Liputan6.com, Jakarta - Cara atau prosedur untuk membayar pajak di Indonesia sangat rumit. Hal tersebut memicu kesulitan masyarakat untuk menjadi wajib pajak yang taat. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pun mengusulkan agar pajak masuk dalam kurikulum.
Anggota Komisi X DPR RI Ferdiansyah menjelaskan, ada banyak alasan yang membuat angka pembayar pajak di Indonesia tidak besar jika dibandingkan dengan total warga negara Indonesia (WNI). Salah satunya adalah karena prosedur atau cara membayar pajak yang sulit.
Informasi mengenai cara-cara membayar pajak di Indonesia masih sangat kurang disosialisasikan. Hasilnya, masyarakat Indonesia masih minim pengetahuan tentang pajak. Padahal, adanya pajak sangat membantu pemerintah dalam memenuhi pendapatan negara.
Advertisement
Ferdiansyah memberikan contoh, saat ini banyak masyarakat yang tidak bisa membedakan antara pajak, bea, dan retribusi. Padahal, ketiga hal tersebut jauh berbeda pengertiannya.
"Masyarakat belum paham pajak. Banyak yang tak bisa membedakan antara pajak dengan retribusi," kata Ferdiansyah dalam Seminar Nasional Membangun Budaya Bangsa Melalui Edukasi Kesadaran Pajak dalam Sistem Pendidikan Nasional, di Jakarta, Selasa (15/11/2016).
Ferdiansyah melanjutkan, karena pengetahuan masyarakat tentang pajak minim, maka dampaknya pendapatan negara dari pajak menjadi tak maksimal. Ditambah proses pembayaran yang rumit, hal ini pun menyurutkan minat masyarakat yang ingin membayar pajak.
Baca Juga
"Pemahaman banyak masyarakat belum mengerti konsekuensi pajak, yang jelas keterbukaan dan tidak mau repot rakyat. Sebenarnya rakyat sudah sadar, tapi tidak mau repot administrasi. Karena tidak mau repot akhirnya tidak setor pajak," ungkap dia.
Masyarakat harus mendapat informasi yang lengkap terkait pajak jika pemerintah ingin menjadikan masyarakatnya sebagai warga negara taat pajak, termasuk menjelaskan hak yang didapat masyarakat.
"Permasalahan pembudayaan tidak gampang, bisa saja dimasukkan . Tapi kalau bicara kewajiban, rakyat minta haknya mana, kasih gambaran rakyat menikmati hasil pajak itu," ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama menjelaskan, ada dua cara untuk mendorong kesadaran untuk membayar pajak. Cara pertama adalah dari sisi hilir, yaitu Direktorat Jenderal Pajak terus melakukan penegakan dengan penindakan dan penyelidikan.
Namun di luar itu, ada juga cara kedua, yaitu dari hulu. Cara ini adalah dengan memberikan kesadaran dari wajib pajak sendiri. "Membangun kesadaran tidak hanya dari hilir saja, tapi harus juga menyentuh sisi hulu," kata Yoga dalam "Seminar Nasional Membangun Budaya Bangsa Melalui Edukasi Kesadaran Pajak dalam Sistem Pendidikan Nasional" di Jakarta, Selasa (15/11/2016).
Peningkatan kesadaran wajib pajak dari sisi hulu bisa dilakukan dengan menyuntikkan pola pikir kesadaran wajib pajak sejak dini, yaitu saat masih di bangku sekolah.
"Sejak kecil anak mulai ada pembelajaran ada pemahaman pajak dengan cepat. Bagaimana menginformasikan kesadaran perpajakan lebih baik lagi," ungkap dia.
Menurut Yoga, dalam meningkatkan kesadaran wajib pajak, Direktorat Jenderal Pajak tidak bisa berjalan sendiri. Karena itu, perlu bantuan seluruh elemen untuk membantu, termasuk dunia pendidikan. Guna mewujudkannya budaya kesadaran pajak maka perlu adanya kurikulum mengenai sadar pajak. (Pew/Gdn)