Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan tetap akan menjalankan sistem devisa bebas yang dianut Indonesia di pasar keuangan. Hal ini untuk menjawab usulan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla yang mengeluarkan wacana perubahan sistem tersebut karena dianggap merugikan negara.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Suahasil Nazara menyatakan, Indonesia menganut rezim devisa bebas sebagai satu fundamental ekonomi Indonesia yang akan tetap diteruskan.
"Tidak boleh main-main dengan rezim devisa bebas, orang kalau mau kirim uang ke luar negeri dibatasi. Jika hari ini tidak boleh beli dolar AS di pasar, itu namanya rezim kontrol devisa. Yang main-main akan kena punishment di pasar," kata Suahasil, saat Pelatihan Wartawan di Hotel Aston, Sentul, Jawa Barat, Sabtu (26/11/2016).  Â
Dia menuturkan, sanksi terhadap negara yang mengontrol keluar masuknya uang saat menerapkan sistem devisa bebas, maka pelaku pasar atau investor tidak akan percaya lagi untuk menanamkan modal di negara tersebut.
Baca Juga
"Kalau modal nanti sudah keluar, maka karena aturan tersebut, pasar tidak akan pernah masuk lagi ke negara itu. Karena yang punya duit harus yakin bahwa uangnya bisa keluar lagi. Jadi prinsipnya, devisa bebas ada risikonya," jelas dia.
Indonesia, Suahasil mengakui sangat dekat dengan pasar keuangan. Artinya, kebutuhan sebagian besar pembiayaan pemerintah dipenuhi dari pasar keuangan, antara lain menerbitkan surat utang negara, dan lainnya. Dengan demikian, harus ada kepercayaan dari investor untuk menaruh dananya di Indonesia.
"Kalau dia pikir menarik uang saja tidak bisa, mungkin tidak akan mau masuk lagi, dan akhirnya potensi pembeli surat utang kita berkurang," ujar dia.
Suahasil memastikan sistem devisa bebas harus terus dipertahankan. Evaluasi terhadap aturan Undang-undang No 24 Tahun 1999 tentang Devisa Bebas dengan melibatkan otoritas moneter, yakni Bank Indonesia (BI).
"Rezim devisa debas menurut saya kita harus terus mempertahankannya. Bisa saja melakukan review atau evaluasi terhadap pengaturannya cukup pas atau tidak, dan tentunya didiskusikan dengan otoritas moneter dan sistem pembayaran," tutur Suahasil. (Fik/Ahm)
Advertisement
Â