
Data SKK Migas menunjukkan jumlah TKI pada industri hulu migas mencapai 31.742 atau sekitar 97 persen orang pada 2015. Sedangkan jumlah TKA hanya 1.022 atau sekitar 3 persen.
Baca Juga
Jumlah penggunaan TKI selama 10 tahun terakhir memang mengalami kenaikan seiring dengan bertambahnya kegiatan operasi yang ada di kontraktor KKS. Sedangkan penggunaan TKA selama 10 tahun terakhir cenderung konstan, meskipun banyak proyek besar yang saat ini sedang berlangsung.
Komitmen mengoptimalkan TKA tetap dipegang SKK Migas setelah berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Bentuk komitmen tersebut antara lain dengan membentuk Lembaga Sertifikasi Profesi HULU MIGAS (LSP HULU MIGAS) yang mewadahi kegiatan pengembangan kompetensi SDM Hulu Migas Nasional melalui program sertifikasi kompetensi-kompetensi yang ada pada kegiatan industri hulu migas.
Pada saat ini profesi di bidang Supply Chain Management (SCM) sedang dilakukan sertifikasi. Sedangkan untuk profesi pengawas lifting dan SDM sedang dipersiapkan oleh Tim dengan bekerjasama dengan LSP HULU MIGAS.
Amien mengatakan di tengah situasi penuh tantangan ini, praktisi SDM dituntut untuk dapat secara pro-aktif memberikan solusi KREATIF terkait manajemen SDM, karena akan sangat membantu bisnis dalam mencapai tujuannya.
Ia menuturkan, kondisi saat ini meletakkan manajemen SDM nasional dalam suatu situasi yang New Normal. Situasi ini yang didefinisikan sebagai suatu keadaan standar bisnis yang berbeda atau berubah, menggantikan standar-standar yang berlaku sebagai acuan sebelumnya.
"Standar-standar baru perlu dianalisis dan ditetapkan oleh organisasi dalam menyikapi terjadinya perubahan dari eksternal organisasi," tutur Amien. (Pew/Ahm)
Advertisement
Â