Kejar Dana WNI Pulang ke RI, Ditjen Pajak Pakai Jurus Terakhir

Meski periode II telah berakhir, dana yang pulang ke Indonesia dari program tax amnesty tidak bergerak.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 03 Jan 2017, 11:00 WIB
Diterbitkan 03 Jan 2017, 11:00 WIB
Meski periode II telah berakhir, dana yang pulang ke Indonesia dari program tax amnesty tidak bergerak.
Meski periode II telah berakhir, dana yang pulang ke Indonesia dari program tax amnesty tidak bergerak.

Liputan6.com, Jakarta - Meski periode II telah berakhir, argo repatriasi atau dana yang pulang ke Indonesia dari program pengampunan pajak (tax amnesty) tidak bergerak naik. Nilainya masih tercatat Rp 141 triliun dari total deklarasi harta yang mencapai Rp 4.296 triliun. Sementara realisasi uang tebusan berdasarkan Surat Pernyataan Harta (SPH) sebesar Rp 103 triliun.

Waktu Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengejar target repatriasi dana dan penerimaan pajak dari uang tebusan tax amnesty tinggal tiga bulan lagi. Target repatriasi yang pernah digadang pemerintah mencapai Rp 1.000 triliun dan uang tebusan Rp 165 triliun hingga 31 Maret 2017.    

Pengamat Perpajakan dari Universitas Indonesia (UI), Ruston Tambunan mengatakan, tawaran pemerintah memberikan tarif tebusan murah untuk repatriasi ternyata tidak cukup menarik dana di luar negeri masuk ke NKRI.  

Dalam Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, pemerintah mengenakan tarif tebusan repatriasi sebesar 2 persen di periode I, periode II sebesar 3 persen, dan periode III sebesar 5 persen.  

"Kalau sosialisasi sudah dilakukan secara maksimal tapi tarif tebusan murah tidak juga menarik dana dari luar masuk ke dalam negeri, maka ada jurus terakhir yang bisa dilakukan Ditjen Pajak," ujar Ruston saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (3/1/2017).

Strategi terakhir itu, katanya, dengan melakukan pendekatan kepada Wajib Pajak (WP) yang data hartanya sudah terlacak Ditjen Pajak. Harta-harta tersebut selama ini berada di luar negeri, termasuk yang sengaja disembunyikan.

"Konon katanya pemerintah sudah punya data orang-orang yang punya harta di luar negeri, apakah dari Panama Papers atau sumber data lain. Jadi pendekatannya berupa imbauan, karena tax amnesty tidak wajib sifatnya, apalagi khusus dana dari luar negeri ada pilihan deklarasi atau repatriasi," jelasnya.

Selain memaksimalkan upaya sosialisasi kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Ruston menyarankan Ditjen Pajak mengimbau orang-orang dengan banyak harta di luar negeri untuk ikut tax amnesty berdasarkan data yang dimiliki pemerintah di periode selanjutnya.  

"Jika tax amnesty berakhir, dan orang-orang yang ditengarai punya banyak harta di luar negeri tapi belum taat pajak, dan tidak memanfaatkan tax amnesty, maka Ditjen Pajak perlu melakukan pemeriksaan terhadap orang-orang kaya ini," harap Managing Partner dari Citasco itu.   

Sementara itu, Pengamat Perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan, pengungkapkan harta dari tax amnesty sebesar Rp 4.296 triliun harus digunakan Ditjen Pajak untuk memetakan potensi, memeriksa kewajaran pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan Tahunan, dan lainnya.

"Ini yang lebih penting sebagai modal reformasi perpajakan secara menyeluruh. Karena paling esensial meningkatkan basis data dan kepatuhan jangka panjang," tuturnya.

Bawono menilai, menarik dana dari luar negeri ke dalam negeri atau repatriasi bukan sebuah hal mudah di saat ekonomi dunia dan pasar keuangan penuh ketidakpastian sekarang ini.

"Repatriasi susah bukan cuma dialami Indonesia saja, tapi juga negara lain. Karena soal repatriasi menyangkut daya saing aspek sistem fiskal dan moneter, bukan hanya sekedar ada atau tidaknya tax amnesty," tandasnya.    

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya