Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tak mengatur bunga perusahaan pinjaman meminjam berbasis teknologi informasi atau financial technology terutama peer to peer (P2P) lending. Menurut OJK, bunga dalam pinjam meminjam tersebut akan rendah dengan sendirinya sejalan dengan ketatnya persaingan.
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Firdaus Djaelani mengaku kesulitan untuk mengatur bunga perusahaan jenis ini. Lantaran dana yang ditawarkan serta tempo pinjaman masing-masing perusahaan berbeda.
"Agak susah, bunga itu tergantung cost of fund dari masing-masing perusahaan, belum lagi jangka waktu ada orang yang pinjam 3 hari, 1 bulan, ada 6 bulan. Diamkan saja, dengan terbuka akan banyak nih perusahaan peer to peer jadi mereka kompetisi," kata dia di Menara Merdeka Jakarta, Selasa (14/3/2017).
Advertisement
Baca Juga
Masyarakat, kata dia, bisa juga menentukan dana yang akan dipinjam berikut bunganya. Sementara, perusahaan penyedia jasa P2P lending tentu akan meminta jaminan untuk mengantipasi gagal bayar.
"Masyarakat gampang kok, mereka minta dipasang di website, berapa suku bunganya, misalnya pinjaman P2P. Dan ini banyak P2P dealnya business to business saja, oke you agunannya apa sih. Jadi biarkan dia bersaing toh akan terbentuk harga," jelas dia.
Apalagi, Firdaus melanjutkan sistem informasi debitur (SID) Bank Indonesia (BI) akan berpindah ke OJK dan menjadi Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). Jadi, rekam jejak peminjam dana yang memanfaatkan P2P terlihat.
Firdaus menuturkan, bunga dari P2P bakal sedikit lebih tinggi dari perbankan. Namun, P2P bakal tetap laku lantaran prosesnya relatif lebih cepat.
"Tapi tidak akan jauh, paling-paling di atas perbankan. Kalau pinjaman bank misalkan setahun let's say 12-14 persen mungkin dia (P2P) bisa jadi 15-18 persen. Tapi kalau hitungan pinjam sebulan mungkin sebulan 1,5 orang mau ko, 2 persen (mau). Mendadak orang bank nggak bisa padahal butuh proyek orang mau kok," ujar dia.